Alainna Liloia, University of Arizona
Perempuan Arab Saudi akan diizinkan untuk memiliki paspor dan bepergian tanpa izin dari kerabat laki-laki.
Peraturan ini diumumkan oleh pemerintah setempat pada awal Agustus lalu untuk mengurangi salah satu peraturan yang paling mengekang di negara itu, yaitu laki-laki memiliki kuasa atas kerabat perempuan mereka dalam sebuah sistem perwalian.
Perempuan Arab Saudi juga akan diperbolehkan untuk mendaftarkan pernikahan, perceraian, dan kelahiran, serta menerima dokumen-dokumen keluarga tanpa harus mendapatkan izin wali laki-laki. Namun, mereka tetap memerlukan izin wali untuk menikah, keluar dari penjara, dan keluar dari tempat perlindungan dari kekerasan rumah tangga.
Adanya tekanan sosial membuat beberapa perempuan Arab Saudi masih membutuhkan izin dari keluarga untuk bepergian. Meskipun perempuan sudah diperbolehkan mengemudi pada 2008, izin dari keluarga tetap menyulitkan banyak perempuan Arab Saudi untuk berkendara sendiri.
Arab Saudi menerapkan interpretasi hukum Islam yang ketat yang memandang pemisahan peran berdasarkan jenis kelamin dan kuasa laki-laki sebagai sesuatu yang vital dalam menjaga moral masyarakat Islam. Namun perempuan Arab Saudi tidak mau menjadi sekadar korban dari rezim patriarkis ini.
Sebagai seorang peneliti yang mempelajari pergerakan perempuan di Timur Tengah, saya memahami bahwa perempuan Arab Saudi – seperti pada populasi besar lainnya – merupakan kelompok manusia yang beragam dengan pemikiran dan pengalaman yang berbeda-beda.
Mereka sekolah, bekerja sebagai jurnalis dan pilot maskapai, menyelam, menongkrong bersama teman -– dan, semakin mendesak hukum untuk memperluas hak-hak perempuan.
Berjuang demi kesetaraan
Kebebasan baru perempuan Arab Saudi adalah bagian dari reformasi yang lebih luas yang diluncurkan oleh Putra Mahkota Mohammad bin Salman untuk memodernisasi negara Muslim konservatif yang berpenduduk 33 juta ini dan untuk meredakan perhatian internasional atas permasalahan hak asasi manusia.
Tetapi kemajuan di sisi hukum ini tetap disertai dengan penindasan terhadap aktivis perempuan Arab Saudi yang mendesak adanya reformasi sistem perwalian.
Perempuan berjuang selama puluhan tahun untuk mendapatkan hak mengendarai mobil, dan tahun lalu, sebelum larangan itu dicabut, beberapa aktivis ditangkap karena secara terbuka mengemudi mobil. Bahkan, banyak yang masih ada di penjara.
Perempuan Arab Saudi juga bersuara untuk menghapuskan sistem perwalian dengan mengedarkan petisi online dengan tagar #IAmMyOwnGuardian dan mengadakan kelas-kelas untuk memberikan edukasi kepada perempuan lainnya perihal undang-undang sistem perwalian.
Ada pula yang membuat aplikasi bernama “Know Your Rights” untuk memberi informasi mengenai hak-hak hukum perempuan.
Mereka juga memanfaatkan undang-undang yang melarang pencampuran laki-laki dan perempuan di tempat-tempat umum.
Di dalam area khusus perempuan yang berada di mal, taman, restoran, sekolah, dan kedai kopi, perempuan lebih leluasa mengekspresikan kebebasannya. Mereka dapat melepaskan abaya –- jubah hitam dan panjang yang harus dikenakan semua perempuan Arab Saudi –- dan berbicara terang-terangan tanpa pengawasan laki-laki.
Beberapa perempuan bahkan meminta lebih banyak tempat-tempat khusus seperti ini agar tersedia ruang bagi perempuan untuk keluar dari kekangan patriarkis.
Pendidikan bagi perempuan
Perempuan Arab Saudi telah memperoleh pendidikan tinggi sejak 1970-an, tapi kesempatan untuk mengenyam pendidikan baru tumbuh secara nyata dalam 15 tahun terakhir.
Program beasiswa pendidikan ke luar negeri yang diluncurkan pada 2005 telah mengirimkan ribuan pelajar perempuan Arab Saudi setiap tahunnya ke Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, dan banyak negara lainnya.
Universitas khusus perempuan pertama di Arab Saudi, Princess Noura bint Abdulrahman University, berdiri pada 2010. Dengan kapasitas sekitar 60.000 mahasiswa – universitas khusus perempuan terbesar di dunia, universitas ini bertujuan untuk memberi pelajar-pelajar perempuan Arab Saudi akses yang lebih baik ke bidang-bidang yang dikuasai laki-laki, seperti kedokteran, ilmu komputer, manajemen, dan farmasi.
Pada 2015, jumlah pendaftar perempuan untuk masuk perguruan tinggi melebihi laki-laki. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Arab Saudi, tercatat 52% mahasiswa di Arab Saudi adalah perempuan.
Pekerja perempuan
Peningkatan pada sektor pendidikan tidak sejalan dengan jumlah perempuan yang bekerja.
Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2016, hanya 22% perempuan Arab Saudi yang bekerja di luar rumah, dibandingkan dengan 78% laki-laki yang bekerja.
Perempuan bisa – dan mampu – bekerja di hampir seluruh bidang seperti laki-laki, dengan pengecualian untuk bidang-bidang yang “berbahaya” seperti konstruksi atau mengumpulkan sampah. Sejak hukum Islam mengizinkan perempuan untuk memiliki dan mengatur sendiri propertinya, semakin banyak perempuan Arab Saudi melihat pekerjaan sebagai jalan menuju kebebasan finansial.
Ada beberapa jurnalis perempuan Arab Saudi, seperti Weam Al Dakheel, yang pada 2016 menjadi pembawa acara TV perempuan pertama dalam program berita pagi di Arab Saudi.
Ada pula pengacara perempuan Arab Saudi, seperti Nasreen Alissa, satu dari sedikit perempuan yang memiliki firma hukum di Arab Saudi dan pencipta aplikasi “Know Your Rights”
Dan menurut Organization for Economic Cooperation and Development, lebih setengah guru di Arab Saudi adalah perempuan. Sementara, setengah pekerja ritel di Arab Saudi juga merupakan perempuan.
Pemerintah Arab Saudi telah menargetkan sebanyak 30% perempuan memiliki pekerjaan pada 2030. Meski pembauran laki-laki dan perempuan kerap dilarang di tempat kerja, perempuan adalah komponen kunci dalam usaha “Saudization” yang sedang berlangsung untuk mengganti pekerja-pekerja non-Saudi dengan pekerja-pekerja lokal.
Pendekatan politis
Arab Saudi secara perlahan melebarkan hak-hak perempuan sebagai bagian dalam usaha rebranding untuk melawan pandangan negatif sebagai sarang terorisme dan fundamentalisme agama setelah penyerangan World Trade Center di New York, AS, pada 11 September 2001.
Perempuan telah membuat kemajuan di bidang politik dalam beberapa tahun terakhir. Pertama-tama, beberapa perempuan ditunjuk sebagai wakil menteri pendidikan pada 2009, penasehat raja pada 2010, dan duta besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat pada 2019.
Pada 2015, perempuan Arab Saudi diberikan hak untuk memilih dan ikut serta dalam pemilihan daerah. Hampir 1.000 perempuan maju sebagai kandidat anggota dewan; jumlah ini sekitar 14% dari total kandidat.
Para calon perempuan pertama Arab Saudi kesulitan dalam meyakinkan pemilih – hanya 9% pemilih adalah perempuan. Kini, mereka hanya menduduki 20 dari total 2.000 kursi anggota dewan.
Dua aktivis perempuan ternama yang mencalonkan diri, yaitu Loujain Hathloul dan Nassima Al-Sadah, didiskualifikasi pada 2015 dengan alasan yang tidak jelas.
Di Arab Saudi yang patriarkis, para perempuan yang terpilih tetap menghadapi hambatan besar untuk melaksanakan tugas, bahkan tugas-tugas mereka pun dibatasi. Tugas mereka sebatas mengawasi pengumpulan sampah dan mengeluarkan bangunan izin. Beberapa bahkan harus menghadiri pertemuan dewan melalui video konferensi untuk menghindari berada di ruangan yang sama dengan laki-laki.
Hambatan-hambatan ini tidak menghentikan perempuan Arab Saudi dalam bekerja – baik di dalam maupun di luar sistem politik – untuk mengubah negaranya.
“Saya hanya seorang warga negara yang baik, yang mencintai negaranya, seorang anak perempuan yang mencintai keluarganya, pelajar yang tekun, dan pekerja yang rajin,” tulis seorang aktivis Nouf Abdulaziz dalam sebuah surat yang diunggah secara online setelah penangkapannya pada Juni 2018.
Bahkan ketika berada di dalam penjara, dia tetap “mengharapkan yang terbaik” untuk Arab Saudi.
Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Alainna Liloia, Graduate Associate, Ph.D. Student, University of Arizona
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.