Aktivis Perempuan: Hari HAM Jangan Hanya Jadi Gimmick Perayaan Tahunan

Aktivis perempuan menyatakan, hari HAM yang diperingati setiap 10 Desember jangan hanya jadi gimmick perayaan tahunan

Hari Hak Asasi Manusia yang diperingati setiap 10 Desember, harusnya tidak hanya jadi gimmick perayaan tahunan .

Coba lihat kasus-kasus kekerasan yang banyak terjadi, misalnya krisis iklim, kerusakan lingkungan, serta pelemahan demokrasi dan menyusutnya ruang politik perempuan mengakibatkan situasi penindasan hak dan seksualitas perempuan semakin berlapis.

Lapisan kekerasan yang dialami perempuan itu antara lain mewujud dalam kekerasan seksual dan paradigma sosial maupun negara yang menyasar seksualitas perempuan, kekerasan perempuan akibat dampak krisis iklim dan kerusakan lingkungan, kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik agraria, dan peminggiran serta pembungkaman perempuan dalam konteks politik.

Untuk itu Solidaritas Perempuan menggalang dukungan publik untuk mendesak pemerintah melindungi hak asasi perempuan serta menghapuskan segala diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di berbagai konteks.

Hal itu terungkap dalam Konferensi pers bertajuk “Hari HAM: Quo Vadis Tanggung Jawab Negara atas Perlindungan Hak dan Seksualitas Perempuan” yang dihelat Solidaritas Perempuan pada Kamis (9/12/2021) menyambut hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang dirayakan setiap 10 Desember.

Terdapat dimensi struktural pada tiap kasus kekerasan terhadap perempuan. Perempuan secara lebih luas seringkali tidak hanya dipinggirkan dalam proses-proses pengambilan keputusan dan pembangunan sebagai akibat dari pandangan patriarkis dan kapitalis yang berorientasi pada produksi secara masif. Pandangan ini sering menyebabkan kerusakan alam yang masif pula.

Novita Indri dari Extinction Rebellion Indonesia mengatakan, kerusakan lingkungan yang terjadi dan peran perempuan berkaitan sangat erat. Keduanya bukan dua hal yang harus dipisahkan, sebaliknya harus didekatkan dan dikaitkan.

“Ketika peran perempuan dilibatkan dalam mengambil keputusan dalam perlindungan dan penjagaan lingkungan sekitarnya, maka lingkungan itu akan baik. Sebaliknya, jika perempuan dieksploitasi, dikriminalisasi, dan juga tidak diberikan hak untuk bicara serta tidak diberikan akses untuk melindungi sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Maka kerusakan lingkungan itu akan sangat jauh lebih besar dan cepat rusaknya,” ujarnya.

Sementara Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI menyebutkan kerusakan lingkungan adalah bagian paling dasar dari rantai kekerasan terhadap perempuan. Sementara sumber daya pangan dan lingkungan sudah rusak karena eksploitasi dan pembangunan yang dilakukan tanpa melihat dampak yang ditimbulkan. Akhirnya, peran perawatan dilekatkan pada perempuan dan memaksa mereka untuk menempati dan melakukan kerja-kerja yang rentan terjadi kekerasan untuk melanjutkan keberlangsungan hidup keluarga dan komunitasnya.

“Persoalan ketidakadilan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber penghidupan yang kemudian akan berdampak pada bencana dan ekologis, dan kemiskinan. Pada pokoknya krisis dimensional itu adalah persoalan struktural, yang kemudian lahir dari satu sistem yang salah,” ungkapnya.

Di sisi lain, demokrasi prosedural yang selama ini diterapkan tidak cukup untuk menjawab persoalan politik perempuan dan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Lebih dalam, perspektif patriarkis dan paradigma kapitalis yang teroperasionalisasi dalam proses-proses politik terbukti justru  memarjinalisasi dan bahkan memicu kekerasan terhadap perempuan.

“Negara tidak membuat satu kebijakan afirmasi yang cukup powerful untuk memastikan bahwa perempuan itu bisa terlibat di dalam proses-proses pengambilan keputusan. Ketentuan tentang 30% kuota perempuan di parlemen pun juga tidak efektif,” jelas Era Purnama Sari dari YLBHI.

Bahkan menurut Tanti Herida dari Koalisi Perempuan Indonesia, realisasi keterwakilan perempuan di parlemen maupun di lembaga pemerintahan semakin lama justru semakin turun. Kalaupun ada perempuan yang duduk di legislatif, mereka bukan sebagai organisatoris tetapi lebih pada fungsi administrative.

Ini karena political will partai politik untuk melibatkan perempuan sebagai organisatoris masih setengah hati. Gerakan perempuan ditantang untuk bisa mendobrak budaya politik parta yang elitis dan sentralistik serta mengubah budaya politik agar memberi ruang yang lebih besar pada kader politik perempuan.

Minim respon terhadap akar fundamentalisme

Tanty menambahkan, ideologi patriarki tersosialisasi dalam masyarakat karena mendapat legitimasi dalam beberapa aspek kehidupan, baik agama, kepercayaan, maupun beragama.

“Seksualitas perempuan dipermasalahkan dan dibatasi baik dalam konstruksi yang dilanggengkan dalam masyarakat, ditambah dengan latar belakang budaya yang menoleransi kekerasan terhadap perempuan dan konstruksi sosial yang melanggengkan objektifikasi perempuan,” ujarnya.

Budaya dan konstruksi sosial ini, menurut Tanty, perlu dibongkar dan diubah. Dan, ini menjadi tanggung jawab Negara, ini karena Negara berkewajiban memenuhi, melindungi dan menghormati hak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Sayangnya, hingga saat ini negara tak kunjung menghasilkan kebijakan yang dibutuhkan perempuan, justru menghasilkan kebijakan yang bersifat diskriminatif, Pemerintah juga terkesan tidak menunjukan respon serius menyikapi akar persoalan dari menguatnya fundamentalisme.

Langkah yang diambil pemerintah sejauh ini adalah membubarkan kelompok fundamentalis. Padahal, Fundamentalisme sebagai paham/pemikiran, tidak bisa dihilangkan hanya dengan pembubaran kelompok fundamentalis. Sementara pembubaran diskusi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas dibiarkan.

“Kita perlu melihat, apakah alasan di baliknya sungguh-sungguh untuk menjaga keberagaman, atau meniadakan kelompok yang dianggap oposisi, seiring dengan kriminalisasi aktivis dan tindakan represif negara lainnya,” tegas Dinda Nur Anisa Yura dari Koalisi Perempuan.

Menutup diskusi itu, Dinda mengungkapkan bahwa hak asasi manusia (HAM) diakui di konstitusi. Jadi jangan sampai HAM itu hanya gimmick yang diperingati setiap tahunnya namun tidak ada langkah-langkah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang sudah terjadi. Pun tidak ada langkah serius untuk membangun sistem, kebijakan dan pembangunan yang berorientasi pada hak asasi manusia.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!