Perempuan dan Pemilu, Politik

Kiprah 3 Perempuan Berjuang di Pemilu dan Partai Politik

Para perempuan berjuang di Partai Politik (Parpol) untuk memperjuangkan suara-suara perempuan. Konde.co menyajikan edisi khusus perempuan dan Pemilu pada 30 Mei 2023 hari ini.

Sejumlah aktivis perempuan memilih masuk di partai politik ketika minim jumlah perempuan di Parpol. Para aktivis ini kemudian berjibaku untuk memperjuangkan agenda perempuan, memastikan suara perempuan masuk dan bisa menjadi warna di partai politik. Konde.co merangkum pengalaman 3 perempuan yang kemudian masuk di Parpol serta perjuangan mereka di Pemilu.

1. Eva Kusuma Sundari, Politisi Partai Nasdem

Setelah lama aktif dan menjadi anggota DPR RI dari di PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari saat ini masuk di Partai Nasdem.

Eva ingat, ketika pertama kali masuk partai dulu, ia sudah memulainya dengan aktif di gerakan mahasiswa terlebih dulu. Eva Kusuma Sundari aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), di gerakan perburuhan dan gerakan perempuan sejak mahasiswa. Eva juga aktif menulis dan turun ke jalan ketika masa sebelum reformasi. Ia menginisiasi demonstrasi pertama di Universitas Airlangga, Surabaya. Ia kemudian juga membentuk Organisasi Institut Sarinah, membela buruh dan Pekerja Rumah Tangga (PRT).

“Jadi ketika masuk di partai politik, aku tinggal melanjutkan saja perjuanganku.”

Eva masuk di Parpol ketika ia merasa tergugah ketika mendengar ada isu minimnya perempuan yang terjun dalam partai politik. Ia kemudian memilih PDI Perjuangan karena secara organik sangat dekat dengan GMNI dan isu marhaen yang diperjuangkan selama ini.

“Selama ini saya banyak baca buku Marhaen, Sarinah, dan bagaimana perjuangan di Parpol. Ini yang mendorong saya berpolitik dan memperjuangkan suara perempuan yang masih minim,” kata Eva Kusuma Sundari yang ditemui Konde.co.

Ketika Eva tidak masuk ke DPR pun, Eva tetap aktif memperjuangkan sesuatu, menurutnya kesetiaan pada pilihan politik itu penting agar tetap melakukan perubahan-perubahan.

“Ini ruang politik saya agar bisa memperjuangkan ruang perubahan, yang dulu belum ada, sekarang harus menjadi ada, yang dulu belum berperspektif gender menjadi berperspektif gender, ada perubahan yang menguntungkan kelompok kecil marhaen, Sarinah, perempuan, dll dan itu framework saya di dalam berpolitik. Jadi saya gak bisa diam dan tidak membuat perubahan, karena buat apa berpolitik jika tidak membuat perubahan-perubahan?”

Walaupun orang tua dari Eva adalah kader dan aktivis dari Partai Golkar, Eva memutuskan untuk menjadi kader dari PDIP kala itu. Eva menyatakan, walau ia beberapa kali nyaleg dan tidak terpilih, ini tidak mengendurkan niatnya untuk melakukan perubahan.

Eva Kusuma Sundari, adalah aktivis perempuan yang lahir 8 Oktober 1965. Ia kemudian menjabat anggota DPR RI antara 2005 dan 2014 serta 2016 hingga 2019 dari PDI Perjuangan. Eva dikenal sebagai anggota yang kritis. Eva dalam Pemilu 2024-2029 ini juga maju sebagai Caleg dari Partai Nasdem untuk Jatim 8 yang meliputi Madiun, Nganjuk, Jombabg, Mojokerto.

Di partai, Eva melihat perjuangan perempuan dalam 30% perempuan. Ia juga melihat jika partai politik tidak mau memperjuangkan perempuan, maka skoring perempuan atau prosentase perempuan akan rendah. Partai seharusnya mengakomodasi ini, pimpinannya harus mengakomodir ini, karena ini tidak hanya dalam 30% perempuan dalam Parpol namun juga dalam kepengurusan partai, sampai tingkat cabang dan ranting.

“Jika partai tidak mengakomodir perempuan dalam kepengurusan sejak di tingkat cabang, ranting, maka suara perempuan dalam partai politik pasti kecil. Maka Parpol harus memperjuangkan perempuan sejak dalam struktur partai yang rendah.”

Eva Kusuma Sundari mencontohkan, di Timor Leste para pimpinan Parpol nya memikirkan ini, itu yang menyebabkan partisipasi perempuan di sana sampai mencapai 40%. Ini bisa dijadikan contoh di Indonesia.

“Di Timor Leste punya mekanisme itu, jadi perempuan betul-betul diafirmasi, bukan hanya proteksi atau afirmasi yang separuh hati seperti di Indonesia. Kalau mau panjang, kita akan lama tumbuhnya. Dalam 10 tahun, Timor Leste sudah sampai 38% dan 40%.”

Di Indonesia, para perempuan punya banyak problem antara lain, problem identitas mereka sebagai perempuan, juga para perempuan rata-rata tidak cukup punya dana serta ada problem struktural seperti partai akhirnya lebih memperjuangkan orang-orang yang difavoritkan partai. Ini yang membuat suara perempuan jadi tersingkir, padahal seharusnya Parpol memperjuangkan afirmasi.

“Mesin partai digerakkan bukan untuk afirmasi, namun digerakkan untuk pimpinan-pimpinan yang difavoritkan. Jadi perempuan kemudian berhadapan dengan situasi yang tidak afirmatif, justru diskriminatif. Jadi kunci semuanya ini di partai, harusnya perempuan ditaruh di basis yang mereka kuat, jika dipindahkan ke basis lain, maka perempuan akan hilang basis pendukungnya,” kata Eva Kusuma Sundari.

Eva juga melihat politicking yang terjadi sangat tinggi, hal  ini sudah terjadi sejak di Parpol, pada perilaku pemilih, sampai penyelenggara Pemilu.

“Apalagi perilaku pemilih ini dari 3 riset yang ada semakin tidak setuju ada kepemimpinan perempuan, jadi saya melihat persentase perempuan terpilih ini akan tetap rendah.”

Eva Kusuma Sundari melihat, bahwa perempuan harus berjuang habis-habisan dengan melihat kondisi seperti ini. Saat ini Eva Kusuma Sundari siap maju dan membuat perubahan di Partai Nasdem.

Baca juga: Pemilu 2024, Ini Pentingnya Organisasi Perempuan Siapkan Calon Potensial

2. Jumisih, Deputy Bidang Pemberdayaan Perempuan Partai Buruh

Berpuluh tahun jadi buruh pabrik, mengantarkan sosok Jumisih kini terjun di dunia politik. Bermula sejak 1998, kala Jumisih lulus SMA dan bekerja sebagai buruh pabrik. Ia kemudian bergabung ke serikat buruh beberapa tahun setelahnya. 

Jumisih getol melakukan advokasi buruh saat pengusaha tempatnya bekerja, tiba-tiba kabur pada tahun 2003. Saat itulah, dirinya mengorganisir diri bersama para buruh untuk menentang pabrik. Di saat bersamaan, perempuan asal Pati Jawa Tengah itu sadar bahwa Ibu Kota Jakarta tempatnya merantau, tak seindah bayangannya. 

“Itu jadi pengalaman pertama ya, yang kemudian memicu aku untuk banyak bertanya. Oh, ternyata, dunia ketenagakerjaan itu tidak seindah waktu aku membayangkannya saat aku sekolah. Di kampung, aku (dulu) membayangkan Jakarta itu ideal banget,” cerita Jumisih kepada Konde.co beberapa waktu lalu. 

Sebagai aktivis buruh, Jumisih mengalami berbagai dinamika dalam upaya mengorganisir buruh. Dia tak memungkiri, identitasnya sebagai perempuan dihadapkan pada banyak tantangan. Mulai dari tuntutan untuk segera menikah, dianggap tak layak jadi pemimpin, sampai saat sudah menikah dan punya anak pun dia merasakan sulitnya mengakses daycare

“Gak punya daycare. Terus kemana-mana bawa bayi. Itu aku alami ya,” lanjutnya. 

Berangkat dari apa yang dialaminya itu, Jumisih yang juga pernah jadi Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), akhirnya merefleksikan diri untuk mendorong hak-hak perempuan lewat politik. Perjuangan buruh dan perempuan itu tak bisa dilepaskan dari perjuangan politik. 

Maka usai Kongres di gerakan buruh yang dia geluti, penyiar Marsinah FM itu putuskan untuk turut membangun ‘alat politik alternatif’ melalui Partai Buruh. “Berangkat dari situasi personal. Bergerak dalam dunia perburuhan, advokasi buruh dan perempuan, kemudian memutuskan untuk berpolitik,” kata perempuan berusia 40 tahunan itu. 

Saat ini, Jumisih aktif di Deputi Bidang Pemberdayaan Perempuan Partai Buruh. Dia bertanggung jawab pada proses pembangunan dan pengembangan kader-kader perempuan di Partai Buruh. 

“Memajukan kader, membuat program-program untuk memajukan partai dalam perspektif pengarusutamaan gender,” kata perempuan yang akrab disapa Mbak Jum itu. 

Situasi di Partai Buruh, Jumisih mengungkap, jumlah kader perempuan ada di sekitar 29%. Kurang sedikit dari kuota perempuan di partai politik yakni 30%. Meski begitu, Jumisih bilang, partainya secara internal terus mengupayakan dan membuka peluang keterwakilan perempuan dalam politik. 

Tanpa tantangan? Tentu saja tidak. Menurutnya, Partai Buruh yang baru saja dibentuk dan berangkat dari beberapa konfederasi seperti serikat tani, nelayan, PRT dan lainnya. Masih perlu terus diupayakan agar lebih bisa aware terhadap posisi perempuan. 

“Bagi saya itu adalah tantangan untuk saya. Bagaimana memperdalam kajian-kajian dan kesempatan untuk terus memasifkan upaya-upaya. Untuk meningkatkan kepedulian dalam mendorong partisipasi (perempuan di politik),” kata Jumisih. 

Di dunia politik, dia menilai, perempuan memang menghadapi situasi yang tak mudah. Pertama, masih adanya ‘kultur patriarki’ yang menstigmatisasi bahwa perempuan tidak bisa berpolitik. Perempuan dianggap tidak layak terjun menjadi pemimpin. 

Dia mencontohkan, saat partainya melakukan upaya penjaringan Calon Legislatif (Caleg) di wilayah Banten. Dia mesti menuruti suaminya yang tak membolehkannya terjun di dunia politik. Padahal, sebenarnya dia mau dan punya potensi. 

Hal seperti itulah, yang menurut Jumisih, banyak dihadapi oleh teman-teman di daerah. Meskipun, ada juga daerah yang justru banyak kader-kader perempuan yang maju. Ini yang perlu didorong. 

Sebab para perempuan ini menghadapi hambatan soal aspek kepercayaan diri dan kapasitas. Di tengah situasi yang maskulin dan patriarkis, mereka “dikondisikan” seolah-olah tidak cukup layak untuk memimpin di politik dan membuat perubahan. 

“Itu juga yang mendorongku untuk maju ya, karena paling tidak bisa menerima argumentasi bahwa perempuan dikatakan tidak punya kapasitas,” tegasnya. 

Masalah lainnya untuk mendorong keterwakilan perempuan di politik utamanya dari Partai Buruh, dirinya bilang, soal permasalahan ekonomi. Banyak yang berpikir saat menjadi buruh adalah sebatas menjadi pekerja. Makanya, berpikir urusan berpolitik belakangan. 

Padahal, perjuangan ekonomi buruh itu pasti ada kaitannya dengan perjuangan politik. Seperti, upah layak, status kerja, hak cuti haid, melahirkan, dan lainnya. 

Berbagai upaya kini Jumisih lakukan untuk menggaet lebih banyak perempuan yang mau terjun ke politik. Mulai dari ajakan secara nasional ke daerah-daerah provinsi. Sampai mengorganisasi basis-basis di level lebih kecil Partai Buruh secara intens. Mereka rutin mengadakan pertemuan 2-3 kali seminggu. 

Konsolidasi dan koordinasi terus dilakukan. Seperti di tingkat provinsi untuk mendorong agar perempuan lebih banyak terlibat dan “tampil”. Bukan hanya terjun langsung, mereka juga memanfaatkan sosial media. 

“Untuk mendorong supaya teman-teman bersedia nyaleg. Upaya masif seperti itu, cukup efektif belakangan ini, karena kemudian teman-teman mau nyaleg,” lanjutnya. 

Jumisih lantas mendorong agar pemerintah pun berpihak pada keterwakilan perempuan di kancah politik. Termasuk, regulasi di KPU soal keterwakilan perempuan dengan kuota 30% dan pembulatan ke atas. 

Ia berharap pemberlakuan aturan-aturan tersebut tidak berubah-ubah. Semua pihak harus sepakat untuk mendukung upaya mengoptimalkan keterwakilan perempuan di politik. Dengan ini, kebijakan-kebijakan yang ‘lahir’ pun bisa lebih berperspektif perempuan dan adil gender. 

Baca juga: Minimnya Capres Perempuan dalam Pemilu: Perempuan Harus Berjibaku Lawan Hegemoni

3. Imelda Berwanty Purba, Direktur Perlindungan Perempuan dan Anak DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI)

Yang publik ketahui, kerap kali seseorang memutuskan untuk terjun ke dunia politik berbekal pengetahuan yang mumpuni mengenai politik, atau bahkan karena lingkup pertemanannya mempermudah dirinya mendapat tempat di perpolitikan. Namun, tidak demikian halnya bagi Imelda Berwanty Purba.

Dicemplungin Tuhan ke politik itu satu kisah tersendiri yang antik menurut aku,” ungkap Imelda saat ditemui Konde.co pada Senin (29/5/2023), “Justru ketika aku sedang berada di bottom line of my life, titik terendah dalam hidupku.”

Imelda adalah seorang single mother dengan dua anak berusia 8 dan 7 tahun, sekaligus penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada tahun 2015, ia dipisahkan dari anak pertamanya, yang saat itu masih berusia 13 bulan—hanya beberapa saat setelah ia melakukan persalinan kedua. 

Tidak diberi akses untuk bertemu dengan buah hatinya sendiri, Imelda berjuang membawa kasus tersebut sebagai pidana ke pengadilan hingga ia dapat bertemu anaknya kembali di tahun 2017.

Pengalaman pahit sebagai penyintas KDRT membuat Imelda sangat peduli terhadap isu perempuan dan anak. Namun, hal itu tidak serta-merta membuatnya tertarik untuk turut berperan di kancah politik.

Awalnya, di tahun 2017, Imelda hanya menemukan informasi bahwa PSI yang baru berdiri pada tahun 2014 sedang membuka rekrutmen untuk publik. Ketertarikan Imelda baru membawanya untuk bergabung secara ‘tidak sengaja’ setahun setelahnya, ketika ia melihat pengumuman bahwa PSI sedang urgent membutuhkan pendaftar untuk memenuhi kuota perempuan.

Meski sama sekali tidak berpengalaman di bidang politik sebelumnya, Imelda percaya, momen di malam itu bukan kebetulan dan ia merasa harus mulai terjun langsung membantu masyarakat. Sehingga ia memutuskan untuk bergabung dengan PSI.

“Hanya karena aku memaknai momen tersebut sebagai satu hal: ini nggak mungkin pekerjaan manusia,” kata Imelda, “Aku memaknainya itu pekerjaan dan visi Tuhan. Jadi nggak punya keberanian untuk menolak.”

Menjadi kader politik sembari menjalani kerja domestik sebagai ibu bagi anak-anak sekaligus tulang punggung keluarga bukan hal mudah bagi Imelda. Ia mulanya berkampanye seorang diri sebagai calon legislatif (caleg) DPRD DKI Jakarta untuk dapil 8 pada tahun 2019, karena tidak memiliki tim sukses sama sekali. Di sisi lain, ia tetap harus hadir secara penuh dalam urusan domestik.

Perkara domestik memang membuat banyak perempuan pada akhirnya terlempar dari arena politik karena kesulitan berkompromi dengan dilema yang dihadapi. 

“Dengan tambahan barrier seperti itu, pasti banyak yang nggak kuat,” lanjutnya, “Bahkan yang sebenarnya sudah cukup mapan, tapi ada keluarganya misalnya menuntut dia untuk take care of keluarga saja.”

Namun, pengalaman itu juga membawanya lebih dekat dengan masyarakat, yang mengaku bahwa baru kali itu mereka dapat bertemu langsung dengan caleg, perempuan pula.

“Mereka itu sebenarnya cuma butuh didengerin, ngobrol,” ujar Imelda. Maka menurutnya, ia merasa tidak terlalu banyak menemui hambatan untuk berpolitik di tengah situasi masyarakat yang dikenal patriarkis dan masih memandang perempuan sebelah mata.

Imelda adalah sosok yang secara tegas menyatakan perlawanan atas kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ia sendiri kerap menemui kasus-kasus kekerasan yang dilakukan bahkan oleh para pejabat dan pihak berwenang, yang seharusnya memberikan perlindungan bagi masyarakat.  Di sisi lain, masih banyak peraturan dan undang-undang yang belum cukup kuat untuk melindungi korban perempuan dan anak, sekaligus memberikan sanksi berat bagi pelaku.

Mengenai pemenuhan kuota perempuan sebanyak 30% di partai politik, berdasarkan hal yang didengar Imelda dari rekan-rekannya di PSI, perwujudannya begitu sulit. Apa lagi jika harus mencari kader yang memang serius hendak memperjuangkan hak-hak masyarakat. Selain kendala perempuan yang masih diremehkan dalam perpolitikan, urusan keluarga dan domestik kadang menjadi penyebab perempuan akhirnya mundur dari arena politik.

Imelda juga berkomentar mengenai perubahan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 terkait perubahan ketentuan kuota perempuan di legislatif. Justru kuota tersebut tidak semestinya dikurangi; hal itu adalah sebuah tanda kemunduran, padahal sebelumnya bahkan belum mencapai titik ideal atas partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia.

“Nah, harusnya yang diupayakan, bukan itu yang dimundurin. Orang kita sering jumping conclusions—biar gampang. Padahal seorang pejuang, dia paling upayakan bagaimana supaya ini terpenuhi. Dengan apa? Ya, edukasi politik,” tutur Imelda.

Ia pun mendorong masyarakat agar lebih proaktif dan menyadari bahwa mereka juga memiliki suara untuk memperjuangkan hak mereka, bukan sekadar obyek pembodohan para politisi di masa kampanye. 

Menurutnya, pendidikan formal di Indonesia masih terpaku pada pendidikan hapalan alih-alih pendidikan kritis, yang seharusnya dibutuhkan masyarakat agar lebih memahami hak-hak mereka. Ia merasa bahwa pendidikan politik harus lebih diterapkan di sekolah-sekolah untuk membentuk penerus bangsa yang lebih cerdas dan melek politik.

“Pendidikan politik itu penting, terutama bagi perempuan,” kata Imelda.

Selain itu, ia percaya, berkampanye dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat dapat mengalahkan praktik politik uang yang kerap terjadi selama ini. Bagi Imelda, yang terpenting adalah bagaimana ia bisa mendorong setidaknya satu orang saja untuk berpikir lebih kritis untuk dirinya sendiri. Hal itulah yang bisa diberikannya kepada masyarakat, bukan sekadar materi untuk mendapatkan suara masyarakat tanpa melibatkan mereka secara aktif dalam perjuangan di kursi politik.

“Intinya itu; bagaimana setiap caleg menemukan apa yang dibutuhkan sama masyarakat,” kata Imelda, “Itu bisa mengalahkan politik uang. Jadi, jangan jadi gamang; harus jadi pede. Kita punya power yang lebih untuk mengalahkan politik uang itu.”

Baca juga: Suara Perempuan di Parlemen Hanya 20%, Indonesia Harus Belajar Pada Swedia dan Selandia Baru

Nurul Nur Azizah, Salsabila Putri Pertiwi dan Luviana

Editor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!