Aktivis: Alasan Kiwil Poligami, Perempuan Dianalogikan Seperti Barang, Ini Maskulinitas Toksik!

Menikah selama 4 kali, komedian Kiwil menganalogikan istri-istrinya seperti benda atau barang ketika presenter TV, Feni Rose bertanya alasan ia berpoligami: ibarat mobil, seseorang pasti ingin punya mobil lebih dari satu. Ini contoh perilaku maskulinitas toksik!

Pernah gak sih, kamu sebagai perempuan ngerasa gerah karena mendengar kata-kata seperti ini: 

“Kamu itu ibarat rumah. Tempat ternyaman untukku melepas lelah”

“Kamu tuh mutiara yang berkilau, betapa beruntungnya aku mendapatkanmu”

“Kamu itu kayak permen. Manis. Tapi, kalau tidak tertutup nanti dikerumuni semut” 

Kata-kata itu, mempunyai pola yang sama: mengobjektifikasi perempuan. Meskipun niatnya, ada yang seolah memuji perempuan. Namun nyatanya, justru memposisikan sebagai benda mati yang tidak berdaya atas kuasa diri. Perempuan juga diposisikan sebagai kepemilikan, bukan setara sebagai manusia yang punya hak hidup yang merdeka. 

Baru-baru ini, kegerahan publik pun mencuat pada sosok Kiwil. Komedian kelahiran 1972 itu mengibaratkan perempuan, istrinya, sebagai mobil. Ceritanya, Kiwil dalam sebuah wawancara itu ditanya alasannya mengapa ia melakukan poligami oleh Feni Rose, presenter TV. Kiwil menjawab, menurutnya, seseorang pasti menginginkan mobil lebih dari satu. 

“Mobil, mau nggak dikasih mobil satu? Ah bullshit ah, besok punya mobil ini, mau usaha ini,” ujar Kiwil dalam program cara Rumpi Transtv beberapa hari lalu. 

Begitu Feni Rose bertanya balik, “Kenapa analoginya benda?” 

Kiwil tak bisa menjawab dengan lugas pada pertanyaan. Namun dia berkelit dengan pernyataan lainnya, yang juga problematik yakni seolah-olah perempuan itu objek yang harus didapatkan. Dan bisa diganti atau cari baru, ketika tidak sesuai dengan yang diharapkan. 

“Gue nggak pernah nolak, gue dapetin dia nih (menunjuk istrinya), apa yang gue rasa gue harus dapetin. Gue udah punya mobil ini, mobil ini, tapi yang gue cari nggak ada,” jelas Kiwil.

Sepanjang obrolan berdurasi sekitar 53 menit itu, Feni Rose banyak mengulik seputar rumah tangga Kiwil yang kini telah menikah selama 4 kali, dengan dua di antaranya posisinya poligami. Ialah Rohimah dan Meggy. 

Memang tak mulus perjalanan pernikahan kala poligami itu. Beberapa waktu sebelumnya, Feni juga mewawancarai Rohimah yang menyatakan mendapatkan kekerasan secara psikis bahkan fisik selama menikah dengan Kiwil. Poligami yang dilakukan Kiwil pun tidak langsung terang di awal bahkan cenderung manipulatif karena menyembunyikan dari istri pertama. Hingga kemudian ia mengaku karena telah terbongkar. 

Dari sudut pandang Kiwil, dia pun bercerita tentang bagaimana caranya meredam emosi kala bertengkar dengan istrinya. Seperti, memandikannya (menyiram dengan air) agar emosinya bisa mereda.

Maskulinitas Toksik

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati mengatakan apa yang dilakukan dari Kiwil itu tergolong sebagai maskulinitas toksik. Ini bisa didefinisikan dengan perilaku sempit terkait peran gender dan sifat laki-laki yang identik dengan kekerasan, agresif secara seksual dan tidak boleh menunjukkan emosi. 

Mengumpamakan perempuan sebagai benda mati, mobil, juga menurutnya juga telah menjatuhkan harkat martabat perempuan sebagai manusia. Ironisnya lagi, hal ini justru ditampilkan oleh seorang publik figur yang semestinya menjadi contoh masyarakat. Maka normalisasi atas hal ini, tentu patut dicemaskan. 

“Toxic masculinity betul-betul faktual dan itu justru dibawakan tokoh dan significant center,” kata Mike dihubungi Konde, Kamis (21/10/2021). 

Menyoal poligami, Koalisi Perempuan Indonesia pun menurut Mike jelas menyatakan bahwa KPI menolak poligami karena disebabkan akan lebih banyak potensi kekerasan berbasis gender yang timbul. 

“Kiwil yang acakadut soal statement publik yang buruk tidak bisa menempatkan sebagai person educator. Dia juga poligami, menambahkan penilaian buruk,” kata dia.

Di satu sisi, Mike mengatakan, pernyataan publik figur yang bias perspektif gender seperti pada kasus Kiwil ini, memang menunjukkan masih adanya kebobrokan wajah publik figur di tanah air. Maka semestinya perlu upaya-upaya yang lebih tegas: tidak hanya takedown tapi ada mekanisme tersendiri yang harus diambil. 

Mendesak Sikap Komisi Penyiaran Atas Statemen Publik Figur Yang Buruk

Mike Verawati mengusulkan agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan statemen atas sikap publik figur yang buruk ini

“KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) bagaimana menyikapi statement publik figur yang buruk. Harus jadi mekanisme jera yang efektif, jangan cuma ditegur, take down, tanpa adanya proses hukum. Harusnya Menkominfo juga yang membawahi penyiaran dan edukasi publik,” terang dia. 

Terlepas dari itu, Mike sebetulnya bersimpati dengan warganet yang saat ini tampak lebih peka dan peduli terkait ekspresi penolakan terhadap bias gender yang berseliweran. Baik melalui diskursus hingga mengkritisi semisal di sosial media. 

Lalu, apa yang bisa anak muda lakukan dalam kondisi ini?

Ujaran seksis, misoginis hingga beragam bentuk maskulinitas toksik yang dinormalisasi, menurut Mike sudah jadi hal usang! Dulu mungkin gaya pelawak dengan melakukan hal itu, masih dimaklumi bahkan karena ketidaktahuan atau ketidaksadaran, banyak yang ikutan tertawa. Namun saat ini, perlahan menurut Mike semakin tergugah dan anak muda punya peranan penting untuk ini. 

Apa yang dilakukan publik termasuk anak muda yang melek sosial media, ialah membangun narasi yang sensitif gender.

Dalam kasus ini misalnya, advokasi digital bisa dilakukan dengan naming dan shaming. Hal ini berkaitan dengan mengangkat isu yang sedang berkembang dan memunculkan narasi baru yang menyadarkan publik. 

“Itu sah-sah saja, asalkan ada etikanya jangan sampai juga perang statement, dan hati-hati karena kita masih ada UU ITE,” ujarnya. 

(Foto: Makassar.terkini.id)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!