Aku Korban Kekerasan Seksual: Kami Tak Hanya Butuh Perlindungan Tapi Juga Pemulihan

Sebagai korban kekerasan, saya sudah berdamai dan tengah terus belajar menjadi semakin berdaya. Namun, pemulihan saya tidak lepas dari support system yang kuat dan akses edukasi yang memadai.

Saya adalah seorang penyintas kekerasan terhadap perempuan.

Ya. Saya adalah satu dari setidaknya tujuh ratus tiga puluh enam juta perempuan di dunia yang telah mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual.

Saya sudah berdamai dengan hal ini dan tengah terus belajar menjadi semakin berdaya, namun pemulihan saya tidak lepas dari privilese atas support system yang kuat dan akses edukasi yang memadai.

Tidak demikian halnya untuk jutaan perempuan lain yang masih bergulat dengan trauma, bahkan memikul sendirian beban ganda korban kekerasan. Nama perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, NWR, hari ini kita kenal melalui berita duka yang mendalam, refleksi atas kegagalan sistem dalam mewujudkan “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Akses perlindungan dan pemulihan yang minim tidak hanya berdampak pada kemiskinan dan putus sekolah, tapi juga menciptakan keberlangsungan rantai kekerasan. Self-harm dan bunuh diri, penelantaran dan penganiayaan anak, semuanya adalah kekerasan yang bermanifestasi menjadi beragam bentuk lain.

Suatu waktu saya membaca pernyataan seorang petinggi negara mengenai Restorative Justice, yang mengusulkan bagaimana seorang korban pemerkosaan bisa dinikahkan dengan pemerkosanya sebagai upaya menjaga harmoni di masyarakat. Pernyataan ini selain menormalisasi beban ganda korban, juga menyalahi persyaratan utama penerapan restorative justice itu sendiri – dimana pemulihan korban harus selalu diutamakan.

Dalam sudut pandang seorang penyintas saya merasa geram dan bertanya-tanya darimana datangnya ide bahwa restorative justice bisa menjadi solusi atas kekerasan yang dialami korban pemerkosaan? Pantaskah kita membebankan tanggung jawab atas kerusakan harmoni di masyarakat kepada korban? Saat bicara harmoni, harmoni seperti apa yang kita inginkan? Masyarakat seperti apa yang sedang kita ciptakan?

Sudahkah kita sungguh mengerti apa yang dilakukan seorang pelaku kekerasan dan bagaimana dampaknya terhadap korban? Atas dasar apa seseorang merasa boleh melakukan tindak kekerasan?

Karena jika kita melihat kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu permasalahan yang hendak dipecahkan, kita harus terus bertanya dan menggali akar permasalahan, agar dapat mengatasinya secara efektif. Tentu saja payung hukum yang sesuai untuk menindak pelaku serta menjamin pemulihan korban tetaplah krusial – dan ini seharusnya menjadi bagian dari komitmen negara untuk mengamankan warganya.

Namun menggali dan mengatasi akar permasalahan dari kekerasan terhadap perempuan juga harus dilakukan sebagai pencegahan tumbuhnya bibit-bibit diskriminasi yang berpotensi menjadi perilaku kekerasan. Mengatasi akar permasalahan adalah tanggungjawab kita bersama untuk mewujudkan masyarakat dengan harmoni sesungguhnya: penuh rasa menghargai sesama dan perilaku saling membangun dalam semangat Bhineka Tunggal Ika.

Yang saat ini terjadi, kita terus menerus menyerang permukaan gunung es. Contohnya membatasi eksplorasi dan ekspresi perempuan karena penggunaan pakaian yang terbuka dinilai menjadi sebab utama terjadinya pelecehan di ruang publik. Padahal survei Koalisi Ruang Publik Aman tahun 2019 membuktikan bahwa mayoritas perempuan di Indonesia sedang mengenakan rok/celana panjang, baju lengan panjang, baju longgar, bahkan hijab, saat terjadi pelecehan. Pelecehan terjadi saat perempuan berada di toilet umum, di dalam rumah ibadah, maupun di dalam rumah sendiri.

Pun adanya mitos bahwa perempuan sebaiknya segera menikah ketika menginjak usia tertentu agar terlindung dari kekerasan. Faktanya CATAHU Komnas Perempuan mendata Kekerasan Terhadap Istri (KTI) secara konsisten menduduki peringkat utama jenis kekerasan terhadap perempuan (50% dari keseluruhan jumlah pengaduan). Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan bukanlah titik dimana perempuan dapat akhirnya memiliki ruang aman.

Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) juga mengalami lonjakan peningkatan setinggi 920% seiring berpindahnya aktivitas sehari-hari ke dunia digital karena pandemi, merefleksikan betapa kekerasan pada perempuan selalu menemukan cara meski dalam keterbatasan mobilitas yang signifikan dalam dua tahun terakhir.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan akar kekerasan terhadap perempuan adalah ketidaksetaraan gender serta normalisasi akan kekerasan itu sendiri.

Apabila kita bedah lebih lanjut, ketidaksetaraan gender terjadi akibat ketimpangan privilese.

Dalam berbagai budaya di belahan dunia manapun, sedari kecil perempuan dihadapkan dengan bermacam stigma dan tuntutan – dalam bertingkah laku, berpakaian, mengeksplorasi minat dan bakat, menuntut ilmu, hingga berkarir, mengasuh anak, dan seterusnya. Sementara laki-laki pada umumnya tidak dibebankan tuntutan dengan frekuensi dan intensitas yang serupa.

Laki-laki dibesarkan untuk mendominasi, memiliki pengaruh dan kuasa, namun konsep yang sama tidak kita ajarkan pada anak-anak perempuan.

Hari ini kita mengenal ketimpangan ini sebagai Male Privilege (privilese laki-laki).

Kate Manne, filosofis dan penulis buku “Entitled: How Male Privilege Hurts Women” menyimpulkan, privilese laki-laki menimbulkan ilusi bahwa laki-laki memiliki wewenang atas tubuh, waktu, pemeliharaan, pekerjaan rumah tangga, bahkan pengaguman oleh perempuan.

Ilusi wewenang inilah yang kemudian membuahkan berbagai bentuk seksisme dan objektifikasi terhadap perempuan, lantas berpotensi memuncak menjadi pelecehan dan kekerasan dalam berbagai jenisnya. Sebagai contoh: apabila seseorang merasakan ketertarikan yang tidak berbalas, sewajarnya ia harus bisa menerima kondisi tersebut. Namun dengan latar belakang pola asuh pada umumnya yang menekankan bahwa peran laki-laki haruslah dominan, sementara konsep yang sama tidak ditanamkan pada anak-anak perempuan, timbul ilusi bahwa laki-laki memiliki wewenang untuk memaksakan ketertarikannya sekalipun dengan kekerasan.

Lalu bagaimana kita sebagai orang awam tanpa otoritas dan pengaruh di masyarakat dapat ikut membongkar ilusi wewenang ini guna memutus rantai kekerasan terhadap perempuan?

Langkah awal dan yang paling krusial adalah menyadari dan mengakui semua privilese laki-laki dalam berbagai aspek hidup kita, serta ilusi yang dihasilkannya. Hanya dengan kesadaran dan pengakuan seutuhnya, kita bisa berdiri dari sudut pandang yang tepat dan memulai fokus untuk membenahi pola yang diwariskan dari generasi ke generasi. Baik dalam pengasuhan anak, sistem pendidikan, relasi pacaran, hingga persaingan di dunia kerja dan pembagian peran di rumah tangga.

Selama kita gagal menyadari dan mengakui privilese ini, selama itu pula ilusi wewenang akan terus meracuni baik sifat maskulin maupun feminin dalam masing-masing individu, dan perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan dan kaum marginal terus berputar di poros yang sama.

Bagaimana dapat saya katakan demikian? Dalam sebagian besar kasus kekerasan yang viral, kita temukan identitas pelaku yang terpandang dan memiliki kuasa di masyarakat: pemuka agama, dosen, bahkan aparat.

Bisa kita lihat adanya tendensi ilusi wewenang yang bertumbuh paralel seiring meningkatnya pengaruh dan status sosial.

Namun CATAHU Komnas Perempuan menunjukkan dalam tiga tahun terakhir, terjadi pergeseran identitas terbanyak pelaku kekerasan dari ayah atau suami, menjadi pacar. Ini menyiratkan bahwa di tengah globalisasi yang meningkatkan kemandirian perempuan, serta digitalisasi yang mengakomodir pertukaran informasi dengan begitu pesat, alih-alih privilese laki-laki dapat semakin disadari dan diatasi lebih baik, relasi kuasa justru semakin longgar.

Jangan sampai kita hanya menyerang permukaan gunung es atau memindahkan ilusi wewenang dari lingkaran relasi terdekat – contohnya ayah dan suami, menjadi pacar. Lantas pada prakteknya, gagal bertransformasi secara efektif karena tidak menggali dan mengatasi akar sesungguhnya dari polemik kekerasan terhadap perempuan.

Leoni Lintang

Aktivis dan penulis. Tulisan ini mendapatkan dukungan Fellowship dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!