Tanggal 31 Maret diperingati sebagai Hari Visibilitas Transgender (Transgender Day of Visibility). Demi memperingatinya, aku mengunjungi pameran ‘Ruang Rasa’ yang diinisiasi komunitas Sanggar Swara dan Transcreative, yang diselenggarakan di Goethe-Institut Jakarta pada 20-24 Maret 2024 lalu.
Ada berbagai pertanyaan yang muncul dalam benakku saat hadir di pameran itu:
Bagaimana proses penerimaan diri berlangsung, terutama sebagai transgender atau queer pada umumnya?
Apa yang terjadi ketika, di tengah upaya penerimaan itu, justru muncul hantaman penolakan dan stigma dari lingkungan sekitar?
Kenapa manusia kerap bergulat dengan stereotipe gender?
Bagaimana menguatkan diri saat berusaha menjalani hidup dengan identitas dan ekspresi gender yang bukan ditentukan oleh masyarakat?
Para perempuan—trans dan cis—berusaha menjawab pertanyaan dan keresahan yang juga berseliweran di antara mereka itu dengan karya seni.
Pameran ini terdiri dari tiga ‘ruang’ instalasi, yakni ‘Ruang Penghakiman’, ‘Ruang Kebersamaan’, dan ‘Ruang Berbagi’. Pameran ‘Ruang Rasa’ adalah respon atas meluasnya kepanikan moral masyarakat terhadap transgender dan komunitas queer secara umum.
Baca Juga: Feby Damayanti: Bagaimana Hidup Transpuan di antara Janji Capres dan Caleg
Ditambah lagi, negara kian galak mengenyahkan keberagaman lewat berbagai produk hukum dan kebijakan yang membatasi ruang aman untuk berekspresi dan berkumpul. Komunitas ragam gender dan seksualitas, termasuk transgender dan transpuan di dalamnya, kerap mengalami diskriminasi dan penindasan dalam kehidupan sehari-hari.
Ruang Rasa mengolah pengalaman komunitas transpuan yang tertindas. Ia menguak trauma tanpa membangkitkannya lagi. Trauma dan luka akibat penghakiman dari masyarakat, diubah menjadi keberanian dan kejujuran. Dengan demikian, hidup dapat terus berjalan.
Ruang Berbagi: Semua Puan Setara
Begitu memasuki area pameran ‘Ruang Rasa’ dan mengisi daftar kunjungan, pengunjung bisa mulai mengeksplorasi ‘Ruang Berbagi’.
‘Ruang Berbagi’ adalah instalasi pameran dari seniman Ika Vantiani. Ika menampilkan koleksi kolase karya kawan-kawan transpuan. Karya ini merupakan wujud pemaknaan dan penghargaan Ika sebagai perempuan cis terhadap transgender perempuan.
Sebagai cis maupun trans, ada pengalaman universal yang terjalin antar sesama perempuan. Terutama karena kita hidup dalam lingkungan heteronormatif yang patriarkis. “Juga bagaimana identitas gender kita terus-menerus dipersalahkan seolah sebagai manusia kita tidak memiliki dimensi lainnya. Serta sebagai perempuan kita tidak utuh tanpa hal-hal yan orang sematkan pada identitas gender kita itu,” kata Ika.
“Saya percaya nilai kami sebagai perempuan tidak ditentukan oleh itu semua.”
Untuk instalasinya, Ika berkolaborasi dengan sejumlah seniman transpuan lainnya. Kolaborator yang memamerkan karyanya di ruang instalasi tersebut antara lain Ansela Editta, Angelissa Melissa, Alka Bahit, Asya Azia, Yumna Fae, Raya Bachrum, dan Meldy Huang.
Masing-masing menumpahkan curahan hati dan pengalaman mereka sebagai transpuan lewat medium kolase manual berukuran 21 x 29,5 cm hingga 82 x 87 cm.
Salah satu favoritku adalah kolase ‘Jangan Larang Aku’ karya Raya Bachrum. Raya menceritakan pengalamannya berbenturan dengan standar peran dan ekspresi gender di lingkungan keluarga sejak kecil.
Rupanya pembedaan dan stereotipe gender secara sadar maupun tidak sadar sudah diinternalisasi bahkan sejak usia anak-anak. Hal ini pun mewujud dalam bentuk pilihan mainan yang patut atau tidak patut dimainkan anak perempuan atau laki-laki. Kurasa hampir semua orang pernah mengalami masa kecil demikian; maka dari itu, aku merasa mampu memahami karya Raya dengan baik.
Baca Juga: 15 Transpuan Seroja Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah: Lawan Krisis Iklim Dan Diskriminasi
Bagi Raya, kisah itu membuatnya tak bisa bermain dengan abang satu-satunya di rumah. Meski menyayangi sang adik, kakak laki-laki Raya tak mau bermain dengannya karena Raya lebih suka memainkan mainan yang lekat untuk perempuan.
“Dia selalu larang aku main dengan mainanku karena mainanku anak perempuan,” kata Raya.
Lebih parah lagi, abang Raya malah merusak mainan adiknya saking tidka suka. Ketika Raya mengadu pada ibunya, sang ibu justru membela kakaknya setelah diceritakan tentang Raya dan mainan ‘anak perempuan’nya.
“Aku jadi semakin marah. Aku sembunyikan mainanku setelah itu dan main sendirian saja dengan mainanku,” lanjut Raya.
“Semakin aku dilarang, semakin semangat aku melanjutkan permainanku.”
Selain kolase-kolase yang dipajang di dinding Goethe-Institut Jakarta, pengunjung juga bisa mencoba instalasi interaktif ‘Ruang Berbagi’. Terdapat keping plat transparan dengan foto kolase-kolase pameran, serta proyektor untuk menampilkan kolase tersebut ketika plat ditempatkan di atasnya.
Setelah itu, pengunjung dapat berfoto secara estetik dengan kolase pilihannya. Ada pemandu dari tim panitia pameran yang siap membantu memasang plat tersebut pada proyektor. Selain itu, ada pula filter Instagram ‘Ruang Rasa’ yang bisa didapatkan dengan memindai kode QR.
Ruang Kebersamaan: Bertemu Trans-Alien dari Masa Depan
Beranjak dari ‘Ruang Berbagi’, aku mendapati sebuah perangkat Virtual Reality (VR) box diletakkan di atas meja. Tidak jauh dari sana, seorang pengunjung menggunakan VR box lain, berjalan tanpa arah sembari diawasi pemandu. Perangkat tersebut adalah bagian dari instalasi seni ‘Ruang Kebersamaan’ karya Ishvara Devati.
Ketika pengunjung menggunakan VR box yang tersedia, mereka akan ‘berpindah’ ke sebuah lahan parkir di pusat perbelanjaan yang kosong. Di sana, ada sekelompok alien transpuan dengan penampilan ‘nyentrik’. Mereka dikenal sebagai Bubbly Bubble Blub Blub Blub.
Alkisah, para trans-alien itu datang dari masa depan untuk melihat kondisi kawan-kawan trans di Bumi saat ini. Kita sebagai manusia Bumi di masa kini mungkin melihat wujud trans-alien ini dengan aneh—hal serupa yang terjadi sebaliknya. Para alien-trans juga memandangi kita, si manusia Bumi, seakan-akan kitalah makhluk anehnya.
Seni pertunjukan ‘Ruang Kebersamaan’ dari Ishvana Devati merupakan sebuah manifesto transendental. Serta hubungan yang kompleks antara manusia, alam, dan kesadaran diri. Dengan gaya artistik yang semi-absurd, instalasi Bubbly Bubble Blub Blub Blub menjadi proyeksi berbagai pertanyaan mendasar tentang makna kemanusiaan, pengalaman subjektif, dan peran penyatuan elemen-elemen keberagaman.
Sesuai namanya, ‘Ruang Kebersamaan’ mengajak pengunjung pameran untuk memahami diri sendiri. Kita juga diajak menyadari perlunya menghormati hubungan tak terpisahkan antara semua bentuk kehidupan.
Ada harapan agar kesadaran kolektif terbangun lewat kesadaran perbedaan sudut pandang. Dengan demikian, muncul dorongan solidaritas, inklusivitas, dan revolusi cinta agar kita dapat bertransformasi secara humanis.
Ruang Penghakiman: Hantu Penghakiman dan Gestur Kekuatan
Instalasi terakhir sempat membuatku gamang. Pasalnya, di dinding luar instalasi lorong dan kamar tersebut, tertera peringatan pemicu. Konon, karya seni di dalam sana berupa audiovisual dan dapat memicu trauma. Tapi tentu aku tidak bisa pula melewatkan karya yang satu ini begitu saja.
Seperti pada dua ‘ruang’ sebelumnya, karya ‘Ruang Penghakiman’ juga merupakan instalasi interaktif. Sebelum masuk, pengunjung dipinjami perangkat earphone yang digunakan saat berjalan di sepanjang lorong hingga ujung. Setelah diberikan instruksi oleh pemandu pameran, pengunjung dapat mulai meraba-raba menyusuri ‘Ruang Penghakiman’.
Bukan lagu atau efek-efek suara menenangkan yang terdengar dari perangkat itu. Begitu memakai earphone dan berjalan memasuki lorong yang gelap pekat, seketika caci-maki dan nada sumbang kekecewaan memenuhi isi kepala. Tidak ada jeda kecuali 1-2 detik dari cibiran satu ke yang lainnya.
“Percuma berbuat baik, ibadahmu tidak akan Tuhan terima.”
“Bikin malu keluarga!”
“Tidak punya masa depan, pembawa penyakit.”
“Bencong!”
Baca Juga: Cerita Kerukunan Bissu Transpuan di Sulawesi Selatan
Sementara itu, langkah mesti ekstra hati-hati karena nyaris tak terlihat apa pun sejauh mata memandang. Hanya ada visualisasi ‘hantu’ sosial berupa hologram yang muncul di tirai-tirai di dalam lorong. Sesekali ia mewujud rupa ibu yang kecewa, lelaki yang murka, dan sebagainya. Perjalanan menyusuri lorong yang sebetulnya pendek itu jadi terasa amat lama dan membikin hati gentar.
Pada akhirnya, pengunjung akan keluar juga dari lorong gelap yang seakan tak berujung itu. Tiba-tiba kita berada di sepetak kamar kost dengan perabotan sederhana. Kamarnya kecil dan sempit, tapi itulah gambaran ruang aman dan nyaman bagi transpuan.
‘Ruang Penghakiman’ adalah instalasi ruang dengan audio-visual dan animasi dari seniman Anggun Pradesha. Karya ini dibuat oleh Anggun untuk membawa pengunjung pameran pada pengalaman transpuan dalam proses penerimaan diri yang rumit dan berat.
Transpuan kerap dihantui oleh stigma dari sekitar, mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, bahkan tak jarang dari komunitas queer sendiri.
“Karya ini mengolah curahan hati terkait stigma dari 5 teman transpuan kepada saya yang bermalam di kamar pribadi mereka,” jelas Anggun. “Mendengar mereka bercerita seperti berkaca pada pengalaman pribadi saya sendiri sebagai sesama transpuan. Stigma adalah sebuah penghakiman.”
Baca Juga: Demi Hari Tua, Melihat Pengalaman Transpuan Urus BPJS
Suara-suara yang pengunjung dengar sepanjang perjalanan yang gelap itu adalah suara penghakiman yang dimaksud. Itulah suara-suara yang memenuhi kepala para transpuan; makian atas pilihan identitas gender dan seksualitasnya, cibiran atas ekspresi gendernya, dan sebagainya.
‘Hantu-hantu’ sosial itu kerap menghambat mereka untuk lebih berkembang dan hidup lebih baik.
Di sisi lain, kamar sempit yang berada di ujung lorong adalah simbol kekuatan. Ia merupakan tempat para transpuan beristirahat, merenung, dan merefleksi diri. Kamar itu menjadi saksi mereka berproses menyembuhkan luka dan trauma. Atau, seperti pengalaman Anggun, kamar menjadi tempat berbagi dengan orang-orang senasib.
Di kamar itu, terbentuk penerimaan diri yang baik dan menguatkan transpuan dalam menghadapi stigma yang datang dari sana-sini.
Keluar dari ‘Ruang Penghakiman’, pengunjung diperbolehkan untuk menulis pesan-pesan penyemangat di dinding instalasi. Ini merupakan bentuk solidaritas dari semua orang—cis atau trans, queer atau tidak—bagi komunitas transgender, khususnya transpuan.
‘Ruang Rasa’ mengingatkan bahwa, lagi-lagi, baik sebagai cis atau trans, pengalaman perempuan pada akhirnya memiliki titik temu yang kerap kali tidak menyenangkan akibat patriarki.
Seperti kata Ika Vantiani, keberagaman adalah kekuatan. Merayakan identitas sebagai perempuan tak butuh menunggu persetujuan lingkungan sosial.
“Karena kami layak untuk hidup dengan cinta dan harapan. Karena semua puan itu setara,” pungkasnya.