Jika Dia Sudah Menguasaimu, Lupakan Saja

Relasi dengan pasanganmu pasti mengenal pasang surut, tapi kamu berhak untuk lepas dari dia jika dia sudah menguasaimu

Relasimu dengan pasanganmu tentu tak selamanya baik-baik saja, bahkan kadang ada yang tak pernah lepas dari yang berkuasa dan yang dikuasai.

Relasi subordinat antara yang menguasai dan dikuasai ini yang berbahaya. Dan ini juga ternyata tak hanya terjadi di kelompok heteroseksual, namun juga di kelompok homoseksual.

Cerita ini juga banyak saya dapatkan ketika saya bertemu dengan beberapa teman perempuan, mereka bercerita tentang relasi dengan pasangannya. Lalu sampailah salah satu dari kami bertanya pada salah satu teman perempuan kami. Sebut saja namanya Kimi.

Kami semua tahu kalau suaminya Kimi tidak punya pekerjaan tetap. Mereka sering mempunyai persoalan ekonomi dan suaminya seolah kurang peduli, Kimi sudah sering menceritakannya. Namun Kimi tetap memilih bertahan walau ini kadang tidak membuatnya bahagia.

Adapula seorang teman yang merasa tidak bahagia dengan perkawinannya karena suaminya tidak mau bekerja. Selama ini ia merasa banyak dimanfaatkan oleh suaminya, disuruh bekerja, mengurus semua pekerjaan rumah dan menjaga anak ketika ia pulang bekerja. Sedangkan suaminya lebih sibuk beraktivitas dengan organisasinya, tanpa mau membantu jerih payah istrinya.

Ketika ditanya kenapa tidak mencoba berpisah? Teman saya ini merasa takut mengecewakan dan mempermalukan orang tua. Ayahnya adalah pejabat di sebuah kota di Indonesia. Perceraian yang akan terjadi akan membuat malu keluarga ayahnya.

Sebetulnya dia menikah dengan terpaksa karena usianya yang sudah 35 tahun dan keluarganya memaksa dia untuk segera menikah. Akhirnya dia menikahi teman SMA nya yang bertemu ketika reuni.

Yang saya alami, ada banyak perempuan yang terjebak dalam kuasa patriarkhi, ingin bercerai namun tak bisa, ini karena ada anak, ada keluarga yang harus dipertimbangkan, padahal sudah lama suaminya tak mau mengambil tanggungjawab dalam keluarga. Ini memang merupakan kondisi serba sulit yang menimpa banyak perempuan, banyak istri di dunia ini. Terjebak dalam pilihan sulit. Banyak perempuan yang kemudian terjebak di dalamnya.

Bagaimana sistem sosial patriarki yang membentuk figur laki-laki sebagai yang utama, pemegang kekuasaan, dan istri sebagai subordinat. Sehingga bila relasi tersebut tidak sesuai dengan budaya patriarki, maka perempuan akan dihadapkan pada situasi: sulit untuk memilih. Belum lagi hal lain seperti setereotype yang melekat pada perempuan: cerai adalah sesuatu yang buruk bagi perempuan.

Begitupula dalam relasi heteroseksual, bila ada suami yang dianggap tidak berkuasa dalam rumah tangganya akan dianggap menyalahi aturan, atau bila istri terlalu dominan dan lebih berkuasa dari suaminya akan dianggap salah.

Dan ternyata relasi patriaki ini juga terjadi dalam relasi antara pasangan gay ataupun lesbian. Pada relasi homoseksual, ternyata ada budaya patriarki yang juga kuat. Mereka membuat peran seperti pasangan heteroseksual, ada yang menjadi suami dengan segala perannya ataupun peran istri dengan segala stereotypenya. Bahkan yang berperan sebagai suami (butchi) sangat dominan dan menguasai femme yang berperan sebagai istri juga ada.

Saya selalu sedih melihat ini, padahal seharusnya stereotype ini mestinya harus hilang, tak ada relasi di kelompok lain, namun nyatanya budaya berkuasa ini sangat erat bahkan di kelompok lain.

Apa akibatnya jika terus-terusan bertahan dengan relasi kuasa ini? Perempuan akan kehilangan banyak hal: ruang untuk bersuara, ruang untuk meraih hidupnya, ruang untuk meraih alternatif yang lain. Padahal seharusnya perempuan bisa memilih apa yang penting untuk hidupnya.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!