Teliti Tentang Bagaimana Media Memandang LGBT, Dina Listiorini Raih Gelar Doktor UI

Sebuah disertasi tentang bagaimana media memandang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/ LGBT ditulis oleh Dina Listiorini dalam disertasi doktornya. Dina Listiorini menemukan bahwa di media, LGBT ditulis sebagai folk devils atau setan masyarakat yang tidak hanya ditolak tetapi juga dikriminalkan karena keberadaan mereka yang dianggap tidak sesuai dengan norma agama dan nila- nilai sosial bangsa Indonesia

Dina Listiorini lulus dengan sangat memuaskan dari hasil disertasi yang berjudul lengkap “Rezim Kebenaran Media dalam Kepanikan Moral (Diskursus Foucauldian dalam Gelar Wicara Televisi dan Berita Daring 2016-2018)”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Ilmu Komunikasi pada Dina Listiorini, 4 Desember 2020.

Dina Listiorini lulus dengan sangat memuaskan dan menjadi doktor perempuan ke 58 lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI).Disertasi Dina ini bertujuan menjelaskan terbentuknya sebuah rezim kebenaran media melalui praktik kuasa dan kebenaran yang dilakukan secara sistematik oleh industri media.

Disertasi ini dimulai dari adanya berita-berita daring yang memunculkan kasus administratif sebuah kelompok diskusi Support Group and Resource Centre on Sexuality (SGRC) di awal 2016, dimana muncul berbagai berita satu sisi dari diskusi ini yang dipenuhi dengan ujaran kebencian yang ditujukan pada individu atau kelompok dengan keragaman gender dan seksual non-normatif.

Media menyebut mereka sebagai “LGBT.” Dina, yang juga dosen Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menemukan bahwa baru di tahun 2016-2018 di Indonesia masa pasca Orde Baru, terjadi sebuah kepanikan moral seksual yang menyasar individu atau kelompok “LGBT”. Sementara pada masa Orde Baru, berita media mengenai “LGBT” tidak diletakkan pada kemarahan atau ujaran kebencian.

Selama tiga tahun tersebut media massa baik konvensional atau daring menghujani kelompok “LGBT” ini dengan berita satu sisi yang berisi stigma, marginalisasi dan upaya kriminalisasi.

Pernyataan-pernyataan keras penolakan “LGBT” terutama berasal dari pemerintah seperti para pejabat publik kementerian hingga komisi-komisi negara, politisi DPR dan MPR, akademisi, tokoh masyarakat, Ormas agama dan tokoh agama lainnya. Suara komunitas “LGBT” nyaris tidak terdengar selama 3 tahun tersebut.

Laporan Komnas HAM periode 2012-2017, laporan LBH Masyarakat  tahun 2017, laporan Human Right Watch/ HRW di tahun 2016 dan 2018 menyatakan komunitas  “LGBT” Indonesia berada dalam situasi kritis, mencekam, dan berada di bawah tekanan yang luar biasa.

Elemen negara dan masyarakat menjadikan komunitas “LGBT” sebagai folk devils atau setan masyarakat yang tidak hanya ditolak tetapi juga perlu dikriminalkan karena keberadaan mereka yang tidak sesuai dengan norma agama dan nila- nilai sosial bangsa Indonesia.

Dina menjabarkan bahwa dalam kepanikan moral seperti kepanikan moral seksualitas seperti yang terjadi pada 2016-2018, media berperan penting dengan membangun narasi ketakutan. Bentuknya adalah dengan mempromosikan kekacauan dan keyakinan adanya “hal-hal di luar kendali.”

Diskursus ketakutan dibangun melalui berita dan berbagai bentuk budaya populer. Konstruksi moralitas dalam kepanikan moral seksual menjadi prioritas utama terpenting. Dalam hal ini kelompok yang memutuskan seksualitas seperti apa yang dianggap “baik” atau “buruk” memiliki kekuatan resmi dan selalu bersanding dengan struktur kekuasaan.

Kesimpulan penelitian ini antara lain, bahwa rezim kebenaran media tahun 2016-2018 yang diproduksi dalam jaringan kuasa dan pengetahuan adalah rezim kebenaran media homofobik. Rezim ini dibangun melalui tiga peminggiran terhadap “LGBT” dalam proses produksi berita yaitu peminggiran secara ekonomi, secara politik, dan sosial dan budaya.

Kepanikan moral yang terbentuk melalui relasi kuasa dan pengetahuan harus terjadi untuk melanggengkan diskursus heteronormatif. Proses melanggengkan membutuhkan pendisiplinan. Media menjadi salah satu “agen” negara yang menjaga moral sekaligus mendisiplinkan seksualitas warga negara.

Kepanikan moral menjadi metode pengendalian sosial masyarakat melalui disiplin kebertubuhan. Kepanikan moral yang homofobik, menyebarkan rasa takut dan ancaman adalah salah satu metode kuasa heteronormatif untuk melakukan penundukan seksualitas manusia: tubuh yang patuh.

Dalam rezim kebenaran media homofobik tersebut, muncul kegiatan pelatihan bagi jurnalis mulai dari jurnalis lapangan, calon jurnalis dan jurnalis tingkat editor hingga redaktur. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).

Dina menyimpulkan, bahwa kegiatan pelatihan jurnalis yang dilakukan AJI dan Sejuk adalah kuasa alternatif. Dalam kegiatan itu mempertemukan komunitas “LGBT” dengan pihak media. Hal ini sesungguhnya merupakan perlawanan terhadap keberadaan kuasa dan pengetahuan heteronormatif yang didukung oleh sebuah rezim moral.

Rezim moral ini terdiri dari rezim heteronormatif, rezim Islam konservatif dan rezim pembungkaman atas pendidikan seks yang komprehensif.

Promotor Dina Listiorini dalam disertasi ini yaitu Prof. Dr. Billy Sarwono, M.A. dengan Kopromotor Dr. Donna Asteria, M.Hum dan Irwan M. Hidayana, M.A., Ph.D. Penguji dalam sidang disertasi ini adalah Sharyn Graham Davies, PhD (Monash University), Prof. Alois Agus Nugroho, Ph.D. (Atma Jaya Jakarta), juga Prof. Dr. Ilya R. Sunarwinadi, Dr. Ade Armando, M.S., dan Endah Triastuti, M.Si., Ph.D dari Universitas Indonesia. Sidang diketuai oleh Prof. Dr. Dody Prayogo.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!