Bulan Juli 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mencabut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dari Prolegnas Prioritas 2020. Mereka berdalih, aturan yang memberikan pemulihan dan perlindungan bagi penyintas kekerasan seksual ini sulit dibahas. Padahal dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2020 Komnas Perempuan, terdapat 4.898 laporan kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2019. Angka kekerasan seksual selama 12 tahun sejak 2007 meningkat 792 persen atau 8 kali lipat.
Pandemi Covid-19 yang dijadikan alasan DPR untuk menarik RUU ini, tapi LBH APIK mencatat bahwa angka kekerasan terhadap perempuan justru meningkat sebesar 300 persen atau tiga kali lipat dari biasanya. Begitu juga dengan kekerasan gender berbasis siber (KBGS) yang menurut catatan Komnas Perempuan, hingga Oktober 2020 terdapat 659 kasus, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 281 kasus.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tertulis bahwa Pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Dalam pemberitaan RUU P-KS, peran pers penting dalam mempengaruhi dinamika publik.
Untuk itu, dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Konde.co, meluncurkan riset “Pemberitaan Media tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Bagaimana Konsistensi Media terhadap Pemberitaan Kekerasan Seksual?”.
Riset ini merupakan bentuk komitmen www.konde.co sebagai media yang memperjuangkan isu perempuan dan kelompok marjinal agar media di Indonesia bisa semakin menghasilkan produk jurnalistik yang berperspektif penyintas.
Kajian ini dilakukan dalam dua tahap oleh peneliti Konde.co Tika Adriana, Osi NF, Luviana, Eko Bambang Subiantoro, yakni pengumpulan data dengan menggunakan metode kuantitatif dan tahap kedua dengan melakukan analisis terhadap isi pemberitaan.
Tika Adriana, peneliti dan managing editor Konde.co menyatakan Pengumpulan data dilakukan dengan metode kuantitatif dengan melakukan identifikasi terhadap pemberitaan media massa. Kami mendata pemberitaan terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pada tiga media online pada rentang waktu Juli sampai Agustus 2020.
“Dari data yang terkumpul, kami melakukan pengkategorisasian terhadap seluruh berita dan melakukan analisis berita menggunakan analisis gender.”
Tiga media yang dijadikan sampel yakni Okezone, Tribunnews, dan Kompas.com karena media tersebut menduduki tiga besar peringkat Alexa.
“Berdasarkan riset kami, ketiga media tersebut hanya menuliskan pemberitaan jenis hardnews. Dalam pemberitaan tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, mereka mendorong agar rancangan undang-undang ini segera disahkan. Namun, pemberitaan tentang RUU P-KS di media tersebut jumlahnya tak lebih dari 3% setiap bulan, dengan pemberitaan yang cenderung normatif dan belum memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya RUU P-KS,” kata Tika Adriana
Narasumber yang digunakan dalam pemberitaan RUU P-KS pun belum beragam dan masih didominasi oleh DPR RI, lalu pemerintah, Kementerian PPPA, dan beberapa lembaga negara seperti Komnas Perempuan dan LPSK. Media belum memberikan ruang bicara yang cukup bagi pendamping kekerasan seksual atau aktivis perempuan.
“Saat kami menilik pemberitaan tentang berita kekerasan seksual, media sudah baik ketika memberitakan kekerasan seksual yang terjadi pada anak dengan perspektif anak korban. Namun, media masih mengabaikan perspektif perempuan. Ini terlihat dari diksi yang sensasional dan menambah kekerasan bagi para perempuan korban.”
Dari hasil ini, Konde.co melihat bahwa media belum konsisten dalam menyajikan pemberitaan tentang kekerasan seksual yang berperspektif keadilan bagi korban. Temuan ini juga membuktikan bahwa jika ada peristiwa yang dikawal publik seperti melalui media sosial dan lembaga-lembaga yang mengadvokasi isu kekerasan seksual seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, maka berita akan menuliskan secara positif (walau jumlahnya hanya minim dan baru sebatas berita hard news dan normatif). Namun jika tidak dikawal publik seperti isu kekerasan seksual pada umumnya, maka media masih melakukan kekerasan dan sensasionalisme pada perempuan korban kekerasan seksual. Ini seperti dituliskan dalam kalimat-kalimat di media seperti “ disetubuhi”, “pelaku punya ilmu hitam”, “dicabuli”, “digilir”, dll
“Dari hasil ini Konde.co melihat bahwa media punya belum agenda untuk pemberitaan kekerasan seksual, jika ada isu yang ramai di publik, maka media akan menuliskannya, namun jika tidak ramai atau viral di publik, maka media akan memberitakan secara buruk.”
Atas temuan riset ini, maka konde.co meminta kepada Dewan Pers agar lebih sensitif terhadap isu gender sehingga bisa menegur atau menindak media yang memproduksi berita yang tidak sensitif gender, serta membuat pedoman penulisan isu kekerasan seksual di media yang berperspektif penyintas.
“Selain itu, kami juga mendorong media agar memiliki agenda tentang pemberitaan kekerasan seksual berperspektif gender dan memberikan kelas gender bagi para jurnalis agar memiliki keberagaman isu dalam peliputan RUU P-KS dan seputar isu kekerasan seksual sehingga isu yang disajikan tak hanya berdasar peristiwa yang viral, dengan narasumber yang lebih beragam dan berperspektif korban.”
Konde.co pun mengajak publik untuk lebih kritis terhadap pemberitaan, sehingga jika publik menemukan pemberitaan yang merugikan korban, publik bisa menggunakan mekanisme hak jawab dan melapor ke Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers.
Selain itu, untuk organisasi masyarakat sipil untuk memperbanyak diskusi tentang isu kekerasan seksual bagi jurnalis atau media agar media dan jurnalis mendapatkan gambaran tentang keberagaman isu peliputan seputar RUU P-KS atau kekerasan seksual secara umum.
Launching acara riset ini dilakukan pada 10 Desember 2020 dan diskusi dengan pembicara antaralain: Tika Adriana (Konde.co), Endah Lismartini (AJI Indonesia), Purnama Ayu Rizky (Remotivi), Agus Sudibyo (Dewan Pers), Mariana Amiruddin (Komnas Perempuan) dan moderator Nur Aini (jurnalis)