Bagaimana Jurnalisme Empati Dalam Kecelakan Pesawat Sriwijaya Air

Pertanyaan dari seorang jurnalis pada korban tentang “bagaimana perasaanmu mendapatkan bencana ini?” atau “apakah kamu mendapatkan firasat sebelum kecelakaan ini terjadi ini?” adalah pertanyaan yang tak menggunakan empati dan cenderung mengabaikan pengalaman traumatik korban bencana

Bagaimana sebenarnya jurnalisme empati dalam melakukan wawancara dan penulisan tentang korban?

Dalam Jurnal Perempuan di tahun 2005, Luviana pernah menuliskan tentang apa itu jurnalisme empati bagi perempuan Orang dengan HIV/AIDS (Odha).

Kala itu, banyak tulisan di media yang tidak berempati pada Odha, hal ini ditandai dengan kalimat yang mengandung kekerasan dan sensasional di media seperti:

“Odha, bertobatlah, bertobatlah!”

“Pekerja seks dan ibu rumah tangga penular HIV/AIDS”

Apa itu jurnalisme empati? Dalam jurnalisme empati, seorang jurnalis tak boleh melakukan kekerasan, diskriminasi, eksploitase dan sensasionalisme, baik ketika melakukan peliputan maupun penulisan. Ini menjadi bagian dari beberapa ciri jurnalisme empati. Dalam kondisi kebencanaan, ini termasuk tidak boleh mengabaikan perasaan traumatik korban.

Luviana menuliskan, jadi jurnalisme empati adalah bahwa jurnalis harus memahami apa yang terjadi pada korban, pertanyaan atau tulisan kita jangan menambah penderitaan pada korban, apalagi melakukan kekerasan, diskriminasi, eksploitase dan sensasionalisme.

Di televisi, kondisinya tak semulus itu. Dalam waktu yang sangat mendadak, seorang reporter televisi bisa saja langsung dikirim ke tempat kejadian tanpa tahu banyak tentang peristiwa yang terjadi. Biasanya, mereka juga harus bertanya secara live saat itu juga. Ini yang membuat mereka harus bertanya secara langsung pada korban-sering tak dibekali oleh data dari redakturnya- atau peristiwa itu baru saja terjadi yang membuat reporter harus memutar otak: pertanyaan apa yang paling tepat ditanyakan pada korban?

Maka seringkali pertanyaan yang keluar adalah pertanyaan seperti ini:

“Bagaimana perasaanmu ketika keluargamu mendapatkan bencana ini?”

“Apakah sebelumnya kamu mendapatkan firasat?”

Yayasan Pulih misalnya pernah mengeluarkan sejumlah langkah untuk mewawancarai korban antaralain: perhatikan bahasa tubuh dan kondisi narasumber, menghargai sikap korban, memberikan pengertian kepada korban, memulai wawancara dengan pertanyaan ringan dan simpatik, menghindari pertanyaan mencecar, banyak mendengarkan korban dan menunjukkan penghargaan kepada korban

Namun ada banyak jurnalis yang tidak memenuhi ketentuan ini. Dalam kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 Rute Jakarta-Pontianak pada 9 Januari 2020 yang jatuh di Kepulauan Seribu, Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, peristiwa ini mendapatkan liputan luas media massa. Namun dalam tahapan proses peliputan dan pemberitaan, ada sejumlah pelaporan pemberitaan yang dinilai tidak sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Ada beberapa contoh tindakan jurnalis yang dinilai tidak sesuai KEJ. Antara lain, jurnalis yang mencecar dengan pertanyaan “bagaimana perasaan anda”, “Apa anda punya firasat sebelumnya” dll., kepada seseorang yang keluarganya menjadi korban kecelakaan.

Ada juga media yang mengangkat topik soal gaji pilot pesawat nahas itu. Ada juga media yang menulis soal ramalan kejatuhan pesawat itu yang sumbernya dari seorang peramal.

Bagaimana Media Seharusnya?

Contoh di atas mengesankan jurnalis dan media kurang menghormati pengalaman traumatik keluarga korban dan juga publik. Sikap menghormati pengalaman traumatis korban memang tidak disebut eksplisit dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik/ KEJ, namun itu terdapat penjelasannya.

Pasal 2 KEJ mengatakan, “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”. Salah satu bentuk dari sikap profesional itu adalah “menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara.” 

Menghormati pengalaman traumatis narasumber adalah impementasi dari prinsip minimizing harm atau meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak kerja jurnalistik. Prinsip ini pula yang menjadi dasar penyamaran identitas anak pelaku kejahatan dan korban kejahatan susila dalam pasal 5 KEJ.

Beberapa prinsip penting lain dalam KEJ adalah:  fungsi jurnalisme “mencari kebenaran”, “bekerja untuk kepentingan publik”, “berusaha menjaga independensi”.

Melihat bagaimana jurnalis dan media meliput dan mempublikasikan berita soal peristiwa kecelakaan Sriwijaya Air tersebut, Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan menyerukan jurnalis dan media dalam pernyataan pers nya harus menghormati pengalaman traumatik keluarga korban Sriwijaya Air.

“Seharusnya tidak mengajukan pertanyaan yang bisa membuatnya lebih trauma, termasuk dengan pertanyaan “bagaimana perasaan anda” dan semacamnya?.”

Jurnalis juga harus mengormati sikap keluarga korban jika tidak bersedia diwawancara atau menunjukkan sikap enggan digali informasinya. Tugas jurnalis memang mencari informasi, namun hendaknya juga memperhatikan hak narasumber untuk dihormati perasaan traumatik atau sikap enggannya.

“Sebagai bagian dari sikap penghormatan ini, media juga hendaknya tidak mengeskploitasi informasi, foto atau video yang bisa menimbulkan trauma lebih lanjut bagi keluarga dan publik.” 

Jurnalis dan media hendaknya tetap memegang prinsip profesionalisme seperti diatur dalam pasal 2 Kode Etik Jurnalistik. Salah satu prinsip bekerja secara profesional adalah dengan menggunakan sumber informasi yang kredibel dan kompeten. Semangat untuk menggali informasi dari banyak sumber adalah hal yang baik untuk mencari kebenaran, namun pemilihan sumber tetap harus mempertimbangkan kredibilitas dan kompetensinya.

Menggunakan sumber dari seorang “peramal” sebagai bahan berita kecelakaan seperti ini adalah tindakan yang kurang patut. 

Media sebaiknya juga lebih fokus menjalankan fungsi “informatif” dan “kontrol sosial” dan menghindari sisi yang relevansinya jauh dari peristiwa, apalagi kalau sampai mengesankan tidak menghormati pengalaman traumatik keluarga korban.

“Mengangkat soal gaji pilot atau awak penerbangan dan semacamnya mungkin bersifat informatif, tapi kurang tepat pada saat sekarang ini. Kecuali ada indikasi kuat dalam proses penyelidikan bahwa itu menjadi faktor signifikan dalam kecelakaan. Akan lebih bermanfaat jika jurnalis dan media fokus pada memberi update terbaru tentang peristiwa sehingga bisa membantu publik, termasuk keluarga, dalam bertindak. Jurnalis dan media juga perlu lebih mengungkap soal aspek tanggungjawab dari perusahaan dan otoritas penerbangan soal keamanan dan kalaikan pesawat, agar bencana serupa tak terulang di masa mendatang,” kata Abdul Manan

Revolusi Riza, Sekretaris Jenderal  AJI menambahkan, jurnalis juga perlu tetap mengikuti protokol kesehatan dalam liputan kecelakaan Sriwijaya Air ini, dengan tetap memakai masker dan menjaga jarak fisik yang aman untuk menghindari penularan Covid-19.

Selain soal kesehatan, yang juga tetap harus diperhatikan adalah aspek keselamatan dalam liputan. Jurnalis yang bertugas dalam liputan pencarian korban dan puing pesawat di Kepulauan Seribu, hendaknya menggunakan alat keselamatan seperti baju pelampung

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!