Frida Kahlo: Potret Interseksional Feminis dari Lensa Seniman Disabilitas

Frida Kahlo, seniman, feminis dan penyandang disable telah mengubah pandangan konstruksi tentang perempuan dari lensa berbeda, Kahlo menjadi salah satu pioneer yang membuktikan bahwa disabilitas bukanlah beban dan ancaman. Eksistensi dan karya seninya menghasilkan nilai-nilai feminisme yang menarik

Perempuan sering kali dihadapkan dengan ekspektasi dan tuntutan yang lebih tinggi dalam memenuhi norma-norma hierarki.

Keterbatasan dalam berekspresi, berperan, dan mendapat pengakuan sering kali menjadi momok menakutkan dalam menghadapi konstruksi masyarakat dan stigma sosial tentang citra perempuan. Eksploitasi bentuk tubuh, standar kecantikan normatif, dan bahkan glass ceiling (tembok tak terlihat yang sering dihadapi perempuan) sering kali dialami wanita sebagai bentuk diskriminasi.

Namun, jika para perempuan ini tidak dapat memenuhi standar idealitas dan paradigma masyarakat tersebut, apakah lantas membuat mereka menjadi less womanand less human?

Apa sih, sebenarnya Interseksional Feminisme, dan apa kaitannya dengan disabilitas?

Pada tahun 1989, istilah Interseksional Feminisme pertama kali dicetuskan oleh Kimberlé Crenshaw – seorang profesor hukum Amerika Serikat dan aktivis sosial yang menggambarkan dialog antara feminisme dan ketidaksetaraan dengan kategori sosial seperti usia, ras, warna kulit, kelas, gender, agama, orientasi seksual dan disabilitas.  Gagasan ini memungkinkan wanita dari latar belakang yang lebih luas untuk dapat didengar.

Mengutip dari Nancy J. Hirschmann dalam jurnal “Politics & Gender”, penyandang disabilitas selalu bersinggungan dengan semua ras/etsnis, gender, kelas, agama, dan kebudayaan. Interseksional Feminisme membuat objektif baru tentang bagaimana identitas sosial dapat menciptakan bentuk diskriminasi yang berbeda-beda, terutama bagi perempuan penyandang disabilitas. Mengapa demikian? Karena perempuan disabilitas dipandang cenderung menerima diskriminasi ganda dan dicap dengan status sosial yang lebih rendah; dipandang lemah, kurang kompeten, kurang produktif, dan sulit untuk mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang lebih layak.

Frida Kahlo – “Why do I need feet when I have wings to fly?”

Seorang seniman, penyandang disabilitas, seorang perempuan, seorang feminis, seorang bisexual, seorang Frida Kahlo. Lahir di Mexico City pada 6 Juli 1907, Kahlo hadir sebagai tombak runcing bagi isu kesetaraan dan stigma masyarakat, dikenal sebagai sosok perempuan yang kuat dan berani menentang norma gender dan standar kecantikan dengan kepribadian dan lukisannya.

Pada usia 6 tahun, Kahlo menderita penyakit polio yang membuat kaki kanannya pincang permanen. Saat menginjak usia 18 tahun, Kahlo mengalami kecelakaan bus yang membuatnya mengalami cedera kronis dan mengharuskannya menggunakan gips di seluruh tubuh dan hanya berbaring selama sisa hidupnya.

Keadaan tubuh Kahlo juga membuatnya tidak mampu untuk melahirkan. Ketidakharmonisan rumah tangganya dengan Diego Rivera, juga menambah beban psikis dan gejolak emosional Kahlo. Selain identitasnya sebagai seorang multi-ras (Spanyol-Amerika), Kahlo juga dikenal sebagai seorang perempuan bisexual. Poin-poin dalam hidup Kahlo ini-lah yang tentu saja dianggap melanggar norma-norma masyarakat karena tidak dapat memenuhi ‘standar idealitas dan normatif’ sosial.

Namun, Kahlo hidup tanpa rasa takut, dia hanya ingin terbang bebas tanpa mengikuti standar sosial yang “dapat diterima” dan akan mengekangnya dalam berekspresi. Kahlo membuat disabilitas, tragedi, feminitas, maskulinitas, dan penderitaan heroiknya menjadi sebuah inspirasi, kecakapan politik, serta objek kritis dalam setiap lukisannya.

Lukisan “Self-Portrait with the Portrait of Doctor Farill, 1951”, bercerita tentang Kahlo sebagai seorang disabilitas, dengan memegang palet jantungnya di satu tangan, menggambarkan Kahlo yang melukis dengan hati dan darahnya sendiri. Lukisan “Henry Ford Hospital, 1932”, merefleksikan pengalamannya sebagai seorang perempuan: Tubuh Kahlo dalam subjek ini bukan menggambarkan seorang perempuan dengan tubuh sempurna, ini tentang tafsir realistis dan rasa sakit perempuan pasca keguguran, menstruasi, dan aborsi.

Frida Kahlo dan Identitas Gender

Kahlo juga tidak ragu untuk mengekpresikan identitas gender dengan sisi feminis dan maskulinnya. Sebagai seorang ‘pemain’ peran gender yang tangguh, dia merobohkan standar kecantikan.

Kahlo memiliki rahang kokoh, kulit cokelat, alis menyatu, dan juga kumis tipis. Seolah-olah dia berkata pada dunia, “Lihat, tanpa standar kecantikan yang mereka tetapkan, I’m a woman, and still a woman. Period.”

Sosok Frida Kahlo telah mengubah pandangan konstruksi sosial tentang peran dan citra perempuan dari lensa berbeda, Kahlo juga menjadi salah satu pioneer yang membuktikan bahwa disabilitas bukanlah beban dan ancaman, mereka juga mampu dan layak untuk menjalani kehidupan yang baik, produktif dan memberikan impact positif bagi banyak orang. Eksistensi dan karya seni-nya menghasilkan nilai-nilai feminisme yang lebih menarik dan luas untuk ditelisik, lebih dari isu kesetaraan gender.

(Foto: Theartpostblog.com)

(Sumber: https://plainmovement.id)

Adinda Jasmine

Penulis di plainmovement.id
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!