Konde.co menyajikan kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca.
Berita tentang perusakan alam, terutama akibat industri ekstraktif, kian massif belakangan ini. Pembahasan mengenai hal tersebut kerap dikaitkan dengan istilah ‘ekosida’. Apa artinya?
Secara harfiah, ekosida berarti pemusnahan lingkungan hidup oleh manusia. Istilah ini diambil dari Bahasa Latin, yakni oeco (lingkungan hidup) dan caedere (pembunuhan / pemusnahan).
Ekosida merujuk pada kehancuran besar-besaran terhadap lingkungan hidup. Ini berlaku di daratan, lautan, udara, maupun terhadap keanekaragaman hayati. Kejadiannya cenderung dilakukan secara sengaja sehingga mengancam kehidupan manusia dan ekosistem. Meski belum diakui secara resmi sebagai kejahatan internasional, ekosida kini diperjuangkan agar masuk dalam Statuta Roma sebagai “kejahatan terhadap perdamaian.”
Baca Juga: Kamus Feminis: Perkosaan, Cara Laki-laki Menakut-Nakuti Perempuan Agar Berada di Tempatnya
Ekosida mungkin belum terlalu banyak dikenal sebagai istilah. Namun, praktiknya sudah terjadi secara massif di berbagai penjuru dunia, termasuk dan terutama di Indonesia. Ekosida adalah sesuatu yang nyata terjadi setiap hari. Entah melalui pembakaran hutan, tambang terbuka, polusi industri, hingga proyek pembangunan skala besar yang abai terhadap keseimbangan ekologi dan hak-hak komunitas lokal.
Lagi-lagi, dampak terburuknya dirasakan oleh perempuan dan kelompok rentan, baik sebagai masyarakat lokal maupun rakyat Indonesia secara umum.
Indikator Ekosida
Menurut Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat ekosida. PBHI menegaskan, ekosida bukan hanya kejahatan terhadap lingkungan hidup. Tetapi kejahatan terhadap kehidupan itu sendiri, termasuk terhadap manusia, tanah, budaya, dan masa depan.
“Ini adalah bentuk kejahatan luar biasa yang menghancurkan ekosistem secara sistematis, meluas, dan permanen, serta menyebabkan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia,” sebut PBHI Nasional dalam deklarasi mereka bertajuk ‘Negara dalam Cengkeraman Kapitalisme Konsesi, Rakyat dalam Bahaya Kepunahan Ekologis’ yang diunggah di Instagram pada 3 Juni 2025.
Ekosida lebih dari ‘sekadar’ perusakan dan degradasi lingkungan. Ia tumbuh dari akar sistem kapitalisme konsesi. Dalam hal ini, negara punya peran sebagai fasilitator utama ekspansi modal. Ada pula keterlibatan regulasi negara, aparat keamanan, dan infrastruktur dalam prosesnya. Semua perangkat itu digunakan demi memperkuat kekuasaan korporasi dalam merampas tanah, merusak lingkungan, dan memiskinkan masyarakat.
Baca Juga: Kamus Feminis: Dari Ndasmu, Anjing Menggonggong Hingga Antek Asing, Label Sebagai Alat Pembungkaman
Ekosida tak jarang berkedok pembangunan. Padahal, di balik itu, ada proses perampasan ruang hidup yang massif dan berdampak panjang. Ekosida menyingkirkan petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, buruh, dan kelompok rentan dari hak-hak dasar mereka.
Selain itu, ekosida juga jadi pemicu utama krisis iklim dan kehancuran global. Dalam deklarasinya, PBHI menyebut ekosida menyebabkan pemanasan global dan bencana ekologis. Seperti sampah dan limbah industri, penggundulan hutan, naiknya permukaan air laut, banjir, tanah longsor, krisis pangan, hingga kepunahan spesies flora dan fauna. “Dunia tengah menghadapi kehancuran sistem penyangga kehidupan akibat keserakahan industri dan politik akumulasi modal,” sebut PBHI.
Ekosida di Indonesia: dari Alih Fungsi Lahan Sampai Deforestasi
Begitu banyak kasus ekosida di Indonesia untuk menjadi contoh. Salah satunya deforestasi dan perampasan lahan yang marak terjadi di Papua. Hutan Papua, salah satu paru-paru dunia yang tersisa, terus mengalami tekanan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit dan proyek infrastruktur.
Pada 2023, kelompok masyarakat adat Awyu dan Moi melawan rencana konsesi sawit yang mengancam lebih dari 90 ribu hektar hutan. Selain menghilangkan sumber hidup, pembukaan lahan secara brutal juga menghancurkan keanekaragaman hayati dan mempercepat krisis iklim. Perjuangan mereka terus berlanjut hingga kini, seiring dengan industri ekstraktif yang terus berlangsung di tanah Papua.
Pencemaran air juga merupakan bentuk ekosida; kasus seperti ini contohnya terjadi di Kalimantan dan Sulawesi. Di Sulawesi, banyak aktivitas pertambangan emas dan batu bara menyebabkan pencemaran sungai yang parah. Kandungan merkuri dan logam berat melebihi batas aman. Praktik serupa terjadi di Kalimantan, ditambah dengan pembangunan PSN dan IKN yang tidak mengedepankan prinsip kelestarian lingkungan sehingga sumber air tercemar.
Baca Juga: Kamus Feminis: (Bukan) Gender War, yang Sebenarnya Terjadi adalah Ketimpangan Gender
Sungai yang dulunya menjadi sumber air bersih, makanan, dan kehidupan spiritual, kini berubah menjadi sumber penyakit. Perempuan dan kelompok rentan yang hidupnya bergantung pada sumber air alami pun terdampak secara serius. Mereka terpaksa tetap melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, mencuci, dan memasak dengan air yang terkontaminasi. Alhasil, mereka amat rentan terhadap berbagai penyakit.
Contoh lainnya adalah kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan. Setiap musim kemarau, jutaan hektar hutan terbakar. Banyak di antaranya akibat pembukaan lahan korporasi. Asap pekat menyebabkan gangguan pernapasan, kematian dini, dan krisis pendidikan karena sekolah ditutup.
Ekosida Juga Masalah Keadilan Gender
Ekosida bukan hanya masalah lingkungan. Ia adalah juga masalah keadilan sosial dan gender. Dalam banyak kasus, perempuan dan kelompok rentan—seperti masyarakat adat, anak-anak, dan orang miskin—menjadi yang paling terdampak.
Perempuan bertanggung jawab atas urusan pangan, air, dan kesehatan keluarga. Saat lingkungan rusak, mereka harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air bersih, atau mengeluarkan uang lebih untuk membeli makanan sehat yang makin langka.
Baca Juga: Kamus Feminis: di Mana Ada Bias Gender, di Situ Terjadi Diskriminasi Terhadap Perempuan
Sementara itu, kelompok rentan kerap tidak punya suara dalam proses perizinan dan pengambilan keputusan. Di banyak daerah, proyek besar disahkan tanpa konsultasi bermakna dengan masyarakat lokal, apalagi perempuan.
Dampak kesehatan akibat polusi dan kerusakan lingkungan juga lebih berat ditanggung perempuan dan anak. Misalnya, paparan asap karhutla berdampak serius terhadap kehamilan, kesehatan paru-paru, dan daya tahan tubuh anak-anak. Atau, pencemaran air membuat perempuan yang terpaksa tetap menggunakan air tersebut untuk kebutuhan sanitasinya, mengalami masalah kesehatan reproduksi.
Perempuan di Garda Terdepan Lawan Ekosida
Meskipun belum diakui sebagai kejahatan dalam hukum nasional, banyak aktivis dan organisasi masyarakat sipil terus mendorong pengakuan ekosida sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan hak lingkungan. Perempuan pun berada di garis depan perjuangan ini.
Mama Aleta Baun di Nusa Tenggara Timur adalah salah satunya. Ia melawan tambang marmer demi melindungi hutan adatnya. Ada pula Sumiati di Sumatera Selatan yang mendampingi korban asap karhutla sambil mendesak tanggung jawab korporasi. Serta Mama Yasinta, perempuan dari Suku Awyu Papua yang lantang menyuarakan kecaman terhadap industri yang merusak hutan Awyu dan perampasan lahan Papua pada umumnya.
Tidak hanya para perempuan adat, banyak aktivis perempuan juga vokal menentang ekosida dan perusakan lingkungan. Salah satunya Delima Silalahi, direktur eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Dia adalah seorang perempuan Batak dari Siborong-Borong, kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Kabupaten tersebut adalah salah satu dari banyak kabupaten yang terkena dampak pembukaan hutan untuk perkebunan industri.
Baca Juga: Kamus Feminis: Bagaimana Kenaikan PPN 12 Persen Mencekik Perempuan?
Delima telah memimpin kampanye yang berhasil memenangkan kepastian hukum atas 17.824 hektar lahan hutan tropis untuk enam komunitas di Sumatera Utara. Komunitas-komunitas ini telah lama memelihara pohon-pohon kemenyan Sumatera yang memberikan penghidupan lokal yang signifikan.
Tentunya tidak hanya nama-nama yang disebutkan. Masih banyak perempuan lainnya yang melawan pemusnahan alam yang menjadi ruang hidup manusia selama ini, yang dilakukan semata-mata demi memenuhi keegoisan dan keserakahan manusia. Sebab alam begitu dekat dengan perempuan, maka perempuan jugalah yang memutuskan untuk berada di barikade demi menjaga alam.
Masyarakat dunia semakin menyadari bahwa kehancuran lingkungan adalah kehancuran terhadap kehidupan itu sendiri. Untuk itu, ekosida harus dikenali, dicegah, dan ditindak.
Indonesia jelas harus lebih mengenal tentang ekosida dan mengakui massifnya pemusnahan lingkungan sejak dulu. Untuk itu, negara perlu mengakui hak-hak lingkungan dalam konstitusi, mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat, menghentikan impunitas korporasi perusak lingkungan, serta melibatkan perempuan dan masyarakat lokal dalam setiap tahap pembangunan.
Melawan ekosida bukan hanya tentang menyelamatkan bumi. Ia juga tentang menghormati hidup, merawat keadilan, dan menjaga masa depan generasi yang akan datang.