Bias Gender di Buku Sekolah: Ibu Juga Memenuhi Kebutuhan Keluarga, Namun Tak Pernah Dituliskan

Pertanyaan tentang: siapa yang sebenarnya memenuhi kebutuhan keluarga di rumah, sering ditanyakan di buku-buku pelajaran di sekolah. Dan selalu jawabannya adalah: ayah. Padahal ibu punya banyak sekali kontribusi di rumah, namun tak pernah dituliskan. Karena kebutuhan di rumah tak hanya semata-mata hanya kebutuhan ekonomi, tapi juga kebutuhan fisik dan psikis

“Siapa yang sebenarnya harus memenuhi kebutuhan keluarga?”

Pertanyaan ini ditanyakan anak tetangga saya ketika gurunya di sekolah menjawab bahwa: ayah adalah yang bertanggungjawab memenuhi kebutuhan keluarga.

Kebetulan memang selain sebagai mahasiswa, sesekali saya membantu anak tetangga dalam belajar dan mengerjakan PR. Hasil pekerjaannya sebenarnya dinilai sempurna, hanya saja, gurunya memberi coretan pada satu jawaban mengenai: siapa yang bertugas memenuhi kebutuhan keluarga. Gurunya menjawab bahwa yang harus memenuhi tanggungjawab keluarga adalah: ayah. 

Saya ingat betul, saat membantu mengerjakannya, saya mengajak dialog anak tetangga saya ini, menyoal jawaban atas pertanyaan tersebut. Dia menjawab bahwa itu adalah tugas ayah. Namun, dia juga berpendapat bahwa ibunya pun bekerja di luar rumah dan juga memenuhi kebutuhan rumah.

Mendengar jawaban itu, saya menimpali bahwa: memang itu bukan hanya tugas ayah, tapi juga tugas ibu dan juga anggota keluarga dewasa yang lain dalam keluarga. Karena ibu dan anggota keluarga yang dewasa juga berkesempatan mengambil bagian dalam memenuhi kebutuhan. Alangkah baik memang ketika sama-sama berusaha memenuhi kebutuhan keluarga karena kebutuhan keluarga tak hanya secara ekonomi, namun juga fisik dan psikis.

Akhirnya, dia menjawab ‘kedua orang tua (ayah dan ibu). Sementara gurunya tetapmengatakan bahwa jawaban yang benar adalah: ayah.

Sebenarnya hal semacam ini tidak sekali dua kali saya temui. Semisal ketika ada pertanyaan: siapa yang bertugas mengurus dan membersihkan rumah atau memasak? maka jawabannya adalah ibu.

Padahal, perihal pekerjaan domestik, sama-sama menjadi tugas semua anggota keluarga. Ini masih banyak ditemui pada buku ajar yang seringkali memperlihatkan pembagian pekerjaan antara laki-laki dan perempuan.

Seperti  gambar seseorang yang menyapu, masih didominasi penyapunya adalah perempuan. Gambar seorang polisi, masih didominasi laki-laki, dan lain sebagainya. Belum lagi cerita-cerita dalam bacaan yang seakan masih melanggengkan bias gender.

Atau kalimat seperti ini yang dari kecil kita temui:

“Bapak Kerja di Kantor dan Ibu Memasak di Rumah.”

Ini sudah sering saya dengar ketika sekolah SD. Di dalam bacaan-bacaan Bahasa Indonesia, kalimat ini sering saya baca. Namun justru inilah yang membuat konstruksi berpikir kita tentang laki-laki dan perempuan yang kemudian sulit untuk berubah di kemudian hari. 

Padahal buat saya ini adalah kalimat yang sangat menyesatkan. Bagaimana jika saya sudah tersesat dari saya kecil? Apa yang terjadi jika semua orang tersesat dan menganggap ini sebagai sebuah kebenaran? Apakah buku-buku bacaan ini mau bertanggungjawab ketika saya dan teman-teman saya ikut tersesat?

Sejak itulah anak-anak kemudian dibentuk untuk setuju dengan kalimat ini. Bahwa bapak adalah orang yang harus bekerja di kantor dan ibu harus bekerja di rumah. Bapak adalah orang yang memenuhi kebutuhan, dan ibu bukan. Padahal pemenuhan kebutuhan itu tak hanya secara ekonomi, tapi juga fisik, psikis, berupa bantuan, pertolongan, menemani belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumah

Jika mendapatkan guru yang membuka ruang untuk berdiskusi, ini akan menjadi diskusi yang menarik. Namun jika mendapatkan guru yang tertutup, ini akan menjadi dogma dan bahkan stigma baru yang menyesatkan

Kalimat-kalimat seperti ini juga tidak pernah berubah dalam waktu yang cukup lama, bahkan beberapa masih terjadi sampai sekarang. Belum banyak diskusi soal pertukaran peran atau ruang baru di buku-buku pelajaran sekolah  untuk memberikan kalimat yang berbeda.

Buku bacaan adalah salah satu hal yang memperngaruhi kita semua untuk berpikir. Jika bacannya kritis dan terbuka, maka ini akan membuat pembaca bisa berpikir kritis. Namun jika tidak ini akan menjadi bacaan yang menyesatkan.

Sekolah seyogyanya menjadi tempat dimana individu dapat belajar dan bertumbuh dengan baik. Ia memiliki peran penting utamanya dalam membentuk pola pikir serta perilaku yang positif untuk kemudian dapat memberikan manfaat seluas-luasnya pada bumi. Ia semestinya hadir dengan memberikan ruang setara pada setiap individu, serta berperan menyalurkan nilai-nilai kesetaraan, utamanya perihal soal kesetaraan gender. Namun, apa jadinya saat sekolah justru dapat menjadi tempat melanggengkan bias gender?

Melihat fenomena seperti ini tentu miris. Saat sekolah, utamanya dalam taraf sekolah dasar, harusnya menjadi saat dan tempat yang tepat untuk dapat mengenalkan dan menanamkan nilai kesetaraan gender.

Pendidikan memiliki perannya dalam mentransfer pengetahuan, perilaku maupun budaya. Jika yang disalurkan adalah nilai-nilai yang sarat akan bias gender, maka bukan tidak mungkin akan terbentuk pada pola pikir peserta didik juga akan bias gender. Hal ini juga akan diperparah dengan bias gender yang tidak hanya termanifestasikan dalam buku ajar, namun juga dalam perilaku sehari-hari di sekolah.

Hal ini juga masih terjadi di lingkungan sekolah, misalkan saja pemilihan ketua kelas masih didominasi oleh laki-laki, pembagian kerja piket yang masih mendiskreditkan gender tertentu, atau masih melenggangnya anggapan bahwa anak perempuan semestinya rajin, semestinya begitu dan begitu, dan lain sebagainya.

Memang bukan suatu perkara mudah untuk memberikan paham nilai kesetaraan gender dengan baik kepada para peserta didik. Butuh sokongan dari semua lapisan. Dan tentu saja, ini bisa diwujudkan ketika kesemuanya memiliki paham kesetaraan gender dengan baik.

Betapapun demikian, bukan berarti mustahil untuk mengenalkan nilai kesetaraan gender pada peserta didik, utamanya anak-anak, tapi juga pada guru dan orangtua di rumah, juga pada lingkungan mereka.

Guru bisa sedikit demi sedikit mengenalkan dan membiasakan pada lingkungan yang menjunjung nilai kesetaraan maupun keadilan gender. Dimulai dari hal-hal kecil, semisal memberikan pemahaman bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat memilih dan menjadi apapun yang dia kehendaki asal tidak merugikan diri dan orang lain. Melakukan pembagian tugas secara adil dan baik, misalnya dalam tugas piket. Memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menjadi ketua kelas, dan laki-laki pun berhak menjadi sekretaris maupun bendahara. Guru pun semestinya tidak melanggengkan konstruksi masyarakat pada gender tertentu. Seperti masih menganggap bahwa perempuan seharusnya duduk yang manis, laki-laki semestinya berani dan kuat untuk tampil dan lain sebagainya.

Peserta didik baik laki-laki maupun perempuan diberikan kesempatan sama dalam mengekspresikan dirinya tanpa dikekang oleh konstruksi masyarakat yang cenderung mengkotak-kotakan mereka. Guru dalam hal ini berkesempatan memberikan pemahaman bahwa mereka memiliki kekuatan dan kemampuan yang sama untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri. Guru pun memiliki kesempatan untuk memberikan peluang bagi para peserta didik laki-laki maupun perempuan saling bekerja sama dalam belajar, mengeluarkan pendapat tanpa takut didiskriminasi dan lain sebagainya.

Begitu pula dengan masih merebaknya gambar maupun cerita-cerita yang bernuansa bias gender. Maka peran guru di sini memberikan pemahaman yang komprehensif dan terbuka. Tentu penjelasan yang diberikan disampaikan dengan bahasa yang sederhana agar mudah diterima oleh peserta didik.

Ini bukan hanya pekerjaan salah satu pihak. Namun, ini memerlukan banyak keterlibatan pihak lain untuk bersama mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan. Dan sekolah menjadi salah satu tempat yang memiliki peran mentransferkan pengetahuan ini.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Dini Damayanti

Seorang perempuan biasa, sekaligus EXO-L, yang sedang menikmati hidup di umur 20 tahunan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!