Melihat Sejarah Kemerdekaan dan Kontribusi Anak Muda Indonesia

Andre Arditya, The Conversation

Artikel ini bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.


Gerakan kaum muda Indonesia masa kini adalah penerus para pendahulu mereka. Dalam perjalanan sejarah bangsa, kaum muda selalu memainkan peran penting dan revolusioner.

Dalam sejarah, gerakan kaum muda yang berjuang melawan generasi tua yang mapan tercatat dalam momen-momen genting dan penting.

Maka muncullah penamaan seperti angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, dan – tentu saja – 1998.

Tahun lalu, gelombang unjuk rasa anak muda di berbagai wilayah terhadap serangkaian rancangan undang-undang kontroversial, dipandang sebagai “protes mahasiswa terbesar sejak 1998”.

“Unjuk rasa itu menunjukkan bahwa anak muda masih memiliki pandangan politik kritis dan keyakinan atas keberdayaan politik mereka, meskipun dalam dua dekade terakhir mereka sering dituduh apatis,” menurut Yatun Sastramidjaja, asisten profesor antropologi di University of Amsterdam, Belanda.

Menurut dia, aktivis muda saat ini – yang bergerak saat negara ini mencapai usia 75 tahun – mewakili sebuah momen perintis dalam sejarah Indonesia.

“Alasannya sederhana saja. Perjuangan para pendahulu mereka demi kebebasan dari penindasan, keadilan dan kebenaran masih penting dan justru semakin mendesak hari-hari ini,” kata Yatun.




Baca juga:
Catatan aktivis ’98 untuk demo mahasiswa 2019: lanjutkan perjuangan!


Kesadaran angkatan

Yatun mengatakan salah satu faktor pendorong gerakan kaum muda yang selalu ada dari masa ke masa adalah kesadaran dalam angkatan.

“Mereka adalah wujud dari gagasan bahwa era baru yang progresif, Indonesia yang lebih baik, dapat dicapai; dan mereka memiliki tanggung jawab untuk memimpin dalam perjuangan yang sedang berlangsung untuk masa depan yang lebih baik,” katanya.

Kesadaran angkatan muda terbukti menjadi kekuatan pendorong perubahan nyata dalam sejarah Indonesia.

Gerakan pemuda dan pelajar di sepanjang sejarah Indonesia telah menyumbangkan visi yang jelas tentang perubahan progresif dan bagaimana perubahan ini dapat dicapai.

“Dan mereka melakukannya dengan cara-cara yang imajinatif yang sesuai dengan kebutuhan setiap zaman,” katanya.

The Conversation Indonesia, CC BY

Takdir bersama “kaum muda” pra-kemerdekaan

Menurut Yatun, kondisi-kondisi politik dan peluang-peluang yang ada membentuk berbagai peran pemuda, khususnya pemuda berpendidikan di setiap era.

Menurut studi Yatun tahun 2016 tentang gerakan pelajar Indonesia, pada akhir masa penjajahan Belanda, pemuda pribumi berpendidikan adalah kelompok yang relatif kecil tapi memiliki privilese tinggi.

Mereka memandang diri mereka sebagai agen dalam era baru yang menyingsing dan menyebut diri mereka “kaum muda”.

Mereka merasa lebih tercerahkan dibanding generasi orang tua mereka yang feodal dan terpecah-pecah secara etnis. Mereka seirama dengan perkembangan progresif di panggung dunia – termasuk kebangkitan nasionalisme.

Mereka juga orang-orang pertama yang mengembangkan rasa memiliki takdir bersama dan keberdayaan bersama sebagai sebuah generasi.

Ini terwujud pada 1908, ketika pelajar Indonesia di Jakarta (saat itu Batavia) mendirikan Boedi Oetomo, organisasi nasionalis pertama di Indonesia.

Mereka kemudian menyelenggarakan dua Kongres Pemuda pada 1926 dan 1928. Kongres tahun 1928 menghasilkan Sumpah Pemuda untuk kesetiaan pada “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa”.

Pada 1928, kaum muda menjalankan peran sebagai “agen sejarah”: nasib bangsa terkait erat dengan tindakan pemuda.

Pemuda revolusi nasional

Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok.
Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok.
Wikimedia, CC BY

Dalam masa perjuangan kemerdekaan, generasi baru pemuda nasionalis mengambil sikap yang lebih radikal.

Pada 16 Agustus 1945, sejumlah pemuda menculik Soekarno dan Mohammad Hatta untuk memaksa kedua pemimpin untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.

Mereka menyebutkan diri mereka dengan istilah yang lebih inklusif dan populis yaitu “pemuda” dan menekankan perlunya melibatkan rakyat dalam perjuangan kemerdekaan.

Dalam revolusi nasional yang terjadi kemudian, mereka membentuk berbagai kelompok perjuangan untuk memimpin perjuangan rakyat demi kemerdekaan.

Tetapi pemuda secara bertahap kehilangan peran utama dalam revolusi (yang diambil alih tentara) dan kemudian pindah ke arena politik nasional.

Pemuda yang berpendidikan didefinisikan ulang dalam istilah yang eksklusif “mahasiswa”. Peran ini dilembagakan dalam bentuk organisasi mahasiswa nasional yang memiliki afiliasi dekat dengan partai politik.

Menuju periode represi

Ketika gelombang berbalik melawan Soekarno setelah kudeta yang gagal pada 1965 – yang oleh tentara pimpinan Jenderal Soeharto dikambinghitamkan pada Partai Komunis Indonesia, sekutu Soekarno – organisasi mahasiswa bermobilisasi untuk melawan Soekarno.

Mahasiswa bergabung di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan selama berbulan-bulan menggelar demonstrasi massal menentang Partai Komunis dan kabinet Soekarno pada 1966.

Gerakan mahasiswa memainkan peran kunci dalam transisi ke Orde Baru yang dipimpin Soeharto.

Pada tahun 1970-an, gagasan mahasiswa sebagai kekuatan moral – yang didorong oleh kewajiban sejarah dan intelektual untuk membela mereka yang tertindas – menjadi tema yang berulang dalam gerakan mahasiswa.

Dalam periode ini protes terhadap pemerintah otoriter Soeharto mendapat respons yang brutal dan represif.

Pada 1974, mahasiswa disalahkan dalam demonstrasi yang berujung pada kerusuhan. Pada 1978, militer menyerang dan menduduki kampus-kampus yang dianggap sebagai pusat pergerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa tahun 1970-an menjadi perintis dalam kritik-kritik fundamental terhadap otoritarianisme dan kapitalisme kroni oleh negara yang terus bergema di kalangan aktivis mahasiswa hingga hari ini.




Baca juga:
Memahami universitas sebagai ajang pertempuran ideologi politik


Aktivis muda

Pergerakan mahasiswa pada akhir 1980-an dan awal 1990-an melepaskan diri dari label mahasiswa yang sudah dikebiri dan mengambil peran sebagai “aktivis”.

Maka, menurut Yatun, gerakan mahasiswa 1998 tidak muncul begitu saja, namun memanfaatkan iklim anti-Orde Baru yang sudah dipupuk mahasiswa sejak 1970-an.

Gerakan mahasiswa 1998 awalnya dipicu oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir 1997. Krisis ini berdampak sangat buruk pada kelas menengah serta mempercepat proses deligitimasi Soeharto.

Namun, ingatan bersama tentang “perjuangan mahasiswa” berperan memacu partisipasi massa mahasiswa yang sebelumnya tidak aktif secara politik.

Para mahasiswa ini merasa terpanggil oleh rakyat untuk memenuhi peran sejarah mereka sebagai pembela rakyat pada masa krisis.

“Pada akhirnya, kapasitas kreatif mahasiswa tidak hanya menciptakan gerakan spektakuler yang menarik perhatian dan mendapat dukungan banyak orang, tapi juga untuk menghadirkan narasi meyakinkan untuk melawan Orde Baru. Ini diungkapkan slogan ‘reformasi’ dan agenda reformasi,” kata Yatun.

Gerakan mahasiswa 1998, serta gerakan-gerakan sebelumnya, telah memberikan peta jalan bagi gerakan mahasiswa pada masa-masa berikutnya untuk terus memerangi korupsi, ketidakadilan, dan otoritarianisme.

Pertempuran terus-menerus melawan generasi tua

Muhammad Fajar, kandidat PhD ilmu politik di Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat, mengatakan bahwa pemuda Indonesia selalu bertempur melawan generasi tua yang sudah mapan.

“Para elite politik tua elit selalu berusaha membatasi peran pemuda-pemudi,” kata Fajar.

“Saat pemuda-pemudi mengritik, elit politik tua membungkam. Saat pemuda-pemudi memperjuangkan kesetaraan gender, elit politik tua bertahan dengan patriarki,” katanya.

Namun, Fajar juga mengingatkan bahwa dengan menekankan peran “pemuda terpelajar”, orang-orang yang berada di luar kategori sosial ini akan disisihkan sebagai aktor yang setara dalam perjuangan.

“Mendefinisikan peran pemuda-pemudi dari sudut pandang pemuda-pemudi yang terlibat pada momen-momen historis ini mengabaikan para pemuda-pemudi yang tidak ikut, tertinggal, atau sengaja dipinggirkan dari proses tersebut karena kekurangan akses mereka terhadap pendidikan, pekerjaan dan jarak mereka yang jauh dari kekuasaan,” kata Fajar.

Pemuda hari ini

Menurut Fajar, yang bisa dipelajari dari kiprah gerakan pemuda adalah untuk selalu waspada terhadap generasi yang lebih tua.

“Saat elite politik tua mulai berbicara tentang pemuda-pemudi, sudah seharusnya pemuda-pemudi mulai curiga. Yang mereka bicarakan adalah hidup dan kepentingan mereka, bukan apa yang akan dan nyata dihadapi pemuda-pemudi,” ujarnya.

Anak-anak muda dalam unjuk rasa Climate Strike di Jakarta tahun 2019.
Anak-anak muda dalam unjuk rasa Climate Strike di Jakarta tahun 2019.
Luthfi Dzulfikar/The Conversation Indonesia, CC BY-NC-ND

Walau mereka masih memiliki keinginan bersama untuk perubahan progresif dan kekuatan bersama untuk mewujudkannya, kaum muda saat ini sebagian besar didorong oleh narasi yang lebih luas tentang politik, sosial, ekonomi, ekologi, pendidikan, ras, dan keadilan gender yang sama di seluruh dunia.

“Ini tidak lantas membuat gerakan kaum muda saat ini menjadi kurang nasionalis. Sebaliknya, ini membuat mereka lebih tepat untuk memimpin bangsa Indonesia ke arah baru yang dibutuhkan,” kata Yatun.


Artikel ini diterjemahkan olehAgradhira Nandi WardhanadaribahasaInggris.The Conversation

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Andre Arditya, Editor Politik + Masyarakat, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!