Saya pertamakali bertemu Munir ketika Munir sedang melakukan advokasi pada para buruh di Malang, kemudian di Surabaya. Saya ingat sekali bagaimana pembelaan Munir terhadap para buruh, bertemu buruh hingga jam 12 malam dan membuat pembelaan sampai subuh, lalu paginya kembali mendampingi buruh. Disitulah pilihan Munir, untuk berada mendukung kelompok masyarakat. Walau kondisinya kemudian sangat ironi, Munir menjadi korban dalam ruang-ruang ini (Suciwati)
Luviana- Konde.co
7 September 2004, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh dalam sebuah perjalanan ke Belanda. Ia meninggalkan seorang istri, Suciwati dan 2 anak, Diva dan Alif yang masih sangat kecil
Perjalanan hidup tak pernah mudah bagi Suciwati setelah itu. Berpindah ke Malang, terus memperjuangkan penyebab kematian Munir.
Di tahun 2013, Suciwati mendirikan museum “Omah Munir” di Batu, Malang, Jawa Timur. Dalam laman web “Omah Munir” tertulis Omah Munir didirikan untuk mengisi pendidikan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bagi masyarakat Indonesia terutama generasi muda dalam rangka menciptakan warga negara yang cinta damai, menghargai perbedaan, menjaga toleransi antara kelompok dan menjunjung tinggi prinsip kesetaraan.
Museum ini menampilkan eksebisi tentang sejarah perkembangan perjuangan HAM di Indonesia, serta mengangkat kehidupan para pembela HAM Indonesia seperti Marsinah dan Munir dan sejumlah aktivis HAM lainnya
7 September 2020 atau 16 tahun setelah kematian Munir, Suciwati, istri Munir tak pernah goyah berjuang untuk menuntaskan kematian Munir
Dalam sebuah diskusi yang diadakan Organisasi Perempuan Mahardhika pada 9 September 2020 tentang “memaknai perjuangan demokrasi dari sosok Munir yang berani” melalui daring, Konde.co merangkum bagaimana kesaksian Suciwati terhadap keberanian dan pilihan-pilhan Munir kala itu:
“Saya pertamakali bertemu ketika Munir sedang melakukan advokasi buruh-buruh di Malang, kemudian di Surabaya dan aktif di LBH Malang. Saya ingat sekali bagaimana pembelaan Munir terhadap para buruh Maspion ketika itu. Ia pulang dari bertemu pada buruh jam 12 malam, harus ke kantor, lalu diajak diskusi dan kemudian menulis gugatan pembelaannya pada malam itu juga dan selesai sampai dinihari. Hampir subuh ia baru tidur. Lalu ia bangun di pagi harinya tidak lama kemudian dan siap untuk membela teman-teman buruh. Ini dilakukan seumur hidupnya sampai ia kemudian pindah ke Jakarta. Ancaman adalah resiko perjuangan bagi Munir yang sering diterimanya.
Munir itu orangnya nothing to lose, orang yang punya jiwa berani dan iklhas tanpa berpikir akan mendapatkan benefit ketika beraktivias.
Munir pernah bertanya pada saya tentang pilihannya ini, ketika Munir memilih untuk menjadi bagian dari masyarakat yang berjuang. Saya bilang, saya serahkan semua ke Munir, saya hanya bilang: resiko orang hidup itu apa? Resiko orang hidup itu hanya mati. Ya, hidup itu begitu dan lebih baik kita berguna dalam hidup. Dan ini membuat dia semakin berani untuk melangkah.
Munir juga bilang, dengan pilihannya ini, nanti ia akan bertemu dengan para penguasa, yang punya kuasa, namun begitulah Munir dengan segala keikhlasan dengan semua hal yang ia lakukan dengan visi yang jelas untuk membela orang-orang yang tertindas
Dalam perjalanan perjuangannya, Munir sudah seringkali ditawari untuk menjadi pejabat, namun tidak boleh bicara soal penculikan dan kekerasan HAM. Saya bilang ke Munir, bahwa kalau kamu mencintai negaramu, kamu harus memberikan ruang pada masyarakat dimana ada banyak orang yang diculik, digusur, maka disitulah pilihan Munir, yaitu menguatkan masyarakat sipil. Walaupun kondisinya sangat ironi, Munir menjadi korban dalam ruang-ruang ini
Munir juga melakukan pembelaannya pada Marsinah, seorang buruh yang dibunuh di Jawa Timur dan dibuang ke hutan. Munir adalah orang yang bangga jika melihat yang memimpin adalah perempuan, bangga jika ada perempuan yang memimpin. Munir selalu mendorong tentang keadilan adalah untuk Marsinah, disinilah konsistensi Munir membela Marsinah.
Dalam kasus-kasus yang lain, Munir kemudian melakukan pembelaan pada kasus-kasus di Aceh yang selama ini dilihat bahwa yang berjuang hanya laki-laki, padahal banyak korban lain adalah perempuan. Sentuhan perspektif perempuan ini lalu menjadi semakin menguat di ruang-ruang HAM yang kini semakin banyak
Pada suatu hari, Munir pernah meminta saya agar saya saja yang menjadi kepala keluarga, pertimbangannya karena saya adalah orang yang paling banyak di rumah dan mengurus rumah. Lalu Munir mendatangi pengurus Rukun Tetangga (RT) di rumah kami dan ingin mengganti Kartu Keluarga kami dengan menuliskan bahwa saya adalah kepala keluarga di rumah kami. Namun ternyata ini tidak diperbolehkan oleh pengurus kampung, karena ini tidak lazim terjadi di Indonesia. Dia lalu bertanya.
“Kenapa anda tidak memperbolehkan, padahal istri saya mau dan banyak mengurus rumah.”
Dalam perjalanan menuntaskan kasus hingga sekarang, saat ini saya banyak menaruh harap pada anak muda. Saya justru tidak pernah menyangka jika banyak anak-anak muda kemudian ikut acara Kamisan setiap Kamis aksi di depan istana, tidak semua anak muda ikut, namun ini mengharukan dan memberikan perubahan. Omah Munir pernah mengadakan acara debat HAM bagi anak muda, pesertanya banyak dan mereka selalu menunggu acara berikutnya. Banyak anak muda yang sangat peduli pada hak asasi manusia dan siap untuk membantu. Omah Munir kemudian juga membuat podcast HAM dan semua anak-anak muda terlibat disini. Saya optimis dengan anak muda.”
Munir meninggal dalam perjalanannya ke Belanda untuk menempuh kuliah S2 di tahun 2004. Namun sejak kepergiannya di hari itu, Munir tak pernah kembali.
Proses hukum sudah berjalan namun sampai detik ini, belum juga bisa mengungkap siapa dibalik permufakatan jahat pembunuhannya. Permufakatan jahat untuk pembunuhan Munir ini melibatkan peran aktor lapangan, aktor yang mempermudah pembunuhan dan aktor perencana.
Dalam sebuah diskusi untuk mengenang kematian Munir pada 23 September 2019 2019 di Jakarta, para aktivis HAM mengatakan, kasus Munir kemudian mengalami kemandegan atau stagnan. Ada kewajiban yang tidak dipenuhi, artinya penyelesaiannya tidak terbuka dan tidak transparan. Hasil akhirnya tidak dijalankan, pemerintah tidak efektif dan tidak transparan.
Komnas Perempuan: Munir Memperjuangkan Kerentanan Khusus Perempuan
Komnas Perempuan dalam pernyataan pers pada 7 September 2020 melihat bahwa peringatan 16 Tahun Pembunuhan Munir memiliki dua signifikansi penting bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pertama, menjadi pengingat untuk memajukan upaya penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, untuk menguatkan jaminan perlindungan bagi pembela HAM, dengan perhatian khusus pada kerentanan Perempuan Pembela HAM (PPHAM).
Komnas Perempuan melihat bahwa Munir Said Thalib dikenal sebagai sosok Pembela HAM yang berintegritas tinggi dalam memastikan hak-hak korban diakui dan dipenuhi. Ia kokoh dalam membela HAM, terlebih bagi masyarakat kecil dan dimarginalkan, seperti dalam kasus penggusuran, perburuhan serta petani.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani melihat Munir juga memiliki pemahaman mumpuni pada kerentanan-kerentanan khusus yang dihadapi oleh korban, termasuk perempuan.
“Kasus Marsinah, seorang aktivis buruh perempuan yang dibunuh dan kemudian dibela oleh Munir menjadi bukti betapa tingginya komitmen Munir pada penegakan hak asasi perempuan.”
Demikian juga dalam kapasitasnya sebagai anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Timor Timur maupun dalam advokasi tentang pelanggaran HAM di berbagai wilayah, terutama pernah menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), yaitu Aceh dan Papua. Munir adalah laki-laki aktivis yang pertama dan selalu mengangkat pengalaman khas perempuan dalam situasi konflik bersenjata, mengemukakan keterhubungan tindak kekerasan terhadap perempuan dengan kekerasan negara, dan sebagai bagian dari strategi penundukan dan kemenangan.
“Salah satu pernyataannya Munir terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah, “Hak asasi manusia dalam konteks solidaritas kemanusiaan telah menciptakan bahasa universal dan setara yang melampaui ras, gender, sekat-sekat etnik atau agama.” Kematian Munir, karenanya, merupakan kehilangan yang besar bagi gerakan perempuan di tanah air,” kata Andy Yentriani
Menyikapi Peringatan 16 Tahun Pembunuhan Munir ini, Komnas Perempuan mendorong pemerintah agar segera menindaklanjuti rekomendasi TPF Munir dan juga menyegerakan penuntasan segala tindak pelanggaran HAM di masa lalu dengan memberikan perhatian khusus pada kebutuhan pemulihan perempuan korban dan keluarganya.
Pada DPR RI dan Pemerintah membentuk payung hukum yang meneguhkan jaminan hak konstitusional untuk memperjuangkan hak korban dan keluarganya, termasuk dengan memberikan pengakuan akan pentingnya kerja-kerja dan kepemimpinan pembela HAM dalam penegakan HAM di Tanah Air.
Dan pada Kepolisian RI untuk menghentikan kriminalisasi terhadap Pembela HAM dan sebaliknya memberikan perlindungan dalam aksi-aksi damai perjuangan pembelaan hak, dengan memperhatikan kerentanan khas yang dihadapi oleh Perempuan Pembela HAM, serta menyelidiki dan menghukum siapa pun pelaku berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan pembela HAM sebagai bagian dari perlindungan bagi perempuan pembela HAM.
(Foto: Thejakartapost.com)
Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi paruh waktu. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas