Yuk, Belajar Dari BTS dan Army Dalam Melawan Hegemoni Maskulinitas!

Tak hanya sekali Boyband BTS dilabeli sebagai banci dan gay karena mereka menggunakan make up dan mengenakan warna-warna baju yang selama ini dilekatkan pada perempuan. Stigma yang sama juga dilekatkan pada ARMY (sebutan untuk fans Boyband BTS), karena ARMY mengidolakan BTS yang memegang nilai-nilai yang bertolak belakang dengan nilai tradisional maskulin di dalam masyarakat

Jasmine Floretta V.D- Konde.co

Boyband BTS adalah sekumpulan laki-laki ‘cantik’, yang menggunakan make up selama melakukan aksi di depan panggung, menari dan membalut tubuh mereka dengan baju-baju khas gaya androgini. Mereka juga secara terbuka melakukan skinship seperti berpelukan dan berpegangan tangan dengan sesama member. 

Lagu-lagu mereka memperlihatkan kerentanan yang jarang sekali diangkat oleh musisi laki-laki seperti self-love ataupun cerita hidup mereka yang disampaikan secara intim. 

Hinaan seperti BTS adalah sekelompok pria gay dan banci pun menjadi ujaran kebenciaan yang paling umum dilontarkan masyarakat, terutama masyarakat Indonesia. 

Mantan pelatih timnas futsal Indonesia, Jus misalnya mengunggah tweet pada tanggal 10 Juni 2020 atas responnya terhadap VICE yang memberitakan BTS dan ARMY yang melakukan donasi sebesar 2 milliar juta dolar sebagai bentuk solidaritas dalam Black Lives Matter. 

“Ini yang namanya cowok millenial idaman para wanita? Pake lipsick dan rambut dicet”. 

Tidak hanya itu, jika kita mengetik kata kunci BTS gay dan BTS banci di kolom search twitter, maka kita akan disuguhi oleh banyaknya kata-kata hinaan terhadap BTS di dalam kolom reply fanpage BTS atau bahkan akun BTS sendiri yang dilontarkan oleh laki-laki. 

Hinaan tersebut begitu mudahnya keluar dari mulut masyarakat yang ini membuktikan bahwa masyarakat kita masih memegang erat esensi dari hegemoni maskulinitas sebagai nilai tradisional masyarakat. 

Apakah Itu Hegemoni Maskulinitas: Belajar Dari BTS

Hegemoni maskulinitas sendiri merupakan istilah yang dikemukakan Raewyn Connell, sosiolog berkebangsaan Australia dalam menjelaskan konfigurasi praktik gender yang menjamin dominasi laki-laki atas perempuan. 

Ujaran kebencian yang termanifestasikan melalui kata-kata gay dan banci merupakan esensi dari hegemoni maskulinitas yaitu heteroseksualitas. Heteroseksualitas menjadi nilai dasar yang harus dimiliki setiap individu sehingga kualitas yang bertolak belakang dari itu seperti emosionalitas atau effeminancy (manifestasi sifat-sifat pada laki-laki yang lebih sering dikaitkan dengan femininitas), kemudian dianggap sebagai maskulinitas yang tersubordinasi.

Hegemoni maskulinitas bersikeras memegang dominasi laki-laki atas perempuan, dan jika feminitas adalah sifat khusus perempuan, maka laki-laki harus sebisa mungkin menjauhi feminitas agar piramida hirearki tetap terjaga dengan baik. 

Di dalam hegemoni ini terdapat sebuah segregasi yang begitu mendalam di antara laki-laki dan perempuan, maskulin dan feminin. Tidak mengherankan kemudian jika homoseksualitas dianggap sebagai kontra-hegemonik dan inferior karena dipandang sebagai batu sandungan heteroseksualitas laki-laki dan berhubungan erat dengan effeminancy. 

Oleh karena itu, laki-laki yang bergaul atau memiliki sifat yang erat dengan effeminancy dan homoseksualitas akan dikeluarkan dari norma-norma maskulinitas yang dominan dan dikucilkan. Hal ini terlihat dari bagaimana para pengguna twitter yang merendahkan BTS dengan menggunakan kata-kata banci dan gay yang sarat akan kebencian. 

Banci dan gay yang mereka gunakan di dalam tweet mereka sebenarnya adalah manifestasi dari bagaimana homoseksualitas dan effeminancy dianggap menyimpang dan rendah dalam hegemoni maskulinitas dan sebagai sebuah cerminan bahwa apapun yang dianggap bukan bagian dari nilai hegemoni maskulinitas sudah seharusnya dipinggirkan. 

BTS menantang batas-batas hegemoni maskulinitas secara berulang kali dengan menjadi diri mereka sendiri dan menjadi rentan melalui musik dan pesan yang mereka sampaikan di dalamnya. Mereka tidak takut memakai pakaian-pakaian dari fashion androgin, menyukai atau melakukan hal-hal yang lekat dengan feminitas. 

Lihat saja, seperti bagaimana Jin secara terbuka mengungkapkan dirinya mencintai warna pink yang identik dengan warna perempuan dan dalam berbagai kesempatan memakai pakaian dan aksesoris berwarna pink di depan publik. 

Lalu bagaimana J-Hope yang notabenenya adalah seorang rapper, acuh menggunakan nail polish bergambar bunga atau smiley face. Bagaimana Jungkook dan V kerap tertangkap kamera menggunakan busana yang sebenarnya dikhususkan untuk perempuan. 

Atau bagaimana Jimin secara terbuka memperlihatkan afeksinya dengan memeluk, memegang tangan para membernya yang sesama laki-laki. 

Dalam berbagai kesempatan BTS juga dengan nyaman memperlihatkan sisi kerentanan mereka melalui emosi seperti menangis atau melakukan percakapan mendalam bersama dengan sesama member mereka.  

Melalui musik,  pada trilogi Love Yourself saja misalnya BTS merilis total 3 album yang bertemakan self-love. Dalam trilogi Love Yourself mereka, BTS mengeksplorasi makna cinta. Dalam eksplorasi makna cinta ini, mereka menyampaikan sebuah pesan bahwa hal terpenting bagi setiap individu adalah menemukan cinta melalui mencintai diri mereka sendiri. 

BTS mendorong penggemar mereka, ARMY untuk mengakui dan merangkul setiap kesalahan yang pernah mereka buat di masa lalu, hal ini agar mereka bisa mencintai diri mereka sendiri lewat penerimaan diri. 

Member BTS seperti RM dan SUGA juga senantiasa menulis lirik-lirik lagu yang sarat atas kerentanan seorang individu. Dalam lirik-lirik yang mereka tulis, mereka tidak malu menceritakan bagaimana diri mereka menjalani berbagai rintangan kehidupan dalam belenggu depresi, social anxiety, dan lain-lain. 

Apa yang dilakukan oleh BTS merupakan bentuk perlawanan terhadap hegemoni maskulinitas, di mana dalam hegemoni maskulinitas mengindahkan emosi berati menunjukkan adanya kekuatan diri, dan mengekspresikan emosi berati menunjukkan kelemahan diri. 

BTS yang dengan bangga memperlihatkan kerentanan mereka tidak dapat diterima dalam hegemoni maskulinitas ini, hal ini dikarenakan kemampuan untuk menjadi rentan secara emosional dan untuk mengekspresikan keintiman distigma dan secara eksklusif dikaitkan nilai-nilai feminin, di mana untuk menjadi maskulin berarti individu harus melepaskan diri dari nilai-nilai feminin tersebut. 

Laki-laki tidak hanya menginginkan dirinya terlepas dari nilai-nilai feminin yang ada tetapi juga penting untuk sepenuhnya terlepas secara emosional dari nilai-nilai feminin yang ada, sehingga dirinya dapat diakui dan dinilai keberadaannya di dalam hirearki yang ada. 

Pada akhirnya, bagaimana member BTS dengan bangga menjadi diri mereka sendiri merupakan sebuah langkah yang sangat berani atau bisa dibilang radikal di dalam sebuah masyarakat yang kerap mendevaluasi nilai diri seorang individu melalui pengekspresian diri. 

Dengan menjadi diri mereka sendiri, BTS berusaha untuk mengajarkan kita untuk lepas dari belenggu nilai-nilai hegemoni maskulin yang sebenarnya justru akan membebani kita dalam mengekspresikan diri kita sendiri atau bahkan menghambat self healing bagi beberapa individu yang memiliki luka batin sebagai akibat dari pemaksaan nilai-nilai tradisional yang bertentangan dengan diri mereka sendiri. 

Dan yang terpenting adalah dengan menjadi diri mereka sendiri, BTS juga mengajarkan pada kita bahwa kebahagiaan tidak akan bisa kita gapai, ketenangan diri tidak akan bisa kita raih, jika kita tidak mencintai diri sendiri, menerima diri sendiri dengan be unpolegatically you!

(Foto: Wikimedia)

Jasmine Floretta V.D, A proud fangirl (BTS Army) dan pecinta kucing garis keras. Sedang menjalani studi S2 di Kajian Gender Universitas Indonesia (UI) dan memiliki minat mendalam pada kajian tentang penggemar dan isu terkait peran ibu

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!