Debat narasi soal sexual consent terus terjadi. Dalam debat ini, kekerasan seksual terus-menerus diseret sebagai narasi sebatas seks bebas, ini tentu jauh dari makna perjuangan perempuan dalam menolak kekerasan seksual yang banyak sekali terjadi
Nunu Pradya Lestari- Konde.co
Antioch College, di Yellow Springs, Ohio, Amerika adalah perguruan tinggi pertama yang memperkenalkan kebijakan untuk memerangi kekerasan seksual di kampus dengan edukasi Sexual Consent di tahun 1990.
Kebijakan ini lalu menjadi bagian dari kebijakan pemberantasan kekerasan seksual di dalam perguruan tinggi. Mereka mewajibkan mahasiswanya untuk bertanya dan memberikan consent (hak menerima atau menolak) pada tahapan interaksi seksual.
Kebijakan itu menekankan pentingnya komunikasi verbal secara langsung terhadap setiap tindakan seksual, sehingga diharapkan bisa meminimalisasi kekerasan atau bentuk pemaksaan seksual.
Kebijakan kampus tersebut awalnya menuai sorotan secara nasional dan internasional. Tak sedikit pihak yang mengkritik, memprotes, walau juga ada yang menyetujui langkah dari Antioch College untuk memberikan pengajaran mengenai Sexual Consent.
Direktur Antioch College pada waktu itu menjawab kritik media dengan menyatakan bahwa tujuan dari kebijakan tersebut untuk menanamkan kesadaran dan menghargai consent seseorang atas keputusan seksual, serta untuk mengatasi meningkatnya prevalensi pemerkosaan di kampus mereka.
Kontroversi mengenai pendidikan Sexual Consent di Antioch College tiga dekade silam, terus memantik diskursus dan kesadaran tentang persetujuan seksual dan masalah pelecehan seksual di kampus.
Dalam perkembangannya, banyak universitas di Amerika Serikat maupun negara lain yang kemudian memasukkan materi Sexual Consent baik sebagai bahan kajian Pusat Studi Gender maupun materi pendidikan bagi mahasiswanya.
Pendidikan mengenai sexual consent kemudian banyak sekali diapresiasi sebagai metode dalam penghapusan kekerasan seksual di kampus.
Di Indonesia, saya ingat peristiwa pada September 2020 lalu. Upaya akademisi Universitas Indonesia untuk menghapus kekerasan seksual di dunia kampus dengan memberikan pendidikan pada mahasiswa baru mengenai kekerasan seksual dan soal sexual consent diprotes oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat/ DPR dari politikus Partai Keadilan Sejahtera/ PKS.
Perdebatan itu menjadi alarm bagi semua untuk mempertanyakan keseriusan negara dalam menghapus kekerasan seksual. Karena, wacana upaya penghapusan kekerasan seksual terus menerus diseret oleh narasi yang sebatas seks bebas, yang tidak konkret menyentuh akar permasalahan. Jika perdebatan terus berkutat sebatas itu, sampai kapan Indonesia akan keluar dari situasi darurat kekerasan seksual?
Dalam acara Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru Universitas Indonesia 2020 (PKKMB UI) misalnya, Puska Gender UI menyampaikan materi mengenai kekerasan seksual dan sexual consent kepada mahasiswa baru.
Lidwina Inge Nurtjahyo, dosen dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama jajaran akademisi UI menyatakan bahwa penyampaian materi tentang persetujuan kedua belah pihak untuk kegiatan seksual, sangat penting disampaikan karena semakin banyaknya kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Pemahaman mahasiswa mengenai sexual consent diharapkan dapat menekan kasus kekerasan seksual tersebut.
“Para guru besar, sesama dosen yang peduli soal penanganan kekerasan seksual ingin kampusnya nol toleransi kekerasan seksual,” kata Lidwina Inge pada Konde.co, 15 September 2020.
Namun, upaya kampus untuk membuat polemik bergulir ketika politikus PKS sekaligus anggota DPR, Al Muzammil Yusuf, menyatakan keberatan dengan penyampaian materi mengenai Sexual Consent. Menurutnya, materi itu akan mengajarkan mahasiswa untuk boleh melakukan hubungan seks bebas dengan persetujuan atau tanpa kekerasan.
Penolakan materi sexual consent juga disampaikan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia.
Dalam sebuah sesi Webinar bertajuk ‘Memahami Sexual Consent & Kekerasan Seksual’, Ketua AILA Indonesia Rita Hendrawaty Soebagio menilai pendidikan Sexual Consent cenderung mengadopsi nilai-nilai barat yang tentu tidak sesuai dengan nilai-nilai di Indonesia.
“Paradigma ini tidak terlepas dari konsep pendidikan seksual yang ditawarkan di Barat hampir 100 tahun lalu. Tak hanya di Indonesia, di Barat pun juga ada protes penolakan terhadap pendidikan sexual consent,” ujar Rita.
Kontroversi tentang sexual consent tersebut muncul saat kasus kekerasan seksual semakin terkuak kerap terjadi di institusi pendidikan dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu kasus yang cukup mendapat perhatian adalah kasus pelecehan seksual yang dialami Agni, seorang mahasiswi UGM ketika mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tahun 2017.
Seiring waktu, satu per satu kasus pelecehan dan kekerasan seksual di institusi pendidikan terungkap ke publik. Pada Maret 2020 lalu, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh IM, salah satu alumni berprestasi Universitas Islam Indonesia/ UII di Yogyakarta terkuak. Bak bola salju, di awal bulan Juli 2020, kasus kekerasan kembali terdengar dari Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), Nusa Tenggara Barat yang melibatkan seorang dosen dan mahasiswanya, juga di banyak kota lain seperti di Malang, Medan, dll.
Kondisi tersebut memantik inisiatif dari sejumlah pihak untuk memerangi kekerasan seksual di institusi pendidikan. Mereka yang terdiri atas dosen, mahasiswa, aktivis perempuan, individu maupun organisasi bersama-sama menyuarakan Stop Kekerasan Seksual di Kampus.
Bahkan, beberapa media nasional yakni Tirto, Jakarta Post, BBC dan VICE saling berkolaborasi untuk membantu investigasi dan publikasi kasus kekerasan seksual di ranah kampus dengan menginisiasi gerakan #NamaBaikKampus.
Untuk menghentikan kejadian serupa berulang, kampanye Stop Kekerasan Seksual di Kampus terus dilakukan. Universitas Indonesia (UI) sebagai salah satu institusi pendidikan menjadi salah satu yang terdepan berkomitmen mempelopori upaya stop kekerasan seksual di kampus. Salah satu upaya itu dilakukan dengan edukasi kepada mahasiswa dan civitas pendidikan.
Pendidikan Sexual Consent Bukan Ajaran Sex Bebas
Merespon sikap AILA, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) balik mengkritik dengan memberikan penekanan bahwa consent dan legalisasi hubungan seksual adalah dua hal yang berbeda sama sekali. Legalitas dari status sebuah hubungan antarindividu yang melakukan hubungan seksual, bukanlah menjadi ukuran apakah suatu hubungan seksual dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau tidak.
Karena dalam hukum pidana di Indonesia, pemaksaan tindakan seksual atau perkosaan yang dilakukan di dalam perkawinan, dapat dikriminalisasi berdasarkan ketentuan Pasal 46 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT.
ICJR juga menekankan tidak tepat untuk menempatkan kekerasan seksual sebagai hubungan seksual tanpa status legal atau seks bebas, apalagi dengan mengabaikan pentingnya consent atau persetujuan. Alih-alih memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual, logika pikir seperti itu justru akan menormalisasi adanya penghakiman dan mengabaikan pengalaman korban karena tidak memenuhi standar “legalitas” yang digunakan oleh AILA.
Dixie dalam Jurnal McNair Scholars Research, memaparkan bahwa Sexual Consent sangat penting dalam memperjelas definisi kekerasan seksual.
Dalam sistem peradilan dan hukum pidana, hubungan seksual dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan, apabila di dalamnya tidak ada unsur consent atau persetujuan.
Maka dari itu, pendidikan seksual yang memberikan pemahaman mendalam mengenai consent, dinilai merupakan langkah yang sangat tepat untuk dapat menurunkan angka kekerasan seksual. Tanpa adanya pengajaran mengenai pemahaman apa itu persetujuan, bentuk-bentuk persetujuan, maupun kapan seseorang dapat memberikan persetujuannya, justru upaya-upaya pencegahan kekerasan seksual akan semakin sulit dilakukan.
Terkait pendidikan sexual consent di kampus, Terry Humphreys dalam disertasinya yang berjudul ‘Sexual Consent in Heterosexual Dating Relationships: Attitudes and Behaviours of University Students’ memaparkan bahwa institusi pendidikan memang memerlukan sebuah kebijakan yang komprehensif untuk memerangi kekerasan seksual
Tentu ini bukan lagi perdebatan yang mana Timur dan mana di Barat sebagaimana dipersoalkan selama ini: bahwa pendidikan seksualitas adalah ajaran dari barat, berbeda dengan ajaran Timur. Kita tak lagi berada dalam ruang perdebatan di ruang itu
Dukungan untuk upaya penghapusan kekerasan seksual di kampus termasuk melalui edukasi semestinya terus didorong. Hal itu karena negara masih minim upaya untuk melindungi warganya dari kekerasan seksual. Itu terbukti dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru dicabut dari Prolegnas 2020 di saat angka kekerasan seksual semakin meningkat.
Oleh karena itu, kita perlu menuntut anggota DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk mengakhiri status darurat kekerasan seksual di Indonesia dengan kebijakan yang lebih komprehensif dan berpihak pada korban.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Nunu Pradya Lestari, penulis dan aktif di jaringan nasional perburuhan. Nunu merupakan lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta