Ini adalah pengalaman adikkku sebagai seorang buruh. Betapa sulitnya ia meminta perlindungan kesehatan pada perusahaan ketika ada wabah Corona. Padahal buruh berhadapan dengan pertaruhan hidup dan mati. Bukankah sudah lebih dulu dan sudah lama buruh memberi hidupnya untuk pertaruhan hidup dan mati di perusahaan tempatnya bekerja?
*Dewi Nova- www.Konde.co
Adikku bekerja sebagai teknisi engineering pada sebuah gedung perkantoran di Kuningan, Jakarta. Ia bersama puluhan buruh jasa lainnya bekerja dengan sistem shift, masuk setiap hari. jika shift pagi jam 6-14, shift siang jam 15-22, shift malam jam 23-7 pagi.
Di samping pekerja shift seperti adik saya, ada pekerja reguler yang setiap harinya bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 17.
Sejak awal, hingga tahun ke-8 adikku bekerja, pihak perusahaan tidak mengizinkan pembentukan serikat pekerja. Tetapi adikku dan kawan sekerjanya berusaha melakukan konsolidasi, kadang-kadang berjuang sendiri, untuk menolak peraturan-peraturan yang merugikan, bahkan yang mengancam keselamatan mereka sebagai buruh. Termasuk saat ia dan buruh lainnya menghadapi situasi pandemi Corona atau COVID-19 sebulan ini.
Ketika pemerintah DKI Jakarta mulai memberlakukan kebijakan bekerja dari rumah, perusahaan tempat adikku bekerja, bergeming.
Baru pada 24 Maret 2020, ketika situasi kesehatan masyarakat memburuk, perusahaannya memperpendek jam kerja. Itu pun hanya diberlakukan kepada buruh reguler. Adikku yang bekerja dengan status sebagai buruh shift, mulai gelisah.
Kebijakan dan situasi kerja yang mengabaikan derajat kesehatan buruh, tidak hanya berdampak pada dirinya, sebagai buruh yang menopang keberlangsungan perusahaan. Derajat kesehatannya akan berdampak kepada sesama buruh, orang-orang yang ia temui di lingkungan kerjanya dan orang-orang yang berpapasan setiap hari di perjalanan dari rumah ke tempat kerja (dan sebaliknya).
Yang dilupakan perusahaan, kesehatan adikku juga akan berpengaruh terhadap isteri, ketiga anaknya dan anggota keluarga yang serumah dengannya. Situasi yang sama dihadapi oleh semua buruh di Indonesia yang mengalami pengabaian dari perusahaan tempat mereka bekerja, saat ini.
Menghadapi situasi itu, adikku mengambil tindakan untuk berbicara dengan chief yang bertanggungjawab pada unit kerjanya. Ia mempertanyakan mengapa tidak ada perlindungan memadai dari perusahaan untuk buruh shift.
Ketika chief berargumen bahwa hal itu juga diberlakukan oleh perusahaan lain di kawasan Kuningan, adikku meminta berbicara langsung dengan owner perusahaan untuk menyampaikan tiga pokok pikiran.
Pertama, menurut adikku, tidak bijak perusahaan tempatnya bekerja merujuk pada kebijakan perusahaan lain yang buruk perlindungannya terhadap buruh. Kedua, bila perusahaan tidak melakukan penyesuaian kebijakan sesuai situasi pandemi Corona mengenai perlindungan buruh, berarti perusahaan memaksa buruh mengurus sendiri kesehatan-keselamatan kerjanya.
Maka, ia kemudian meminta perusahaan untuk memberikan uang tambahan kepada buruh untuk membiayai kesehatan-keselamatan kerjanya. Uang tambahan itu dapat digunakan buruh untuk membeli makanan yang lebih bergizi, vitamin dan obat atau konsumsi lain guna menaikan imun tubuh, juga peralatan kerja seperti masker dan sarung tangan.
Ketiga, karena adikku dan kawan sekerjanya bekerja memberikan jasa engineering untuk 28 lantai yang artinya berinteraksi dengan 28 kelompok penyewa gedung, ia meminta pihak perusahaan untuk memberitahukan kepada buruh bila ada pengguna gedung yang terkena COVID 19. Tujuannya agar perusahaan dan buruh dapat mengelola situasi itu, apakah mengisolasi lantai tersebut atau upaya lainnya untuk keselamatan bersama.
Sampai catatan ini ditulis, pihak chief belum memfasilitasi adikku untuk berjumpa owner atau pemilik. Sebenarnya bukan pertemuan itu yang utama adikku tuju, tapi pemenuhan tiga tuntutannya. Karena beberapa pengalaman sebelumnya, menunjukan chief seringkali bertindak lebih buruk kepada buruh dari peraturan yang ada, hanya untuk menjilat owner.
Permintaannya berbicara langsung pada owner, taktik ia sebagai buruh untuk menunjukan ketidakpercayaan dan penolakan pada kebijakan di tingkat chief, selain untuk membuka wawasan owner dan chief terhadap kebutuhan buruh saat ini.
Dua hari sejak tuntutannya itu, perusahaan mengeluarkan kebijakan berupa perubahan lama kerja dari yang sebelumnya masuk kerja selama 6 hari yang terdiri dari: 2 hari shift pagi, 2 hari shift siang, 2 hari shift malam—dan 2 hari libur, menjadi 3 hari: 1 hari shift pagi, 1 hari shift siang, 1 hari shift malam—dan 2 hari libur. Menurut adikku, itu awalan perubahaan yang baik, dengan memperpendek hari kerja, ia bisa menjaga imun tubuh lebih baik.
“Kalau kita bekerja terlalu lelah, seperti kebijakan sebelum Corona, bagaimana kita dapat menjaga imun tubuh?,” tutur adikku.
Tiga tuntutan adikku terhadap perusahaan belum dipenuhi. Ia masih harus menajamkan telinganya untuk mencari tahu bila ada yang positif Corona di lingkungan kerjanya. Ia harus mengatur sendiri istirahat yang cukup, membiayai sendiri untuk menambah konsumsi madu, vitamin dan lainnya untuk menjaga imun tubuhnya.
Di sela istirahat kerja, sebagai ayah dari 3 orang anak dan yang satu masih balita, ia harus memastikan beberapa perubahan cara hidup isteri dan anak-anaknya agar sebisa mungkin terhindar dari penularan Corona. Mengingatkan ‘SOP’ isteri dan balitanya ketika terpaksa harus ke luar rumah, memandu anak perempuannya yang masih remaja aktif yang tidak mudah untuk diminta tinggal di rumah. Ia juga mendisiplinkan diri untuk menyemprot disinfektan ke tas, sepatu, baju kerja sebelum masuk rumah dan bersegera mandi.
Dari pengalaman adikku, sedikitnya ada 2 hal yang masih gagal dilihat oleh perusahaan terhadap buruhnya.
Pertama, perusahaan masih melihat buruh sebagai individu yang tak terhubung dengan isteri-anaknya atau keluarga lain yang tidak hanya menjadi tanggungan buruh tapi hidup bersama buruh. Artinya dalam situasi Corona, bila perusahaan mengabaikan perlindungan buruh, maka ia juga mengancam kesehatan-keselamatan keluarga buruh.
“Sejauh ini, aku dan kawan sekerjaku mencari pengetahuan sendiri, bagaimana mengelola diri dan keluarga untuk mengecilkan resiko tertular virus Corona. Perusahaan belum melihat kami – buruh bagian dari keluarganya, apalagi sampai memberikan arahan bagaimana menjaga kesehatan-keselamatan kerja sebagai upaya kesehatan-keselamatan keluarga. Kami belum pernah mendengar arahan seperti itu dari perusahaan,” keluh adikku.
Kedua, lagi-lagi perusahaan membebankan biaya kemahalan akibat terus bekerja pada situasi pandemi Corona kepada buruh yang menopangnya. Karena, menurutku penyediaan hands sanitizer dan pengurangan durasi kerja belum cukup untuk melindungi adikku sebagai buruh.
“Dari perusahaan juga belum ada arahan, apa dan bagaimana prosedurnya, bila ada buruh yang teridentifikasi atau mengalami gejala tertular Corona. Perlindungan dan pelayanan seperti apa yang dapat perusahaan berikan?,” tegas adikku.
Sebelum pandemi Corona, pihak perusahaan tentu sudah mengambil untung cukup dari keringat dan resiko kerja yang dibebankan kepada buruh.
Dalam situasi kesulitan global ini, sudah saatnya perusahaan melepaskan etika profit oriented pada keselamatan bersama. Tidak bisa tidak, karena kali ini kita berhadapan dengan pertaruhan hidup dan mati buruh yang berakibat langsung pada keluarganya.
Bukankah sudah lebih dulu dan sudah lama buruh memberi hidupnya untuk pertaruhan hidup dan mati perusahaan tempat mereka bekerja?
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Dewi Nova, Penulis buku “Perempuan Kopi”, dapat dihubungi melalui:dewinova.wahyuni@gmail.com