Bagaimana Pemenuhan HAM Perempuan Aceh

Kasus kekerasan seksual di Aceh terus meningkat, namun kasus yang diputus di pengadilan begitu rendah. Padahal, Aceh telah memiliki Undang-Undang/ UU Pemerintahan Aceh pasal 231 untuk memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak di Aceh

Aceh juga telah memiliki sejumlah Qanun untuk perlindungan perempuan, contohnya Qanun No. 6 tahun 2009 yang menyatakan bahwa setiap perempuan yang berhadapan dengan hukum termasuk posisinya sebagai korban, sebagai tersangka, terdakwa atau tahanan memiliki hak atas pengamanan.

Ketua Komnas Perempuan, Andi Yentriyani menyatakan ini pada 2 Desember 2020, dalam seminar yang diadakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)

bekerja sama dengan Flower Aceh dan Pusat Riset HAM Universitas Syiah Kuala dengan topik“Kebijakan dan Aturan Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual dalam Pemenuhan Hak Asasi Perempuan di Aceh”

Permasalahan rendahnya kasus kekerasan seksual yang diputus oleh pengadilan di Aceh kemudian dijawab oleh Rasyidah yang merupakan Presidium Balai Syura Uerung Inong Aceh. Rasyidah memaparkan bahwa pada kasus kekerasan seksual, pemerintah Aceh berpegang pada Qanun tentang hukum Jinayat yang menerapkan hukuman di antaranya cambuk, denda emas, atau penjara.

Sementara, hasil survei cepat yang dilakukan oleh Rasyidah di beberapa Mahkamah Syariah di Aceh pada tahun 2020, menunjukkan bahwa mayoritas Mahkamah Syariah hanya menerapkan hukuman cambuk pada pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut membuat banyak korban enggan untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya, karena hukum cambuk dianggap terlalu ringan hukumannya pada pelaku

Rasyidah mencontohkan, ada orang tua korban perkosaan yang berkomentar soal hukum cambuk

“Kalau tahu hukuman ini hanya cambuk saya tidak terpikir berani untuk melaporkannya, kenapa tidak bisa seperti di TV yang pelakunya bisa dipenjara 20 tahun?”.

Suraiya Kamaruzzaman, Sekretaris Pusat Riset Hak Asasi Manusia/ HAM Universitas Syiah Kuala menyampaikan tentang beberapa Qanun yang dinilai cukup lengkap dalam menyikapi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh.

Akan tetapi di sisi lain, substansi dari Qanun yang ada belum sepenuhnya menjawab persoalan kebutuhan di lapangan, karena kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat beragam. Suraiya juga menyampaikan bahwa sistem hukum yang berlaku belum mempunyai perspektif korban dan bisa disimpulkan bahwa sampai saat ini korban kekerasan seksual belum terpenuhi hak-haknya. Inilah pentingnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) agar segera disahkan

“Maka pembahasan dan pengesahan RUU PKS menjadi sangat penting.”

Di Aceh, Suraiya memaparkan sepanjang tahun 2017 sampai 30 Juni 2019, angka kekerasan di Aceh mencapai 3.695 kasus. Sedangkan kekerasan di masa konflik, sebanyak 63 Kasus sudah memberi pernyataan, 121 kasus informasi sudah dikumpulkan, belum melakukan pernyataan. Dan yang baru 16 yang masuk dalam skema reparasi mendesak berdasarkan SK Gubernur (2020)

Proses penegakan hukum qanun selama ini masih diwarnai kekerasan, perempuan  belum mendapatkan layanan bantuan hukum, ada hambatan layanan seperti minimnya ketersediaan & kapasitas ruang penahanan, termasuk layanan kesehatan, keterbatasan ruang pengadilan  ketersediaan petugas perempuan, anggaran bagi layanan dasar. Selain itu tidak ada dukungan untuk reintegrasi bagi terhukum.

Lalu perempuan miskin, tidak berpengetahuan hukum, dan atau dalam relasi perkawinan yang timpang (nikah siri, cerai di luar pengadilan) memiliki kerentanan khusus akan menjadi target kriminalisasi dengan tuduhan khalwat/ zina dan diabaikan haknya sebagai tersangka/ terdakwa.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA, Bintang Puspayoga, dalam forum ini juga memaparkan data kekerasan seksual di Provinsi Aceh yang mencapai 162 kasus sepanjang tahun 2020 (SIMFONI PPA,2020).

Ia juga menyampaikan bahwa jumlah kasus yang terjadi di lapangan bisa jauh lebih besar, karena banyaknya kasus yang tidak terlaporkan. Bintang Puspayoga menekankan bahwa berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kekerasan seksual di Indonesia. Namun, dalam penanganannya masih belum memiliki mekanisme khusus, spesifik, dan berperspektif korban.

Oleh karena itu, Bintang menyampaikan bahwa RUU PKS harus segera disahkan karena sudah memenuhi syarat landasan filosofis, sosiologis, yuridis, memuat sistem pencegahan yang komprehensif, dan pengaturan yang berperspektif korban.

Hasil Survey INFID: 70 Persen Warga Inginkan RUU PKS Disahkan

Megawati, Program Officer Inequality INFID dalam acara ini juga memaparkan hasil studi INFID mengenai dukungan masyarakat terhadap penghapusan kekerasan seksual.

Hasil studi membuktikan bahwa dari survei yang dilakukan kepada 2.210 responden di seluruh Indonesia, sebesar 70,5% responden setuju untuk diberlakukannya RUU PKS.

Megawati juga menyampaikan bahwa temuan studi yang diperoleh menunjukkan jika 33,3% dari 71,8% responden pernah mengalami kekerasan seksual adalah laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa RUU PKS hadir tidak hanya untuk perempuan tetapi untuk semua orang.

Taufik Basari, Anggota fraksi Nasdem menyatakan bahwa RUU PKS memberikan perhatian khusus kepada korban kekerasan seksual. Undang-undang yang saat ada telah berlaku hanya melihat kekerasan seksual dari sisi tindak pidananya saja, sementara belum ada satupun undang-undang yang memuat mengenai jaminan penanganan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.

“RUU PKS ini sangat komprehensif membahas pencegahan, penanganan hingga pemulihan korban.”

Dari berbagai kajian ini membuktikan semakin memperkuat urgensi dari pembahasan dan pengesahan RUU PKS untuk menjamin keadilan bagi semua korban kekerasan seksual

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!