Kiprah Koran ‘Perempoean Bergerak’: Media Feminis Pertama di Indonesia

Tahu nggak, ternyata media feminis pertama di Indonesia didirikan oleh perempuan yang masih berumur 14 tahun. Meski hanya bertahan 1 tahun 7 bulan, koran bernama “Perempoean Bergerak” mampu melahirkan ide-ide ciamik soal gerakan perempuan.  

Jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada Mei 1919, Boetet Satidjah mendirikan sebuah koran yang ia beri nama Perempoean Bergerak.

Tak hanya sebagai pendiri, perempuan kelahiran Tapanuli Selatan pada 1906 ini juga bertindak sebagai redaktur.

Perempoean Bergerak bukan koran biasa. Dari pemilihan namanya aja, sudah menegaskan bahwa koran ini adalah media progresif. Hal ini kian dikuatkan dengan tujuan yang dituliskan di halaman depannya, yakni sebagai organ “penyokong perjuangan kaum perempuan”.

Ini sebabnya, peneliti Sejarah Pers Perempuan Sumatera Utara, Lia Anggia Nasution menyebut koran Perempoean Bergerak sebagai koran feminis pertama di Indonesia, meski sebelumnya udah ada koran yang menyasar perempuan, seperti Poetri Hindia (lahir pada 1908) dan Soenting Melajoe (lahir pada 1912).

Lia beralasan, meski lahir lebih awal dan keduanya sama-sama menggunakan frasa yang mengarah ke perempuan, yaitu “poetri” dan “soenting” dalam namanya, baik Poetri Hindia maupun Soenting Melajoe belum secara lugas menggunakan kata perempuan. Pun demikian dengan isi dan jargon yang diusung. 

Jargon Poetri Hindia misalnya, menyebut dirinya sebagai “Soerat Kabar dan Advertentie Boeat Poetri Hindia”. Sedangkan Soenting Melajoe banyak merekam diskusi dan perdebatan perempuan Hindia Belanda tentang pendidikan, kesehatan, agama, dan budaya.

Lia menilai, dalam hal isi Perempoean Bergerak juga lebih progresif dan mampu menelurkan ide-ide keren terkait gerakan perempuan. Semangat untuk mendobrak budaya patriarki yang saat itu masih mengakar sangat kuat, diungkapkan lewat litografi –dua perempuan dengan mata tertutup memegang terompet yang dililit tanaman berduri– yang menjadi cover koran ini.

Litografi ini menggambarkan perjuangan perempuan untuk bisa bersuara guna mencapai kesetaraan dan meraih hak-haknya.

“Sementara tanaman berduri yang melilit dua perempuan itu, menggambarkan banyaknya belenggu yang harus dihadapi para perempuan untuk maju,” terang Lia di sela acara peringatan Hari Pahlawan yang dihelat Komnas Perempuan pada Selasa (9/11) lalu.

Lia menambahkan, belenggu itu dihadapi perempuan baik dalam perannya sebagai anggota keluarga maupun anggota masyarakat.

Jargon yang diusung Perempoean Bergerak keren banget, yaitu “sahabat terbaik mampu melindungi – sesame perempuan harus saling mendukung dan melindungi”.  Semangat ini masih sangat relevan sama jargon yang diangkat gerakan perempuan saat ini, yaitu woman support woman.

Tuntutan gerakan feminisme gelombang pertama yang saat itu sedang menguat, yakni hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan ikut berpartisipasi di dunia politik menjadi isu utama edisi-edisi Perempoean Bergerak.

Nggak heran kalau Perempoean Bergerak tak hanya mengulas tugas perempuan dalam penjagaan rumah tangga, adab sopan santun, kehidupan suami istri, menjaga dan merawat anak serta pergaulan sehari-hari, tapi juga menyuarakan gerakan perempuan dan sastra.

Dalam perbincangannya dengan Konde.co pada Senin (15/11) malam, Lia mengatakan edisi pertama Perempoean Bergerak yang berkantor di Wilhelminastraat, Deli, Sumatera Timur itu terbit pada 15 Mei 1919.

Lia yang merupakan ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FPJI) Sumatera Utara mengatakan, isi pemberitaan Perempoean Bergerak dipengaruhi kondisi saat itu, di mana politik etis yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda sedikit memberikan dampak positif bagi rakyat Indonesia termasuk kaum perempuan.

“Kondisi ini membuat perempuan semakin berkembang, tak hanya menggugat budaya patriarki, tapi juga membangkitkan semangat nasionalisme. Perempoean Bergerak bisa dibilang memelopori terbangunnya jaringan yang kuat di kalangan perempuan,” terangnya.

Lahir Di Masa Feminisme Gelombang Pertama

Kelahiran  Perempoean Bergerak memang tak bisa dilepaskan dari dukungan dari laki-laki. Di koran ini juga masih banyak ditemukan relasi timpang.

Bertindak sebagai pemimpin redaksi adalah Parada Harahap, suami Boetet. Sedangkan operasional koran yang dicetak NV Drukkerij Setia Bangsa ini digawangi perempuan. Selain Boetet, juga ada Anong S. Hamidah, Ch. Baridjah, Indra Boengsoe dan Siti Sahara yang bertindak sebagai staf redaksi.

Namun, Boetet sebagai pendiri yakin bahwa tujuan yang akan dicapai, yakni perempuan yang bergerak maju, dapat terwujud jika perempuan berada di dunia yang selama ini dimonopoli laki-laki. Dan, kemajuan perempuan itu harus diperjuangkan sendiri oleh perempuan. Pemikiran Boetet tertuang dalam tulisan di bawah ini:

“Wahai kaumku pihak perempuan, saya memperingatkan, jikalau bukan kita sendiri mesti memperbaiki nasib kita dengan sekeras-kerasnya, dan bila kita asik masyuk dengan kelemahan kita dan kecantikan kita, sudah tentulah kita akan tinggal tercecer selama-lamanya.”

Pemikiran progresif Boetet banyak dituangkan di rubric khusus “Beroending” yang merupakan tajuk dari Perempoean Bergerak. Di rubric ini, Boetet yang belakangan bergabung ke Soenting Melajoe, menuangkan semua pemikirannya tentang kesetaraan perempuan.

Lewat tulisannya, ia mengajak perempuan yang saat itu masih sangat dibatasi untuk keluar dari keterbelakangan dan berupaya meraih ketrampilan. Tak hanya memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan bekerja. ia juga mengajak kaum perempuan untuk berserikat membangun jaringan dengan perempuan dari daerah lain.

“Sudah itu timbul pikiran dalam hati saya, bagaimana pergerakan saudara-saudara kita perempuan di seluruh tanah Jawa, Sumatra Barat, dan lain-lain, bagaimana keadaannya over de Inlandshcevrouw en haar huis (1), over voiding van zuigelingen (2) over verzorging van kinderen (3) over de hijgiene (4) over ons godsdient (5) en over de inlandsche feminism (6) enz enz,” tulis Boetet di Perempoean Bergerak edisi Mei 1919.

Ia melanjutkan, “Jika saya pikirkan demikian pula, maka hati saya yang takut itupun menjadi berani kembali dan saya usahakan jugalah sedapat-dapatnya menjadi sebagai redactrice dari ini organ. Oleh sebab itu saya bermohon hati, saya harap pada no yang kedua dari organ ini bolehlah membawa kabar Bahasa feminisme kita ini akan ada ditunjang juga oleh Europesche vrouwen en juffrouwen (teman-teman dari Eropa).”

Boetet yang saat itu masih berusia belasan tahun juga mengritisi poligami serta masih banyaknya orang tua yang tidak mengizinkan anak perempuannya bersekolah, karena dinilai hanya membuang uang saja. Terkait poligami Boetet menilai lelaki tuh sering mengabaikan syarat yang menyertai diizinkannya seseorang untuk poligami.

“Mekipun lelaki dizinkan oleh agama kita Islam, boleh berbilang istri (beristri lebih dari satu, red), tetapi agama islam mengatakan haram berbilang istri jikalau tidak dapat berlaku adil, ya adil, sekali adil, adil lagi. Yang ini waktu ada di bibir mulut pihak lelaki katanya akan dicarinya,” tulisnya.

Meski tegas dalam prinsip, untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan, Boetet mengajak perempuan untuk menempuh cara yang elegan sehingga tujuannya tercapai.

“Feminisme kita ini hendaklah kita tujukan menurut jalan nan elok, dan bersih, supaya pergerakan kita ini tiada terhambat-hambat. Adat dan agama nan elok itu jangan kita lampaui. Pada saudara-saudara laki-laki kita puhunkan supaya teman fikirkan, Bahasa tuan-tuan musti dipandang bangsa hoilander (Belanda) sebagai Indische broeder (saudara). Jadi saya harap tunjang feminisme kami perempuan-perempuan pun akan dipandang oleh Hollander dari Holiandsche vrouw sebagai Indische zuster (saudara perempuan dari Hindia).”

Perempoean Bergerak yang oplahnya mencapai ratusan eksemplar setiap kali terbit, tidak mampu bertahan lama. Edisi terakhirnya terbit pada Desember 1920. Namun dalam umurnya yang singkat itu, Perempoean Bergerak mampu menjadi tempat yang menelurkan ide-ide mengenai gerakan perempuan.

Nggak hanya itu, Perempoean Bergerak juga sukses mengajak perempuan, tak hanya di Sumatera Utara tapi juga di daerah lain seperti Jawa dan Sumatera Barat dan bahkan mancanegara, untuk bangkit dan memperjuangkan nasibnya.

(Foto: Museum Kominfo)

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!