Pelecehan Seksual di Tempat Kos: Tak Ada Aturan di Kos, Korban Sulit Dapat Keadilan (2)

Sejumlah perempuan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kos, mereka ada di Yogyakarta, Jember dan Jakarta. Belum adanya aturan yang tegas mengatur soal kekerasan seksual di kos, membuat korban sulit menuntaskan kasusnya. Tim kolaborasi liputan kekerasan seksual di kos yang terdiri dari Konde.co, Jaring.id, Koran Tempo, Suara.com, dan IDN Times melakukan peliputan mendalam soal ini. Cerita ini kami bagikan dalam 2 artikel terpisah selama dua hari: 24-25 Januari 2022.

Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para penyintas kekerasan seksual. Beristirahatlah sejenak saat Anda merasa tidak nyaman saat membaca artikel ini dan segera hubungi layanan konseling psikologis apabila memiliki tendensi membahayakan keselamatan diri sendiri.

Seorang mahasiswi di Yogyakarta, Andini mengalami dugaan pemerkosaan oleh kakak tingkat kuliahnya. Kejadian ini terjadi di tempat kos. Trauma korban yang masih membayang, semakin ironis ketika menghadapi realitas penanganan kasus Kekerasan Seksual (KS) yang begitu berliku. Baik karena minimnya ruang aman hingga bolongnya implementasi aturan.  

Sekitar tahun 2019 lalu, Andini baru saja merantau sebagai mahasiswa baru (maba) di Yogyakarta. Setelah menuntaskan ospek, Ia mulai aktif di kegiatan kampus. Dia berkenalan dengan beberapa kawan, salah satunya, kakak tingkat di kegiatan peminatan yang dia ikuti. 

Suatu hari, satu laki-laki kakak tingkatnya itu menelepon Andini untuk mengajaknya nonton. Sempat Andini tolak, karena ia sedang berada di luar kota.  Lalu di lain kesempatan, Andini akhirnya mengiyakan ajakan nonton bareng itu. Mereka nonton bertiga dengan salah seorang teman lain. 

Acara nonton itu ternyata melebihi “jam malam” yang ditetapkan kos Andini yaitu hanya sampai pukul 21.00 WIB. Lebih dari itu, kosan Andini sudah dikunci oleh pemilik kos. Mau nginep di kosan teman perempuan, dia masih belum kenal dekat yang bisa ditumpangi bermalam. 

Malam itu, kakak Andini yang berada di satu kampus yang sama pun, sedang tak bisa dihubungi. Kunci kosan yang biasanya diletakkan di rak sepatu pun, dia bawa. Tak ada pilihan lain, Andini akhirnya menginap di kos kakak tingkat itu bersama temannya. 

Sampai nyaris subuh, Andini bersama seorang teman tertidur di teras indekos. Setengah sadar, Andini dibangunkan untuk beralih ke tempat tidur di dalam kos karena di luar banyak nyamuk. Kawan Andini ternyata juga sudah tidur di dalam duluan. 

Pagi hari, Andini bangun dengan perasaan janggal. Dia yang ngantuk berat semalam, merasa ada yang aneh dan dirinya bertanya-tanya: apa yang semalam kakak tingkatnya itu lakukan? Andini antara sadar dan tak sadar, merasa ditindih oleh badan kakak tingkatnya itu. Tapi, dia masih belum yakin. 

“Aku tidak berani ngomong apakah itu iya, dia melakukan hal itu (aktivitas seksual non-konsensual) atau enggak,” ujar Andini saat ditemui di Kawasan Yogyakarta kepada Tim Kolaborasi pada Sabtu (4/12/2021). 

“Kayaknya dia melakukan itu, cuma di dalam kondisi tidur, bangun-bangun biasa,” imbuhnya. 

Setelah kejadian itu, kakak tingkat Andini tersebut ternyata masih tetap berusaha menghubunginya. Hingga suatu momen, kakak tingkatnya itu meminta bantuan ke Andini, berdalih atas kepentingan organisasi yaitu mengantar peralatan kegiatan kampus. Sekalian, mampir mengantarkan barang ke salah seorang teman. 

Andini tidak enak menolak permintaan itu, dikarenakan kakak tingkatnya itu menyebut-nyebut atas ‘kepentingan organisasi’. Lagi pula, pikirnya saat itu juga masih siang bolong. 

Sepanjang perjalanan, Andini sebetulnya tak begitu familiar dengan lokasi yang dilaluinya. Hal yang dia tahu, dia melewati jembatan, jalan raya besar, hingga masuk ke gang kecil menuju arah ke sebuah area kosan laki-laki di Yogyakarta. 

Nihil orang. Di indekos yang katanya milik teman kakak tingkat Andini itu, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada beberapa motor yang terparkir di depan indekos. 

Tiba-tiba, Andini ditarik ke dalam kamar. Kakak tingkatnya itu, memaksa Andini untuk melakukan hubungan seksual. Andini menolak. Dia bahkan sempat bilang dirinya sedang menstruasi, namun kakak tingkatnya itu tak bergeming. Dia tetap memaksanya. 

“Dia kunci pintu, terus maksa aku (melakukan hubungan seksual non-konsensual), aku kepikiran kemarin itu beneran,” ucap Andiri, yang kala itu mengalami freezing dan tidak kuasa untuk berteriak dan melawan.  

Belakangan dia tahu, freezing yang dia alami itu adalah sebuah respons tubuh sebagai bagian trauma dari latar belakangnya sebagai anak korban KDRT yang seringkali mengalami pemukulan dan tak kuasa melawan. 

Selain penderitaan fisik akibat dugaan perkosaan, Andini juga begitu kecewa pada hari itu. Dia merasa dibohongi oleh kakak tingkatnya itu. Batin Andini campur aduk, antara ingin ‘berteriak’, kaget dan kebingungan. 

“Aku shock, ini namanya apa? Ini namanya diapain kayak gitu. Ini baru banget (aku alami), aku baru ‘disentuh’,” kata Andini. 

Namun sedihnya, Andini tak bisa mengungkapkannya dan tidak bisa begitu saja enyah dari lingkaran pertemanan dengan orang itu. Sebab mereka berada di satu kegiatan kampus. Terlebih, posisi kakak tingkatnya itu cukup berpengaruh. 

Usai kejadian itu, Andini memang masih ada di aktivitas kampus. Namun, dia memilih lebih banyak diam dan selalu berusaha menghindari kakak tingkatnya itu. 

Tak berselang lama, kejadian yang jadi ‘mimpi buruk’ Andini itu terulang kembali. 

Terduga pelaku adalah kakak tingkat Andini yang lain. Namun kali ini tidak satu aktivitas peminatan di kampus, melainkan senior di fakultas. Kejadian yang masih terjadi di indekos ini, modusnya nyaris serupa yaitu mampir ke kosan untuk mengambil barang. 

Andini menganggap dia teman biasa, makanya tak ada kecurigaan apapun. Hingga akhirnya, laki-laki itu mengajak Andini masuk ke dalam indekos eksklusif yang dia miliki, lalu mengajaknya melakukan hubungan seksual secara non-konsensual. 

“Mau nggak?,” ujar laki-laki itu.

“Nggak mau,” Jawab Andini yang kala itu sudah mau menangis. Dia sampai menepi ke pojokan kamar. Namun, kakak tingkatnya itu terus memaksanya. 

“Mau ya, mau yaa..,” rayunya. 

“Pakai ini ya (menunjukkan kondom),” imbuh laki-laki itu. 

Andini begitu kaget, karena ternyata laki-laki itu sudah mempunyai satu pack kondom di lemarinya. Namun dia mengelak jika dirinya sudah sengaja menyiapkan untuk melakukan tindakan itu. 

Kata tidak mau nyatanya tidak cukup bagi laki-laki itu, dia tetap memaksa Andini untuk melakukan aktivitas seksual. 

Andini kembali mengalami freezing. Namun, dengan ketakutan dan kaget yang lebih besar. Trauma yang dialaminya menjadi berlipat-lipat atas dugaan pemerkosaannya yang dialaminya secara beruntun. 

Trauma dan Berlikunya Jalan Menuju Keadilan

Selama tak kurang dari empat bulan kemudian, Andini yang semula periang berubah drastis. Dia banyak diam, mengasingkan diri dan diselimuti ketakutan setiap hari. Dia juga mengalami gejala-gejala yang mengarah ke reaksi psikosomatis tubuh. 

Dia sering pula mengigau dan menangis ketika tidur. Dia bisa tiba-tiba ketakutan dan tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Bukan hanya dampak ke fisik, psikisnya pun terguncang. Beberapa kali bahkan dia juga melukai diri sendiri (self harm).

“Aku nangis dan ketakutan. Aku mikir, (aku salah) karena aku diam dan nggak marah-marah (saat kejadian itu). Aku mikir apa ini salahku?,” kata Andini yang mengalami traumatis. 

Dirinya juga jadi lebih sering terbangun saat tidur dan sering menangis saat tidur sejak kejadian itu. 

Upaya mencari keadilan atas kekerasan seksual yang dialaminya di tempat kos yang dilakukan kakak-kakak seniornya itu, bukannya tak dilakukan Andini. 

Sekitar akhir 2019, Andini mendatangi Rifka Annisa Women Crisis Center (RAWCC) di Yogyakarta. Konsultasi awal itu menyimpulkan, kejadian yang menimpanya itu masih sulit dibuktikan secara hukum, dikarenakan tidak adanya bukti. 

“Di dalam chat dia (terduga pelaku) ngajak main biasa, nggak genit di chat (tidak ada KBGO). Harusnya kemarin langsung visum,” ucap Andini. 

Keterangan dari pendamping hukum RAWCC membuat Andini memilih pendampingan psikologis.  

Dia juga sempat dihubungkan dengan salah seorang dosen di kampusnya yang selama ini konsen dalam membantu kasus kekerasan seksual. Namun jalan yang ditempuh pun tak mudah. Lagi-lagi ketidakcukupan bukti yang menjadi ‘sandungan’ bagi korban dugaan pemerkosaan seperti Andini untuk melaporkan dan mendapat keadilan dari kasusnya. Sebab kasusnya berlangsung di ruang privat dan tiba-tiba. 

“(Untuk dosen) Dia mau bantu, asal punya data lengkap. Karena Kebantu banget dari ruang aman untuk ngobrol ke dosennya itu. Tinggal mengumpulkan bukti chat, (tapi) udah nggak ada semua, bingung harus ngapain,” ujar Andini.

Selama menjalani proses ini, Andini tak mempunyai support system yang kuat. Hanya ada seorang teman yang akhirnya mau mendengar dan menemani Andini untuk ‘ke sana- ke mari’. Dikarenakan masih terbilang baru di kampus, mereka berdua pun, belum memiliki kapasitas informasi yang cukup. 

Terlebih di kasusnya, ada ketimpangan relasi kuasa yang cukup besar. Bisa dibilang, Andini yang masih tergolong baru sebagai mahasiswa di kampus, sedangkan terduga pelaku adalah senior yang memiliki jabatan di kampus serta lingkaran pertemanan yang. Terduga pelaku juga disebut Andini, mempunyai “citra baik”.

“Kita kemana-mana berdua doang, posisinya aku di kampus dipojokkin, dia (pelaku) punya kekuasaan, solidaritas (sesama teman pelaku juga kuat),” lanjutnya. 

Hal yang menyedihkan lagi, kata Andini, kampus termasuk fakultas juga terkesan “tutup mata” terhadap kasus kekerasan seksual. Bukan saja yang dia alami, namun kasus-kasus lainnya yang seolah tak jarang terjadi. Meski sudah berusaha di kampus, Andini dan teman yang mendampinginya pun, akhirnya tak bisa berbuat banyak karena lemahnya dukungan sistem dan belum adanya mekanisme yang pro terhadap korban. 

“Dapat bantuan dari luar, pas mau naik ke kampus, nggak punya teman. Berdua itu kurang banget, kita bukan siapa-siapa, kami mahasiswa biasa,” kata Andini. 

Baca : Bapak Kos yang Tak Mengayomi

Wadah pendampingan dari mahasiswa yang diikuti Andini, seiring berjalannya waktu juga tidak menjadi aman bagi Andini. Di tempat itu, justru dia masih menjumpai pelaku berperan sebagai anggota. Bahkan, salah seorang yang konon menjadi pelopor terbentuknya wadah pendampingan yang masih seumur jagung kala itu. 

Andini sempat menyampaikan kondisi yang dialaminya ke teman di wadah pendampingan tersebut. Usai itu, pelaku sempat dikeluarkan dari grup pendampingan. Mengejutkannya lagi, investigasi dari wadah pendampingan itu menunjukkan bahwa pelaku itu memang sering melakukan tindakan kekerasan seksual di kampus, namun tak juga diproses

Belum sampai diproses pelaku itu, tak berapa lama kemudian, Andini mendapati kabar bahwa terduga pelakunya ini akan segera sidang skripsi. Kondisi ini sempat membuat Andini nyaris putus asa karena kasusnya belum sempat diproses, sementara terduga pelaku bisa ‘berkeliaran bebas’.  

Sedangkan untuk melaporkan hal ini ke tempat kos dimana kejadian tersebut terjadi, seperti sulit karena umumnya tempat kos tak punya peraturan soal pelecehan atau kekerasan seksual. Kos umumnya hanya mengatur soal ketertiban, keamanan, kesopanan dan stop narkoba.

Tak hanya Andini di Yogyakarta, di Jawa Timur, ada juga mahasiswi yang saat ini juga berjuang untuk mendapatkan keadilan atas pelecehan seksual yang dialaminya, yaitu Jelita (bukan nama sebenarnya). Dia mahasiswa salah satu Universitas di Jember Jawa Timur yang mengalami pelecehan oleh pemilik tempat kos dengan mengelus dahi dan mencium secara non-konsensual.  

Jelita sempat mendorong ketika laki-laki itu mau menciumnya lagi. Dia kemudian melawan menggunakan helm, lalu kembali mendorongnya. Jelita berlari ke depan indekos dengan tergopoh.  

“Abang (terduga pelaku) itu nyamperin di gerbang kos, tangannya gini  (meminta tutup mulut) sama bilang ‘jangan bilang-bilang, terus tangannya gini (emot meminta maaf),” katanya kepada Tim Kolaborasi, Sabtu (15/1/2022).  

Usai kejadian itu, terduga pelaku sempat menghubungi Jelita dan meminta maaf melalui chat WA. Dalam penuturannya, dia mengaku mengalami maag sejak pagi sehingga berdalih otaknya ‘tidak connect’. Dia juga berjanji tidak akan mengulangi kembali dan meminta korban untuk tetap tinggal di kos itu.

Meski begitu, Jelita masih mengalami trauma akibat pelecehan yang dia alami. Saat ini, dia tengah menjalani proses trauma healing serta pendampingan untuk pelaporan terduga pelaku ke Pusat Pelayanan Terpadu Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (PPT KTPA) dengan didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum Jentera.

 

Bolong-bolong Aturan Kekerasan Seksual di Indekos

Kekerasan seksual di tempat kos tak bisa ditampik, banyak terjadi. Di kawasan Yogyakarta misalnya, Data dari Rifka Annisa Women’s Crisis Center (RAWCC) terbaru menunjukkan,  tempat tinggal yang termasuk kos dan asrama menjadi lokasi kejadian kekerasan seksual tertinggi (41%). Baru kemudian, fasilitas umum (20%), lokasi magang/KKN (19%), rumah dosen (14%) dan fasilitas kampus (17%). 

Hal serupa juga ditunjukkan oleh riset HopeHelps UI pada 2020, mayoritas kekerasan seksual yang dilaporkan berada di luar kampus (total 26 kasus). Dengan rincian, 13 kasus di indekos/ apartemen, 2 kasus di tempat korban melakukan kegiatan kemahasiswaan, 2 korban di tempat magang, dan lainnya di tempat makan hingga jalanan umum. 

Meski indekos sudah jadi darurat tempat kekerasan seksual, aturan yang menjamin pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pun masih banyak bolongnya. 

Di level pemerintah daerah di kabupaten Sleman Yogyakarta misalnya, aturan soal indekos pun hanya sebatas mengatur ketertiban umum yang didalamnya mencakup larangan dan kewajiban. Spesifiknya, hanya menyoal larangan menerima tamu lawan jenis dan bertindak asusila. Intinya semua hanya dihubungkan dengan masalah moral yang mungkin justru merugikan perempuan 

Sementara, aturan yang memberi perhatian utamanya bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual secara konkret bagi penghuni indekos masih belum digaungkan. Di sisi lain, Standar Operasional/ SOP yang semestinya disiapkan dari hulu ke hilir soal kekerasan seksual pun, juga masih nihil. Apalagi jika kasusnya justru melibatkan “orang dalam” seperti induk semang indekos. 

“Saya belum menemukan. Peraturan itu seharusnya lebih sensitif terhadap permasalahan kekerasan maupun pelecehan seksual,” ungkap Direktur RAWCC, Defirentia One Muharomah, Rabu (12/1/2022). 

Persoalan kekerasan seksual yang sering disandingkan dengan tindakan kesusilaan, Defirentia memandang, justru bisa berakibat blunder. Dikarenakan tidak berdasar pada perspektif korban, tapi hanya sebatas moral. Kemudian dengan serta merta, pelaku usaha indekos membuat kos syar’i dan tidak mencampur laki-laki dan perempuan. 

“Masalahnya kan bukan itu, setertutup apapun sebuah kos-an, kalau faktor risiko ketimpangan relasi ada, bisa juga terjadi kekerasan seksual di situ. Aturan yang memuat ini, belum sampai sana,” kata Defirentia. 

Tak menjelaskan rinci, Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo mengatakan pencegahan kekerasan seksual di indekos selama ini memang mengacu pada Perda setempat. Namun balik lagi, dia bilang, penanggulangan KS di indekos sudah semestinya menjadi tugas pemilik kos guna memantau penghuninya.  

Pihaknya pun,  juga masih melihat persoalan pencegahan kekerasan seksual bisa dilakukan dengan pemisahan antara kos laki-laki dan perempuan. 

“Kalau kosnya keluarga, bisa memantau. Kan sudah ada Perdanya sebetulnya. Dipisahkan juga untuk kos-kosan laki-laki dan untuk perempuan,” terangnya kepada Tim Kolaborasi, Rabu (5/1/2022).

Kampus Harus Proaktif: SOP Jelas, Terukur dan Sanksi Tegas 

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/ RUU TPKS masih terus diupayakan agar bisa mengakomodir hukum yang adil bagi korban kekerasan seksual. Sementara, aturan Pemda juga belum banyak bisa diandalkan karena belum terukur implementasi dan efektivitasnya. Maka, salah satu harapan yang bisa digalakkan adalah aturan di kampus bagi kekerasan seksual (KS) di indekos. 

Direktur Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (KAHAM UII) Yusril Asadudin Mukav mengatakan, asal pelaku atau penyintas asal sivitas kampus, maka materi atau aturan kampus semestinya bisa menjamin pencegahan dan penanganan KS di indekos. 

Kampus menurutnya, harus memiliki alur mekanisme pelaporan yang jelas dan mudah diakses. Selain itu, ada satu unit layanan terpadu (ULT) dalam upaya pencegahan dan penanganan KS. Terutama, pemulihan bagi korban hingga sanksi bagi pelaku. 

“Tegas, jelas, terukur dalam bentuk panduan lengkap buat perguruan tinggi. Supaya tidak ada tumpang tindih antara mekanisme dan kewenangan,” ujar Yusril pada Kamis (23/12/2021). 

Yusril juga menekankan, seluruh elemen kampus juga harus teredukasi bahwa yang terpenting adalah korban. Bukan sekadar narasi ‘solidaritas sosial’ dengan dalih ‘demi nama baik kampus’ yang acapkali membungkam suara-suara korban. Hingga, akses keadilan yang semakin tertutup. 

Upaya-upaya sosialisasi yang masif dan edukasi luas untuk keadilan bagi korban KS, menurutnya, mendesak dilakukan. Kampus bisa mengambil peran termasuk di ekosistem kampus serta Sumber Daya Manusia/ SDM yang ada. 

“Jika kampus memiliki standing point yang jelas dan tegas atas kasus kekerasan seksual, maka kampus akan jelas memihak pada keadilan,” pungkasnya. 

Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi dari Tim Liputan Kekerasan Seksual di Indekos yang terdiri dari Konde.co, Jaring.id, Koran Tempo, Suara.com, dan IDN Times.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!