Dipanggil Sebagai Anak Onta dan Haram: Stigma Pada Anak Pekerja Migran


Anak-anak pekerja migran di Lombok dipanggil sebagai anak onta, anak haram, anak sawit atau anak bule. Panggilan ini adalah stigma bagi mereka. Panggilan sebagai anak onta terjadi ketika ibu mereka menikah atau berhubungan dengan laki-laki di negara lain tempat ibu mereka bekerja sebagai buruh migran. Stigma ini tak hanya terjadi pada anak-anak, namun juga pada ibu atau para perempuan yang bekerja ke luar negeri dan pulang dengan membawa anak

Suharti Atik- Konde.co    

Bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri, masih menjadi pilihan primadona para perempuan di Lombok untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Mereka memilih menjadi PMI juga karena sebagai pelarian saat memiliki persoalan. 

Hal itu misalnya terjadi ketika mereka harus mengalami perceraian, menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT, gagal panen, terbelit utang, dan banyak lagi alasan sehingga mereka harus bekerja keluar negeri.

Warga di Lombok juga tergoda bekerja di luar negeri karena masalah keuangan. Mereka mendapat iming-iming untuk mendapat uang secara cepat yang menyelesaikan persoalan ekonomi keluarga. Selain itu, tetangga yang berhasil setelah menjadi PMI memperkuat alasan mereka untuk mencoba bekerja di luar negeri. Bagi mereka, keluar negeri adalah salah satu jalan untuk mengatasi konflik pribadi. Konflik itu berasal dari hubungan dengan suami, dengan keluarga, atau kemiskinan.

Pada umumnya, masyarakat desa menggunakan uang dari hasil bekerja dari luar negeri untuk membangun rumah, membeli sepeda motor, membiayai sekolah anak, dan membeli atau menggadaikan tanah. Tetapi, di balik semua itu, pilihan bekerja keras di luar negeri, meninggalkan persoalan yang harus ditanggung anak-anak yang mereka di kampung halaman.

Ketika datang ke salah satu desa di pulau Lombok, kita bisa bertemu dengan anak-anak yang memiliki ciri-ciri khusus seperti paras mirip dengan warga “bule”. Masyarakat setempat sering memanggil anak-anak itu dengan panggilan “anak onta”, “anak sawit” atau “anak India”, atau bahkan “anak haram.” Panggilan itu menjadi stigma untuk anak-anak yang dilahirkan oleh para pekerja migran perempuan atau yang dibawa oleh warga laki-laki setempat sepulang dari bekerja di luar negeri.

Sebutan sebagai anak onta atau anak sawit diberikan kepada anak-anak pekerja migran yang lahir dari perkawinan atau hubungan antara perempuan PMI atau laki-laki PMI Indonesia yang bekerja di luar negeri. Meski dianggap memiliki paras menarik, anak-anak itu harus menanggung stigma. Mereka merasa berbeda dari anak-anak lainnya. Panggilan itu menyakiti, bahkan mendiskriminasi mereka.

Anak-anak pekerja migran itu merasa minder, sehingga tersingkir dan harus kehilangan kesempatan untuk bersekolah. Mereka juga dibatasi untuk bermain dan berinteraksi dengan teman sebayanya.

Rata-rata anak-anak PMI tersebut dititipkan pada nenek dan kakeknya karena orangtua mereka harus bekerja kembali keluar negeri. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika nenek dan kakek merasa kerepotan karena dititipi banyak anak. Akibatnya, anak-anak PMI diharuskan segera menikah untuk meringankan beban ekonomi kakek dan nenek. Mereka menikah meski masih berusia anak dan kebanyakan adalah anak-anak perempuan.

Sebagian dari mereka juga sering menjadi korban eksploitasi seksual karena pengawasan yang kurang. Di Desa Lenek Lauq, seorang anak berusia 15 tahun, Dewi (bukan nama sebenarnya) terpaksa harus putus sekolah ketika berada di kelas 2 SMP karena tidak tahan dirisak (bullying) oleh teman-teman sekolahnya. Dewi sering dipanggil sebagai anak onta, anak sawit, atau anak bule. Ia merasa malu setelah dipanggil  sebagai “anak Pakistan.” Dewi dibawa pulang oleh ibunya yang sebelumnya bekerja di Arab Saudi.

Tak berselang lama, adik laki-laki Dewi terpaksa putus sekolah. Andi, bukan nama sebenarnya, yang berusia 12 tahun tidak kuat menanggung perisakan di sekolah. Dia berhenti sekolah saat kelas 6 SD karena malu dipanggil “anak  onta.”

Sejak kecil Dewi dan adik-adiknya sudah terbiasa ditinggal oleh ibunya, sedangkan ayahnya entah dimana. 

Sebelumnya, mereka dititipkan pada bibinya. Akan tetapi, bibiya kemudian tidak sanggup lagi mengurus Dewi bersama adik-adiknya. Dewi terpaksa mengambil alih semua tanggung jawab mengurus adik-adiknya. Ia bekerja mulai dari mengurus rumah, menyiapkan makanan, mencuci baju, menyeterika, hingga bekerja sebagai pelayan toko untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama adik-adiknnya.

Dewi mengatakan, uang yang dikirimkan oleh ibunya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal itu karena ibunya tidak lagi rutin mengirimkan uang seperti sebelumnya. Dewi tak pernah tahu kemana ayah mereka pergi. Dia bahkan belum pernah bertemu ayahnya.

“Jadi saya harus pintar-pintar mengatur uang yang dikirimkan oleh ibu dari luar negeri,” ujarnya, saat saya temui beberapa minggu lalu.

Dewi dan adik-adiknya kini menumpang di rumah keluarga ibunya. Mereka menempati rumah kosong milik bibinya. Tetapi, mereka hanya diizinkan menempati satu kamar tidur. Sebelum pergi, ibu mereka menitipkan Dewi dan adik-adiknya di rumah bibi tersebut.

Dewi, Adi, dan Aminah memiliki ayah yang merupakan warga Pakistan. Sementara, Andi merupakan anak dari laki-laki, warga Lombok.

“Sekarang tidak tahu kemana ayah-ayah mereka ini,” begitu cerita bu Sarkyah salah satu kader desa di sana sedih

“Dewi, dan dua saudaranya berayahkan orang Pakistan ketika ibunya berada di Arab Saudi sebagai PMI. Menurut saudaranya, mereka pernah menikah sebelumnya.”

Berdasarkan pengakuan dari Ibu Sarkyah dan beberapa masyarakat di desa, para ibu dari anak-anak tersebut biasanya pulang dari luar negeri dalam kondisi hamil. Mereka kerap mengatakan bahwa bapak dari anak tersebut telah meninggal dunia. Kemungkinan, itu menjadi alasan mereka menutupi kenyataan bahwa ayah mereka tak mau bertanggungjawab atas anak-anaknya.

Ini merupakan kondisi memprihatinkan yang banyak dialami perempuan buruh migran di Lombok.

Kasus seperti itu banyak kami temui di beberapa desa yang ada di pulau Lombok. Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh Santai di 2 Kecamatan, yaitu Kecamatan Aikmel dan Wanasaba, ada sekitar 43 anak yang dibawa oleh PMI dari tempat mereka bekerja. Kasus yang menimpa para perempuan PMI itu bermacam-macam, mulai dari korban pemerkosaan oleh majikan, perkawinan yang tidak tercatat, dan lainnya. Sebagian anak tersebut dibawa pulang ketika mereka masih dalam kandungan. Selain itu, ada anak yang dibawa pulang ketika mereka masih berusia di bawah lima tahun (Balita). Anak-anak tersebut memiliki kerentanan mendapatkan kekerasan maupun menjadi pelaku kekerasan. Mereka juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan hak atas identitas yaitu berupa akta kelahiran. Bahkan, beberapa anak tersebut dibatasi ruang geraknya untuk bermain karena keluarganya malu.

“Mereka dibawa pulang oleh ibunya ketika mereka masih Balita dan bapaknya tidak pernah datang ke Lombok,” tutur bu Sarkyah.

Sarkyah kembali bercerita bahwa Andi telah bekerja sebagai buruh bangunan.

“Andi sekarang bekerja menjadi buruh bangunan dan buruh serabutan, karena dia sudah tidak sekolah lagi. katanya dia malu, karena sering dipanggil anak onta oleh teman-temannya. Di samping itu, dia mau membantu mencari uang buat makan saudaranya,” ujar Bu Sarkyah menambahkan.

Dewi dan Andi menjadi korban atas stigma yang diberikan oleh masyarakat dan teman sebayanya. Di usia yang masih sangat belia, mereka harus rela berpisah dengan orang tuanya. Mereka harus rela tidak merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya karena bercerai. Hal itu diperparah lagi dengan stigma yang diberikan oleh masyarakat yang menambah keterpurukan hidup sebagai anak-anak. Sedangkan, ibu mereka harus berjuang sendiri untuk bekerja kembali keluar negeri menghidupi mereka

Di Lombok, anak-anak seperti Dewi dan Andi umumnya sulit mendapatkan kartu kelahiran atau kartu keluarga. Padahal, kartu kelahiran dan kartu keluarga adalah dokumen penting agar mereka mendapatkan haknya untuk bersekolah dan mendapatkan kartu pendidikan dan kartu kesehatan dari pemerintah.

Dunia anak-anak seharusnya berada di sekolah. Dunia mereka adalah dunia bermain dan menikmati masa anak-anak. Tapi kenyataannya, mereka terpaksa harus berhenti bersekolah untuk menjadi pekerja anak.

Kerasnya hidup dan konflik yang terjadi di lingkungan membuat ibu mereka harus pergi merantau menjadi PMI. Kondisi itu menjadikan anak-anak sebagai bagian dari rantai hidup yang tak mudah. Stigma, diskriminasi, dan kekerasan harus mereka alami.

Bagaimana mengurai rantai ini? Pemerintah harus menyediakan lapangan pekerjaan bagi perempuan atau PMI. Jika ada lapangan kerja, maka mereka tak akan menitipkan anak-anak mereka pada keluarga besar untuk bekerja di luar negeri. Kemiskinan, konflik dalam keluarga, rasa malu, adalah hal-hal yang membuat banyak PMI perempuan harus keluar dari rumahnya.

Mulai sekarang, kita juga harus berhenti memberikan stigma kepada anak-anak PMI. Tidak ada seorang anakpun yang ada di dunia ini yang minta dilahirkan oleh siapa, di mana, dan kapan. Jika mereka punya wajah berbeda, apakah kita berhak untuk mempermalukan lalu mendiskriminasi mereka?

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Suharti Atik, aktivis Santai, di Lombok, Nusa Tenggara Barat  

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!