Kesepian Di Tengah Pandemi, Komunitas Disabilitas dan LGBT Rentan Bunuh Diri

Survey kondisi psikologi di masa pandemi yang dilakukan Komunitas Into the Light menemukan sejumlah komunitas yang kesepian, merasa lebih baik mati dan ingin melukai diri sendiri.

Bagaimana kondisi kesehatan mentalmu di tengah pandemi? bukan tak mungkin kita mengalami penurunan kualitas kesehatan mental karena pengaruh kondisi kesehatan yang tidak baik, kesepian, kehilangan orang terdekat, teman, saudara, kehilangan pekerjaan, juga layanan kesehatan mental di Indonesia belum aksesibel untuk semua orang.

Kondisi ini kemudian menggerakkan komunitas Into The Light dan Change.org untuk melakukan survei kondisi psikologis dan penggunaan layanan kesehatan mental masyarakat Indonesia.

“Latar belakangnya, aku sama teman-teman Into The Light diskusi dulu nih karena untuk kesehatan mental, kita belum punya data yang bisa dirujuk. Kesehatan mental di Indonesia meskipun terbatas, tapi ada peningkatan, mulai dari psikolog yang diakui sebagai tenaga kesehatan, sekarang mulai ada di rumah sakit dan puskesmas. Yang melatarbelakangi waktu itu kurang lebih adalah kami melihat kesehatan masyarakat Indonesia tentang kesehatan mental dan gangguan jiwa ini memang cenderung meningkat. Sejalan dengan tadi, jumlah layanan kesehatan Indonesia juga bertambah, tapi evaluasi layanan kesehatan mental itu masih belum ada dan hambatan mengakses layanan kesehatan mental.” ujar Andrian Liem, peneliti dari Into The Light kepada Konde.co.

Melalui survei yang diadakan selama sebulan yakni pada bulan Mei 2021, bertepatan dengan bulan kesehatan mental, Into The Light melakukan survei daring dengan 5.211 orang responden. Mayoritas pengisi survei berasal dari 6 Provinsi di pulau Jawa (76%) dan 24% sisanya berasal dari luar Pulau Jawa (28 Provinsi).

Responden dari survei Into The Light memiliki beragam latar belakang seperti: jenis kelamin yakni 67% perempuan, 32% laki-laki, dan 1% lainnya; ketertarikan seksual yakni 90% heteroseksual, 10% non-heteroseksual; usia yakni 46% berusia 18-24 tahun,, 34% berusia 25-34 tahun, 13% berusia 35-44 tahun, 6% berusia 45-54 tahun, dan 1% berusia >55 tahun; kondisi disabilitas yakni 78% non-disabilitas dan 22% disabilitas; dan status HIV yakni 99% negatif atau tidak tahu bahwa responden memiliki HIV dan 1% positif HIV.

Dalam riset ini, 98% partisipan mengatakan bahwa mereka merasa kesepian dalam satu bulan terakhir (dalam periode survei) dan 2 dari 5 orang partisipan merasa lebih baik mati dan ingin melukai diri sendiri dalam 2 minggu terakhir.

“Dalam survei ini juga ditemukan bahwa lebih dari setengah partisipan dari kelompok seksual dan gender pernah berpikir lebih baik mati dan ingin menyakiti diri sendiri dalam dua minggu terakhir,” ujar Andrian kepada Konde.co.

Andrian menambahkan, dalam riset ini tim peneliti menemukan bahwa 42% responden non heteroseksual pernah mengakses layanan kesehatan mental pada 3 tahun terakhir, sedangkan pada kelompok heteroseksual hanya 25% yang pernah mengakses layanan kesehatan mental selama 3 tahun terakhir. Partisipan dalam riset ini mengakses layanan kesehatan mental melalui daring (68%) dan mengunjungi langsung fasilitas kesehatan (32%).

Pertimbangan yang digunakan oleh partisipan dalam mengakses layanan kesehatan mental yakni 86% memilih layanan kesehatan dengan biaya terjangkau, 85% memilih layanan yang menyediakan informasi secara daring, 73% mempertimbangkan tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik, 67% mempertimbangkan lokasi yang mudah dijangkau oleh transportasi publik, dan 65% memilih berdasarkan reputasi pelayanan yang baik. Pada kelompok partisipan minoritas seksual dan gender, mereka juga mempertimbangkan layanan kesehatan yang menerima keberagaman gender dan seksualitas dari kliennya.

Ada beragam alasan responden tidak pernah mengakses layanan kesehatan mental, di antaranya, tidak mampu membayar untuk mendapatkan psikoterapi (pulau jawa 58% responden, di luar pulau jawa 53% responden) atau bisa menyelesaikan masalah sendiri (pulau jawa 60% responden dan luar pulau jawa 65% responden).

“Yang menarik, informasi terkait pengetahuan terhadap ketersediaan layanan kesehatan mental pada BPJS Kesehatan ternyata lebih banyak diketahui oleh teman-teman non heteroseksual yakni sebanyak 42% dibandingkan dengan kelompok heteroseksual yang hanya 28%. Dan terkait pengetahuan tentang adanya layanan kesehatan mental, 45% partisipan non heteroseksual mengetahui adanya layanan kesehatan mental dan 41% partisipan heteroseksual tidak mengetahui adanya layanan kesehatan mental,” tambah Andrian.

Pengetahuan tentang akses layanan kesehatan mental yang lebih tinggi pada komunitas non heteroseksual ini disebabkan karena kondisi kerentanan mereka yang lebih tinggi dibandingkan dengan komunitas non heteroseksual.

Kerentanan ini tergambar pada riset yang pernah dilakukan oleh Konsorsium Crises Response Mechanism (CRM) dan Kurawal Foundation yang dipublikasi pada Maret 2021 lalu.

Dalam penelitian tersebut tergambar adanya diskriminasi yang dialami oleh komunitas LGBT dalam berbagai aspek seperti mengakses pekerjaan, hingga mengakses bantuan Covid-19 dari pemerintah. Selain itu. Komunitas LGBT juga rentan mengalami kekerasan selama pandemi Covid-19 seperti ancaman kekerasan di lingkungan sosial hingga di dalam rumah.

Dalam Survei Kondisi Psikologis dan Penggunaan Layanan Kesehatan Mental masyarakat Indonesia, komunitas Into The Light dan Change.org juga menemukan hasil yang cukup mengkhawatirkan pada kondisi responden disabilitas.

“Teman-teman disabilitas memiliki pikiran menyakiti diri sendiri datanya cukup mengkhawatirkan, dalam dua minggu terakhir [pada saat survei berjalan] mencapai hampir 65% dibandingkan dengan responden non disabilitas yang mencapai 32%,” ungkap Andrian.

“Kalau kita melihat teman-teman difabel yang memiliki pemikiran bunuh diri tersebut persentasenya lebih besar pada responden yang non heteroseksual yakni sebanyak 76%,” tambah Andrian.

Situasi ini memperkuat beragam riset yang pernah dilakukan sebelumnya terkait kondisi komunitas marginal bahwa mereka yang memiliki kerentanan ganda berpotensi mengalami pemikiran bunuh diri yang lebih tinggi.

Dari sisi ekonomi, responden dari Into The Light memiliki penghasilan yang beragam yakni 49% berpenghasilan di bawah Rp3 juta; sisanya 21% berpenghasilan Rp3 sampai 5,99 juta; berpenghasilan Rp6 sampai 9 juta ada 9%, Rp9 sampai 12 juta ada 4%; dan responden yang berpenghasilan lebih dari Rp12 juta sebanyak 7%.

Andrian mengatakan bahwa kelompok yang tidak berpenghasilan memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi.

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!