Magdalena Sitorus

Magdalena Sitorus, Penulis Kisah-Kisah Perempuan Penyintas 1965

Peristiwa tragis dalam politik Orde Baru di tahun 1965 masih menyisakan luka bagi para perempuan penyintas. Magdalena Sitorus, aktivis perempuan, berupaya mengabadikan pengalaman mereka dalam buku-buku yang mengungkapkan kekerasan, trauma, dan stigma yang dihadapi perempuan 65.

17 November 1965. Ia tak pernah lupa ketika menjelang Maghrib, tiba-tiba ada aparat yang sudah mengepung rumah mereka. 

Truk-truk dan berbagai tentara bergerombol di luar rumah. Ada yang dari kavaleri, infanteri, komando pasukan gerak cepat dan ada yang menggunakan baret coklat. 

Ketika beberapa orang dari pos militer masuk rumah mereka, rombongan tentara-tentara itu ikut mendobrak masuk bersama-sama.

“Ada apa ini, ada apa ini?.”

“Kami mencari senjata.”

“Senjata apa? Senjata apa?.”

Tentu saja situasi ini sangat mengganggu ketenteraman mereka. Moehajati kesal, kesal sekesal-kesalnya, lalu mengumpulkan pisau dapur, kampak, linggis dan berbagai peralatan dapur dan peralatan kerja biasa lainnya.

“Bapak, bapak cari senjata ya, ambil saja semua ini pak, ambil ini semua senjata yang ada di rumah ini,” katanya.

Dari tempat Ia menunggu itu, Moehajati dan ibunya menyaksikan siksaan-siksaan yang tidak berperikemanusiaan. Laki-laki dan perempuan ada yang dipukul dengan kayu, ada yang ditampar sampai berdarah.

Kisah di atas adalah penggalan dari buku berjudul ‘Jiwa-jiwa yang Bermartabat’ karya Magdalena Sitorus yang dibacakan dalam sesi dramatic reading di Amsterdam. Pembacaan ini diunggah oleh saluran YouTube Watch 65 Association.

Baca juga: Film ‘Lagu untuk Anakku’: Kisah Perempuan 65 Di Balik Penjara 

Magdalena Sitorus adalah mantan komisioner Komnas Perempuan yang kemudian banyak menulis tentang kisah perempuan penyintas peristiwa 1965. Setidaknya ada 4 buku yang sudah ditulisnya. Buku ‘Jiwa-jiwa yang Bermartabat’ adalah salah satu karya Magdalena yang menceritakan tentang Moehajati.

Sri Moehajati, adalah mahasiswa kedokteran dengan masa depan cerah. Ia pintar dan peduli pada sekitarnya. Namun, peristiwa G30S menghancurkan cita-citanya. Keluarganya juga tercerai-berai. Ayahnya yang aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian ditangkap dan dipenjara. Moehajati dan ibunya tidak luput dari penangkapan. Keduanya kemudian berpindah dari satu penjara di lapas satu ke lapas lain. 

Sampai akhirnya, ketika Ia dibebaskan pada 1970, Ia bertekad untuk menemukan dimana sang ayah. Pencariannya itu membawanya ke suatu tanah kosong yang diduga adalah kuburan massal di Wonosobo, dengan sekitar 21 orang dikuburkan di sana. Mereka semua dibantai sebab dituduh memiliki hubungan dengan PKI.

Magdalena yang dulunya adalah komisioner Komnas Perempuan, membuatnya dekat dengan perempuan penyintas 1965. Pertalian hubungan Magdalena dengan para penyintas dimulai dengan Dialita (Di atas lima puluh tahun), sebuah paduan suara untuk perempuan penyintas 65. Dirinya yang kerap hadir sebagai representasi Komnas Perempuan mulai mengenal dan tertarik untuk menggali lebih dalam.

“Saya jadi berpikir ada nggak sih tentang mereka yang dituliskan. Jadi sasaran saya tentang perempuan yang bukan terkenal, yang belum pernah diangkat. Bukan hal mudah walaupun saya komisioner Komnas Perempuan. Butuh waktu lama juga” demikian ungkap Magdalena kepada Konde.co (20/9/2023).

Magdalena melakukan pendekatan melalui ketua Dialita untuk dikenalkan dengan para penyintas. Magdalena mengakui bukan hal yang mudah untuk mendapat kepercayaan dari penyintas.

“Saya harus melalui ketuanya memungkinkankah untuk dituliskan. Hal ini seperti mengorek luka lama. Bisa untuk relieve, atau justru membuka luka lama. Trauma mereka berbeda-beda” ucapnya.

Buku-buku Magdalena Sitorus tentang perempuan penyintas 65 (doc.pribadi Magdalena Sitorus)

Penangkapan Masal Tanpa Alasan

Buku pertama Magdalena yang membahas kisah penyintas 1965 judulnya “Onak dan Tari di Bukit Duri”. Buku ini menceritakan tentang Utati, seorang perempuan penyintas 1965. Utati adalah anggota Pemuda Rakyat yang 11 tahun ditahan di Rutan Bukit Duri. Utati juga anggota Paduan Suara Dialita.

“Dia ditahan walaupun tidak bersalah. Dia memang anggota Pemuda Rakyat dan tidak berpolitik. Kegiatannya sebagai anak muda hanya menari, menyanyi. Namun karena dianggap underbow PKI, akhirnya dia disasar,” jelas Magdalena.

Bagi Magdalena, penangkapan-penangkapan yang dilakukan waktu itu tanpa landasan. Para penyintas pun juga tidak diberi kesempatan untuk membela diri sebelum diadili.

“Sedangkan anggota PKI saja nggak layak diperlakukan seperti itu. Penangkapan-penangkapan itu tidak ada landasan. Mereka tidak pernah diadili, tidak pernah membela diri. Yang waktu itu diadili 2 atau 4 orang saja dari Gerwani. Selebihnya tidak ada pengadilan sama sekali,” ungkapnya.

Memorialisasi untuk Menghargai Para Korban

Rumah tahanan Bukit Duri adalah satu dari beberapa rumah tahanan perempuan untuk menampung tahanan politik 1965. Rutan ini sendiri kini sudah hilang jejaknya tak berbekas, berganti menjadi bangunan mall.

“Tidak ada memorialisasi Bukit Duri pernah menjadi rumah tahanan politik (Tapol). Banyak sekali tempat bersejarah yang dihilangkan. Memorialisasi menjadi satu hal yang diperjuangkan. Seperti rumah tahanan di Kamboja yang tidak dihilangkan, malah dipugar” jelas Magdalena.

Banyak tempat-tempat yang dulunya ditempati penyintas yang kini hilang. Magdalena menceritakan tentang kamp Plantungan di Kendal yang kini telah menjadi tempat wisata. Ada juga kampung Nanga-Nanga di Kendari, yang dianggap daerahnya PKI. Dulu adalah hutan belantara dan sekarang sudah dibangun jalan raya dan perumahan.

Karena hilangnya bangunan fisik, Magdalena meminta Utati untuk mengingat dan menggambarkan dengan tangan peta rumah tahanan Bukit Duri.

“Ibu Utati mencoba menggambarkan seluk beluk Bukit Duri, ia mencoba mengingat di mana kamar mandi, aula, tembok luar. Jadi gambaran yang ada di buku itu adalah gambaran tangan yang coba diingat-ingat. Yang mereka perjuangkan adalah memorialisasi bahwa dulu pernah menjadi daerah PKI,” tegas Magdalena.

Foto: Cover buku Onak dan Tari di Bukit Duri/iflegma.com

Sulitnya Hidup Sebagai Anak PKI

Buku kedua Magdalena adalah ‘Taburan Kebaikan di Antara Kejahatan’. Buku ini menceritakan Uchikowati, seorang anak mantan bupati Cilacap yang kedua orang tuanya juga ditahan karena dituduh sebagai bagian dari PKI. Uchikowati diasuh eyang putrinya selama kedua orang tuanya ditahan.

Terpisahnya Uchiko dengan orang tuanya membuat dirinya kesulitan untuk bersekolah karena dianggap anak PKI. Uci baru bisa bersekolah setelah menikah. Saat kedua orang tuanya keluar penjara bukan berarti masalah selesai, karena memulai hidup baru setelah lama terpisah dan mendapat stigma bukanlah hal yang mudah.

Berawal lahir dan besar dari keluarga berkecukupan, masa depan anak-anak yang orangtuanya dicap PKI hancur. Seperti yang terjadi di Nanga-Nanga Kendari, ketika muncul stigma bahwa anak PKI tidak boleh sekolah dan bekerja, membuat anak-anak ini hanya bisa bekerja menjadi tukang bangunan.

Baca juga: Uchikowati: Perjuangan Ayahku Tak Diakui karena Dia Bersimpati pada PKI

“Ketika bapak ibu dilepaskan dan bertemu kembali. Bukan berarti masalah selesai, mereka dicap PKI, tidak bisa bekerja dll. Padahal orang tuanya dulu pegawai PU contohnya. Anak-anak tidak sekolah karena anak PKI. Harus ada surat keterangan berkelakuan baik kalau mau sekolah. Itu hanya gambaran sekilas, tapi masih banyak yang tercerai berai dengan keluarga,” jelas Magdalena.

Demikian juga bagi para eksil (orang-orang yang diasingkan saat peristiwa 65). Saat Magdalena ke Amsterdam menemui mereka, terungkap bahwa hidup mereka juga tak kalah sulitnya.

“Ada anak bekas Dubes Romania dan Vietnam. Karena dia temannya Soekarno, dan dia protes kenapa ada peristiwa ini. Akhirnya lari ke Tiongkok. Mereka diterima tapi tidak boleh bekerja, lalu mencari suaka ke Belanda.”

Mereka mengaku tidak tahu akan tinggal di mana ketika ingin pulang ke Indonesia.

Penyintas Perempuan Mengalami Kekerasan Berlapis

Buku ketiga Magdalena adalah tentang Sri Moehajati yang merupakan seorang mahasiswi kedokteran. Ayahnya adalah seorang pengusaha dan sering membantu masyarakat. Ketika peristiwa 1965 meletus, ayahnya ditangkap lalu dihilangkan, kemudian menyusul ibunya dan Moehajati ditangkap lagi.

Moehayati pun bersikeras mencari tahu makam ayahnya. Ketika sudah menemukan dan akan dimakamkan lagi ke suatu tempat, mereka mendapat protes masyarakat yang berkata: “PKI tidak boleh di sini”.

Baca juga: Moetiah, Gerwani yang Dibunuh Atas Nama Politik Orde Baru

Menjadi perempuan penyintas 65, artinya adalah mengalami kekerasan berlapis. Magdalena menceritakan kehidupan perempuan penyintas ini sejak masa anak-anak.

“Yang sekolah ya anak laki-laki. Dari masa kecil sudah keliatan bias gender. Saya tidak menampik tekanan penyintas laki laki juga berat. Namun perempuan lebih rentan.”

Mengalami pemerkosaan, martabat direnggut, hingga sulit mencari pasangan dialami oleh perempuan penyintas yang diwawancarai oleh Magdalena.

“Satu ibu yang bersaksi di IPT 65 di DenHaag dan sudah wafat, harus menghisap kemaluan laki-laki. Martabatnya direnggut. Dia sampai berkata: Kalau sampai keperawanan saya diambil, saya akan bunuh diri.”

Demikian juga saat cari pasangan, masyarakat menjuluki mereka sebagai ‘kelompok mambu (bau)’. “Mereka lebih baik mencari pasangan yang sama-sama penyintas. Kalau sama-sama penyintas tidak tanya-tanya lagi lah begitu bagi mereka” ujar Magdalena.

“Ada juga suaminya tidak bisa ditangkap, istri yang disandera. Hal ini menempatkan perempuan sebagai sandera” tambahnya.

Foto: Buku Jiwa-Jiwa Bermartabat/Mojokstore

Hentikan Stigma dan Luruskan Sejarah

Magdalena Sitorus memulai perjalanannya menemui dan menulis buku tentang penyintas 65 ini sejak tahun 2019. Dengan biaya sendiri dan tanpa tujuan mencari keuntungan, ia giat menelusuri korban-korban yang bersedia untuk dituliskan kisahnya.

“Benar-benar saya melakukan ini sendiri, dana juga sendiri, bukan untuk saya juga, tapi berupa dukungan. Saya yakin kalau saya berniat baik akan dimudahkan semuanya. Buku saya yang sebelumnya ‘Semua Ada Waktunya’ dan 5 buku catatan harian disumbangkan untuk Pundi Perempuan. Buku seri penyintas ke dua didukung Komnas Perempuan dan hasilnya untuk mendukung buku yang lain. Keuangannya bukan dipegang saya tetapi salah seorang penyintas. Karena tujuan saya buat buku itu memang bukan buat profit. Saya di Jogja dan ke Kendari ditemenin bu Uci, beliau kenal banyak penyintas karena dia sendiri juga penyintas. Banyak yang membantu, ada saja yang mau bergerak.”

Harapannya adalah untuk generasi muda, agar banyak yang mengerti peristiwa sebenarnya dari tragedi 1965.

“Saya pikir sudah waktunya dibuka. Harapan saya untuk anak muda karena mereka nanti yang pegang jabatan publik. Dengan keluarnya Keppres 17 Tahun 2022, saya berharap semua program itu terlaksana. Contohnya stigma, ini sifatnya abstrak tapi dampaknya besar. Kadang pemerintahan ganti, kebijakan ganti. Banyak yang masih berstigma, komunis dibilang atheis, padahal banyak orang komunis ini yang beragamanya taat sekali. Jadi harus dibedakan agama dan ideologi. Saya berharap pendidikan politik dan sejarah itu diluruskan. Stigma itu juga harus ditegakkan karena dampaknya turun menurun,” tutupnya.

Sumber foto: voa Indonesia

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!