Artikel dan zine ini untuk memperingati #Haripendidikannasional 2025 yang ditulis para siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tergabung dalam Girl’s Project Konde.co. Tulisan ini bagian dari #Meimelawan 2025
Namaku Laksita, artinya terlihat. Seperti harapanku untuk seluruh perempuan di mana pun berada—agar benar-benar terlihat.
Kata terlalu rasanya sudah seperti makanan sehari-hari. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, selalu ada yang terasa salah. Terlalu kurus, dikritik; terlalu gemuk, dicemooh. Terlalu tegas, dibilang sok keras; terlalu lembut, dianggap manja dan cengeng.
Sebenarnya, seperti apa sih perempuan yang sempurna di mata mereka?
Yang diam saat diperlakukan tidak adil? Atau yang tak banyak bertanya, tak banyak menuntut? Yang mengalah meski dijajah, tersenyum meski disudutkan? Atau barangkali, yang cukup cantik untuk dipuji, tapi tak cukup lantang untuk menantang?
Apa menurutmu sia-sia bagi perempuan menempuh enam tahun di sekolah dasar, tiga tahun di sekolah menengah pertama, tiga tahun di sekolah menengah atas, dan empat tahun di bangku kuliah—jika pada akhirnya semua itu dianggap tak berarti setelah menikah? Atau, apa semua ilmu, kerja keras, dan impian kami hanya pantas berakhir di dapur?
Apa fakta bahwa aku perempuan menjadikan diriku bukan manusia lagi? Sehingga hak-hak kami kau renggut. Hak atas pendidikan, hak atas keamanan, bahkan hak untuk menentukan pilihan hidup kami sendiri. Dimana terang yang dijanjikan? Dimana rasa aman yang katanya milik semua orang?
Baca Juga: Dear Guru dan Lingkunganku, Remaja Perempuan Dibelenggu Aturan Berpakaian, Tugas Kalian Memperbaiki

Tulisanku adalah bentuk perlawanan. Untuk semua perempuan di luar sana, yang pernah merasa dikekang oleh kata “terlalu”. Iya, kita memang terlalu. Terlalu berwarna untuk diredam, terlalu bersinar untuk disembunyikan.
Kita bukan sekadar makhluk yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki—yang katanya bengkok, keras kepala, dan rapuh. Kita adalah diri kita sendiri. Berdiri tegak, berjalan sejajar, dan menentukan jalan kita sendiri.
Jadi, bermimpilah setinggi-tingginya. Jadilah pilot, insinyur, pembalap, atau bahkan presiden, seperti yang pernah kau tulis saat gurumu memberikan selembar kertas bertuliskan: “Kalau sudah besar, mau jadi apa?” saat kau duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Tapi yang terpenting, jadilah dirimu sendiri.
Lakukan apapun yang membuatmu bebas, yang membuatmu bahagia. Beli mainan yang kau impikan saat umurmu delapan tahun. Izin pulang lebih cepat dari sekolah untuk mengitari Blok M bersama teman-temanmu. Goreskan lebih banyak warna di atas kanvas—meskipun mereka bilang tak ada gunanya, tak ada prospek, dan tak akan membawamu ke mana-mana.
Nawal El Sadaawi pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Perempuan di Titik Nol, yang bercerita tentang perempuan yang menjadi korban kekerasan, Firdaus “Setiap orang akan mati, Firdaus. Saya akan mati, kamu akan mati. Dan yang penting ialah bagaimana untuk hidup sampai mati.”
Maka, aku ingin menjalani hidup dengan cara yang aku pilih sendiri. Aku ingin suaraku didengar, langkahku diakui, dan keberadaanku dihargai. Jika dunia terus mencoba mengecilkan perempuan, maka kita harus berani tumbuh lebih besar, lebih kuat, dan lebih lantang.
Baca Juga: Demam ‘Thrifting’ Kalangan Gen Z: Sekadar Trendi Atau Benar-Benar Berkelanjutan?
Aku ingat tiap kali berhasil meraih sesuatu yang membanggakan, reaksi orang-orang seakan datar, seolah itu adalah hal yang wajar. “Perempuan kan memang lebih rapi dan rajin,” kata mereka. Tapi saat adik lelakiku masuk 10 besar, reaksinya jauh lebih heboh, seakan-akan itu pencapaian luar biasa yang jarang terjadi. Seakan ranking 10 besar menjadikannya seorang jenius, grandmaster catur, atau bahkan pakar fisika.
Hal serupa terjadi saat aku menawarkan diri menjadi ketua kelas. Aku punya alasan yang kuat, aku siap menjalankan tugas dengan baik. Namun, tatapan mereka seakan-akan aku ini alien yang baru mendarat dan akan mengubah tatanan kehidupan manusia. Seolah-olah, aku yang perempuan ini, lebih pantas mengurus administrasi kelas seperti menjadi bendahara atau sekretaris. Bahkan saat guru bertanya, “Siapa ketua kelasnya?” lalu melihatku, mereka masih terheran-heran. “Ketua kelasnya perempuan? Wakilnya perempuan juga? Pemimpin itu harusnya laki-laki.”

Di setiap rumah, sepertinya aturan yang berlaku untuk perempuan pun berbeda. Saat aku pergi bersama teman-temanku, baru jam tujuh malam saja sudah ada puluhan panggilan masuk, menyuruh kami semua segera pulang. Katanya sudah malam, perempuan tak seharusnya keluyuran. Sementara laki-laki bebas bercengkrama dengan teman-temannya hingga larut. Tidak ada batasan selain larangan mengonsumsi narkoba dan minuman keras.
Begitu banyak perbedaan yang terasa sepele, tetapi terus berulang dan akhirnya dianggap biasa. Sejak kecil, kita sudah diarahkan ke jalur tertentu, seolah-olah dunia telah lebih dulu menentukan apa yang cocok dan tidak cocok untuk kita.
Baca Juga: April Adalah Bulan Kesadaran Kekerasan Seksual, Kenakan Pita Biru Atau Denim
“Apa cita-citamu?,” Pertanyaan itu sering muncul sejak kita masih kecil, dan jawabannya bisa apa saja. Namun, ketika seorang anak laki-laki berkata ingin menjadi dokter, respons yang diterimanya penuh kebanggaan. Sementara ketika seorang anak perempuan menyebutkan hal yang sama, responsnya sering kali lebih ragu, lebih samar, seolah-olah ada jalan lain yang lebih masuk akal baginya. “Kenapa tidak jadi perawat saja?”
Seolah-olah, menjadi perawat adalah pilihan paling tepat untuk perempuan. Alasannya? Karena perempuan dianggap lebih penyayang, lebih sabar, dan lebih cocok untuk merawat orang lain. Seakan-akan, jalan hidup perempuan sudah ditentukan sejak awal, bukan berdasarkan impian dan potensinya, tetapi dari ekspektasi yang diwariskan turun-temurun.
Profesi perawat tentu saja mulia, tapi pertanyaannya: mengapa perempuan selalu diarahkan ke sana? Mengapa dunia masih melihat perempuan sebagai sosok pendukung, bukan pemimpin?
Banyak dari hal-hal ini terjadi begitu saja, sampai kita terbiasa dan menerimanya tanpa bertanya, “Kenapa harus seperti ini?” Seolah-olah aturan yang ada sudah mutlak, seolah-olah tidak ada yang bisa diubah. Kita tumbuh dengan memahami bahwa perempuan harus patuh, harus menerima, harus menyesuaikan diri dengan batasan-batasan yang ditentukan oleh orang lain.
Banyak dari hal-hal ini terjadi begitu saja, sampai kita terbiasa dan menerimanya tanpa bertanya, “Kenapa harus seperti ini?” Seolah-olah aturan yang ada sudah mutlak, seolah-olah tidak ada yang bisa diubah. Kita tumbuh dengan memahami bahwa perempuan harus patuh, harus menerima, harus menyesuaikan diri dengan batasan-batasan yang ditentukan oleh orang lain.
Baca Juga: Kamila Andini: Film adalah Subjek yang Menggerakkan Hidup Saya Sebagai Perempuan
Masa remaja seharusnya jadi waktu untuk menemukan diri sendiri—untuk mencoba hal-hal baru, mengeksplorasi minat, dan bermimpi setinggi-tingginya. Tapi, sebagai perempuan, rasanya selalu ada batasan yang membayangi. Ada aturan tak tertulis yang mengatur bagaimana kita harus bersikap, berpakaian, dan bahkan bermimpi.
Di sekolah, kita menerima bahwa seragam perempuan harus lebih panjang, lebih tertutup, sementara laki-laki bebas dengan pakaian yang lebih praktis. Sementara di rumah, kita menerima bahwa perempuan harus lebih banyak membantu pekerjaan domestik, sementara laki-laki lebih banyak diberi ruang untuk beristirahat. Di jalan, kita menerima bahwa kita harus lebih waspada, berjalan cepat, menghindari lorong sepi, karena kita tahu risiko yang mengintai.
Semua ini terasa wajar, karena kita dibesarkan dalam dunia yang menganggapnya wajar. Kita jarang bertanya kenapa, karena sejak kecil kita sudah diajarkan bahwa ini hanyalah bagian dari kehidupan sebagai perempuan. Jika kita mengeluh, kita dianggap berlebihan. Lalu jika kita protes, kita dibilang mencari perhatian. Jika kita mencoba melawan, kita diberi label “terlalu sensitif,” seolah-olah ketidakadilan yang kita alami hanyalah ilusi semata.
Padahal, ini bukan sekadar kebiasaan. Ini adalah bagian dari ketidaksetaraan yang terus berulang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Jika kita tidak mempertanyakan, jika kita tidak menantang aturan-aturan yang tidak adil ini, maka kita hanya akan mewariskannya kepada mereka yang datang setelah kita.
Baca Juga: Ratu-Ratu Nusantara, Buktikan Kiprah Perempuan di Ruang Publik Bukan Mitos

Maka, sudah saatnya kita berhenti menerima segalanya begitu saja. Sudah saatnya kita mulai bertanya, mulai menggugat, mulai mengubah. Karena perempuan bukan sekadar pelengkap. Kita ada, kita bernapas, dan kita memiliki hak untuk hidup tanpa terus-menerus dibatasi oleh aturan yang tidak berpihak pada kita.
Namaku Laksita, artinya terlihat. Dan aku memilih untuk benar-benar ada—dalam tulisanku yang katanya tidak terbaca dan berantakan, dalam suaraku yang katanya terlalu melengking, dan dalam langkahku, meskipun kecil. Aku bukan sekadar nama yang berarti terlihat, tapi juga suara yang tak bisa diabaikan.
(Editor: Luviana Ariyanti)
Tim Girl’s Project: Chaeilla Khaerani, Ellen Oktavia, Khansa Nayla Khairani, Laksita Mahesvari Hanindyajati, Ratu Sophia Ardhani, Savana Candid Nusantara
Tim fasilitator dan mentor: Sophie Trinita, Luviana Ariyanti, Terra Istinara