Media Lakukan Labeling Pada ‘Pelakor’ di Serial ‘Layangan Putus’

Media melakukan labeling pada pelakor di serial "Layangan Putus." Mulai saat ini, mari kita berhenti memakai istilah “pelakor”. Sebab, tidak ada juga istilah tandingan bagi laki-laki tukang selingkuh atau perebut istri orang.

Buat saya, serial “Layangan Putus” itu menarik, cukup proporsional dalam ceritanya. Cerita yang menarik ini juga ditambah akting bagus pemainnya yang diperankan Reza Rahadian (Aris), Putri Marino (Kinan) yang memikat, juga penampilan Anya Geraldine (Lidya).

Namun yang justru bermasalah adalah media, karena media justru memberikan labeling pada istilah pelakor ketika menulis serial ini

Masyarakat saat ini ramai membicarakan serial “Layangan Putus” yang tayang di WeTV . Serial film yang diangkat dari novel kisah nyata karya Mommy ASF ini, berhasil mencuri perhatian publik. 

Berbagai pemberitaan pun mulai banyak berseliweran di media online dan media sosial. Cuplikan adegan film juga bertebaran di TikTok, Instagram, Facebook dan media lainnya. Termasuk, meme yang diparodikan dalam banyak versi. Singkatnya, film ini sukses membuat emosi para penonton pecah. 

Sampai teman saya suatu waktu pernah bilang, “nonton film layangan putus bikin darah rendahku jadi darah tinggi, emosi sekali saat menontonnya.”

Dari tayangan tersebut, kian hari, media justru lebih banyak menyorot pada stigma “pelakor” atau perebut laki orang yang dilekatkan kepada sosok perempuan bernama Lidya Danira yang diperankan oleh Anya Geraldine. 

Di salah satu berita misalnya, ada yang secara gamblang memuat judulnya seperti ini:

 “5 Pose Seksi Anya Geraldine, Si Lidya Danira Pelakor Layangan Putus Yang Menggoda.”

Ada juga artikel lain dengan judul “Curhat Pelakor Layangan putus Versi Novel: Kita Enak Dapat Banyak Pahala.”

“Sukses Perankan Pelakor, Anya Geraldine Beberkan Ancaman yang Didapatnya.”

Sejujurnya, merinding bulu kuduk saya saat membacanya. Stigma “pelakor” yang dilekatkan pada perempuan, seringkali dibarengi dengan anggapan bahwa perempuan itu penggoda, bukan “perempuan baik-baik” dan perempuan jahat yang suka merebut hak milik orang lain. 

Kebencian terhadap perempuan atau misoginisme ini bahkan, tak jarang seolah mengajak sesama perempuan untuk duel atau bersaing. Sehingga, banyak yang luput melihat permasalahan dan musuh sesungguhnya yaitu akar kultur patriarki dan relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan.  

Sebagai gambaran dalam membaca fenomena yang terjadi, saya juga mencari berita atau artikel dengan keyword “Aris tukang selingkuh” melalui mesin pencarian Google. Artikel yang muncul diantaranya berjudul:

“Mas Aris tolong hentikan sebelum rumah tangga yang lain berantakan.”

Selain itu juga ada artikel berjudul, “Komentar Sinis Reza Rahadian Untuk Karakternya di Serial Layangan Putus.”

Tak ada istilah laki-laki perebut kasih sayang orang, yang ada hanya istilah Pelakor. Kondisi ini, jadi membuat saya teringat pada kalimat Mas Nur Hasyim dari Aliansi Laki-laki Baru yang berbunyi:

 “Ketika terjadi perselingkuhan perempuan disebut ‘pelakor’. Ketika terjadi kekerasan seksual perempuan disebut penggoda. Ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)  perempuan disebut nggak becus ngurus rumah tangga. Laki-laki selalu invisible (tak terlihat) dan invisibilitas laki-laki adalah privilese”.

Perempuan lagi-lagi jadi korban di Media

Perempuan selalu mengalami reviktimasi alias menjadi korban berulang-ulang. Sedangkan laki-laki sering kali terbebas dari hukuman sosial masyarakat, meskipun dia sebagai subjek aktif dalam kasus perselingkuhan. Kerap kali, yang disalahkan dan mendapat stereotip negatif hanya perempuan saja. 

Padahal di dalam kasus perselingkuhan pelakunya beragam, tidak tunggal seragam. Kedua belah pihak memiliki peranan yang akhirnya menyebabkan ada di situasi tersebut. Maka, semestinya memang tidak bijak jika label negatif sebagai aktor atau penyebab perselingkuhan hanya disematkan kepada perempuan saja.

Situasi ini lantas juga menggiring media untuk memiliki pola pikir bahwa perempuan dianggap selalu salah, yang sebenarnya.  

Bagi perempuan yang menjadi selingkuhan akan menanggung hukuman sosial sendirian dengan berbagai hujatan seperti penggoda laki-laki, “perebut” suami orang, atau perusak rumah tangga orang lain. Sedangkan perempuan yang diselingkuhi, dia akan “dihantui” bahwa seolah dirinyalah yang memiliki banyak kekurangan di mata suami atau laki-laki yang bersamanya. 

Tentu saja, kondisi ini akan menyerang keberhargaan diri perempuan. Dalam diskusi bersama Komunitas Perempuan Berkisah yang disampaikan oleh Kak Yuliana Martha dijelaskan, kasus perselingkuhan pada perempuan bisa lebih rentan mengalami luka batin yang dalam. Sehingga, dia akan memiliki sikap rendah diri dan sulit meninggalkan hubungan beracun dan terjebak pada hubungan toksik yang menyakitkan.

Kondisi ini tidak hanya dialami oleh perempuan yang diselingkuhi, tetapi juga perempuan selingkuhan. 

Bisa jadi, dia juga akan merasa rendah diri karena telah melakukan perbuatan tidak baik. Disinilah, semestinya menjadi titik dimana kita perlu percaya bahwa perempuan korban kekerasan akibat perselingkuhan memiliki daya untuk menyintas dan keluar dari luka batin yang dialaminya. 

Lalu, bagaimana kita bisa melawan stigma “pelakor” di media?

Tak mudah memang menjadi perempuan termasuk kaitannya dengan konteks perselingkuhan. Baik ketika dia melakukan perselingkuhan atau pun dia menjadi korban yang diselingkuhi. Stigmatisasi sudah begitu mengakar pada perempuan akibat patriarki salah satu yang paling banyak disorot adalah “pelakor”.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melawan stigma pelakor agar tidak menjadi bulan-bulanan di media

Pertama, mulai saat ini, mari kita berhenti memakai istilah “pelakor”. Sebab, tidak ada juga istilah tandingan bagi laki-laki tukang selingkuh atau perebut istri orang. Memang kelihatan sepele, tetapi kita bisa ikut serta membentuk kultur budaya di masyarakat yang tidak diskriminatif. 

Kedua, mari kita berhenti untuk mendukung konten online di media dan media sosial yang notabene banyak viral tentang “pelakor”. Berhenti membantu mengampanyekan istilah “pelakor”. Sebab banyak konten yang menggambarkan bahwa laki-laki di antara dua perempuan seolah diperebutkan dan dia (laki-laki) tidak bersalah. Namun, itu berlaku sebaliknya pada perempuan: perempuan tetap salah. 

Konten semacam ini, parahnya bahkan bisa memantik kebencian satu sama lain para perempuan. Ini jelas-jelas konten toksik. Jadi, mari berhenti menaikkan traffic pada konten-konten seperti ini.

Terakhir, mari jadi agen transformasi yang berani bicara untuk melawan stigma “pelakor”. Bukan untuk membela si “pelaku” tetapi untuk membela sesama perempuan. 

Ingat baik-baik, kita ikut melawan stigma “pelakor” bukan berarti kita mendukung atau menormalisasi perselingkuhan. Sebab, kita tetap harus meng-highlight perselingkuhan sebagai bentuk kekerasan, apalagi jika dilakukan dalam komitmen rumah tangga atau pernikahan. 

Dengan kita ikut melawan stigma “pelakor”,  berarti kita juga sedang melawan kultur patriarkis yang senang menyalahkan perempuan saja. Kenapa tidak, kita ikut berdiri bersama perempuan melawan penindasan dan diskriminasi berlapis yang telah langgeng selama ratusan tahun yang menimpa perempuan. 

Jadi, mari kita tidak lagi menambah deret panjang diskriminasi terhadap perempuan dengan menyebutnya sebagai “pelakor”. Beneran, itu sudah kuno!

Fadhel Fikri

Mahasiswa ilmu filsafat yang juga Co-Founder Sophia Institute Palu.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!