Lahannya Diambil Alih, Kondisi Kerja Buruh Perempuan Buruk dan Tanpa Perlindungan

Lahan yang diambil alih secara paksa, membuat para buruh perempuan kehilangan tanah dan harus menjadi buruh tani. Beberapa meninggalkan daerahnya untuk bekerja ke luar negeri yang masih jauh dari perlindungan yang layak

Realitas yang dihadapi perempuan buruh masih jauh dari standar hak asasi manusia. Di beberapa tempat di Indonesia, perempuan buruh tani terpaksa menanggung kerugian akibat penyeragaman benih dan pada akhirnya mengancam ketahanan pangan mereka

Salah satu yang dihadapi masyarakat yaitu soal alih fungsi lahan yang mengakibatkan konflik agraria berkepanjangan.

Apa akibatnya bagi perempuan?. Perempuan beralih pekerjaan menjadi buruh perkebunan sawit atau tebu. Setelah tak menguasai lahannya, mereka menjadi buruh, terancam terpapar pestisida hingga mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.

Catatan ini dikeluarkan Solidaritas Perempuan dalam pernyataannya di Hari Buruh 1 Mei 2021. Hilangnya sumber kehidupan di dalam negeri ini kemudian mendorong perempuan bermigrasi kerja di luar negeri.

Sayangnya perlindungan pemerintah terhadap perempuan buruh migran masih minim sehingga rentan mengalami diskriminasi, kekerasan hingga trafficking.

Dipaparkan Dinda Nuur Annisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan mencatat, alih fungsi lahan pertanian warga selama ini terjadi untuk kepentingan perkebunan skala besar seperti sawit maupun tebu. Hal ini seringkali disertai dengan perampasan tanah yang mengakibatkan konflik agraria berkepanjangan seperti yang terjadi di desa Seri Bandung – Ogan Ilir, Sumatera Selatan dan Takalar – Sulawesi Selatan.

“Jika pun terpaksa beralih pekerjaan menjadi buruh perkebunan sawit ataupun tebu, ancaman terpapar pestisida, pelanggaran hak ketenagakerjaan dan kondisi kerja tidak layak, hingga ancaman mengalami pelecehan dan kekerasan seksual pun terus mengintai.”

Kesejahteraan dan keleluasaan kerja yang selama ini dinikmati saat memiliki tanahnya sendiri pun berganti dengan penindasan yang dilakukan oleh mandor hingga perusahaan perkebunan yang serakah.

Kehilangan sumber kehidupan dan sulitnya menjadi buruh perkebunan tak jarang mendorong perempuan untuk bermigrasi kerja ke luar negeri.

“Pilihan itu diambil dengan harapan dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun pada akhirnya, perempuan buruh migran harus menjalani pekerjaan yang berbahaya dan rentan dengan bayaran yang rendah dan tidak tetap, jam kerja yang terlalu panjang, waktu istirahat yang kurang dan dikecualikan dari sistem jaminan dan perlindungan sosial.”

Data penanganan kasus yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan menyebutkan, perempuan buruh migran masih mengalami diskriminasi, kondisi kerja yang tidak manusiawi, berbagai bentuk pelanggaran hak hingga kekerasan fisik dan seksual serta trafficking. Di banyak negara, pekerja rumah tangga tidak diakui sebagai pekerja yang mengakibatkan mereka terkecualikan dari perlindungan hukum atau akses terhadap keadilan.

Krisis COVID-19 baru-baru ini semakin memperburuk ketidaksetaraan struktural dan sistemik ini. Pandemi telah mempengaruhi perempuan buruh secara spesifik – memperburuk kondisi kerja, pemutusan hubungan kerja yang salah, kondisi hidup yang buruk tanpa kecukupan pangan dan kebutuhan dasar, akses terbatas ke layanan medis, hingga akses terhadap air dan sanitasi yang semakin tidak terjangkau akibat privatisasi.

Alih-alih bekerja untuk menyelamatkan rakyatnya, Pemerintah justru memfasilitasi kepentingan investasi dengan mendorong Omnibus Law UU Cipta Kerja yang meminggirkan perlindungan lingkungan maupun hak-hak dasar warga negara.

“Regulasi seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja maupun Proyek Strategis Nasional merupakan tindakan negara yang tidak demokratis karena mengabaikan suara rakyat dan mandat konstitusi untuk melindungi kepentingan warga negara. Ini juga sekaligus merupakan pola pembangunan yang patriarkis karena mengeksploitasi lingkungan dan mengabaikan hak asasi manusia hanya untuk atas nama pertumbuhan ekonomi. Tentu pola semacam ini akan semakin memperburuk situasi perempuan buruh yang ada dalam lapisan penindasan dan ketidakadilan.”

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Osi NF

Designer grafis. Menyukai hal-hal baru dan belajar di media online sebagai tantangan awal. Aktif di salah satu lembaga yang mengusung isu kemanusiaan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!