Transgender Berhasil Miliki KTP, Slogan ‘No One Left Behind’ Tak Cuma Sekadar Jargon

Sejak tahun 2011 sudah diperjuangkan, namun para transgender masih sulit mengakses Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tapi sejak tahun 2021 lalu, para transgender sudah bisa mengakses KTP. Ini membuktikan bahwa slogan “No One Left Behind” yang didengungkan Pemerintah, bukan cuma sekedar jargon.

Jika tak punya Kartu Tanda Penduduk (KTP), tamatlah hidup kita! Kondisi ini banyak terjadi pada siapapun yang tak bisa mengakses layanan publik gara-gara tak punya KTP. 

Padahal mengurus KTP bukanlah perkara mudah. Kondisi ini juga terjadi pada para transgender.

Sudah sejak tahun 2011, kepemilikan KTP diperjuangkan bagi para transgender, namun nihil hasilnya. Di jalan, mereka sering dipanggil ‘mas-mas’, belum ditambah lagi persoalan tak bisa mengakses apapun karena tak punya KTP, ini adalah kondisi yang lazim yang dialami transgender. 

Kelaparan dan kemiskinan juga banyak membuat transpuan dan trans laki-laki tidak mendapat bantuan dari pemerintah karena tidak memiliki KTP.

Dalam sebuah artikel Alvi di Konde, disebutkan bahwa transpuan yang mengurus KTP ada saja yang masih sering dipanggil ‘Mas-Mas’. Hal itu disebutkan Jenny, transpuan muda yang turut mengkoordinir para transpuan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Di DIY ada sekitar 17 transpuan yang telah terdata. Sebanyak 11 orang sudah mengantongi KTP baru, 4 orang masih dalam proses, sementara 1 orang meninggal dunia dan 1 orang sedang berada di camp assessment Dinas Sosial.

Sebagai orang di luar Yogyakarta, Nita juga pernah mengalami diskriminasi dari ketiadaan KTP. Misalnya saja, kala dia terkena razia, perlakuan yang diterimanya sebagai warga luar Jogja tidak sama. 

“Dendanya dinaikkan, habis itu 2 minggu ditahan. Kalau beberapa kali tertangkap, katanya bisa dilempar keluar Jogja. Belum pernah ada sih kasus seperti itu, tapi jangan sampai lah!” kata Nita. 

Diskriminasi karena ekspresi gender selama pandemi dapat dilihat terjadi di beberapa tempat. Diskriminasi tersebut termasuk berasal dari ketua RT yang menolak memberikan bansos atau menolak memberikan surat keterangan domisili pada transgender (waria) sebagai syarat menerima bansos.

Namun siapa sangka, di tahun 2021 hingga saat ini, perjuangan Organisasi Suara Kita agar para transgender bisa mengakses KTP, membuahkan hasil. Ini juga membuktikan bahwa slogan No one left behind yang selama ini didengungkan pemerintah bukan hanya sekedar jargon. Bagaimana ini bisa terjadi?

Organisasi Suara Kita bersama dengan komunitas transpuan Jabodetabek dan LSM Indonesia AIDS Coalition, sejak April 2021 lalu dengan serius melakukan pendataan, pertemuan-pertemuan dengan pemerintah melalui Dirjen Dukcapil dan Kemendagri agar memberikan fasilitas dalam proses perekaman data dan pembuatan KTP elektronik bagi komunitas transpuan. 

Hingga sekarang sudah setahun Perkumpulan Suara Kita bergerak dalam program advokasi pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi kelompok transgender.

Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita, Bambang Prayudi mengatakan, langkah selanjutnya yang ditempuh Suara Kita saat itu adalah bersama-sama komunitas transpuan mengumpulkan sebanyak 112 orang transpuan yang berminat mengurus KTP. Lalu mereka menyampaikan permohonan pendaftaran penduduk kepada Dirjen Dukcapil sejak 2 Juni 2021. 

Pada Juli 2021, Dirjen Dukcapil kemudian mengeluarkan Surat Edaran yang ditujukan kepada Disdukcapil Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia yang menegaskan bahwa transgender yang tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan atau Kartu Keluarga (KK) dapat dibantu oleh Disdukcapil setempat. 

“Ini merupakan kerja jaringan dengan berapa organisasi dan pendamping lapangan,” ujar Yudi dalam Peluncuran Laporan Advokasi KTP bagi Komunitas Transgender di Indonesia secara daring, Selasa (29/03/2022).

Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tertera dalam KTP menjadi nomor identitas penduduk yang bersifat unik, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia dan berlaku seumur hidup dan selamanya.  NIK ini menjadi penting karena menjadi alat identifikasi dan kroscek dalam mengakses layanan publik termasuk layanan kesehatan, serta program-program bantuan sosial pemerintah. Bukti fisik dari NIK ini juga tertera menjadi sebuah alat identifikasi fisik yang disebut dengan nama Kartu Tanda Penduduk/ KTP.

KTP menjadi alat identifikasi kependudukan resmi dan diperlukan guna menjadi alat verifikasi utama untuk mengakses bantuan sosial pemerintah, juga untuk mendapatkan akses ke vaksinasi COVID-19. Selain itu, NIK dan KTP juga sangat penting digunakan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota Jaminan Kesehatan Nasional/ JKN baik melalui skema Penerima Bantuan Iuran/ PBI maupun skema mandiri / pekerja.

Stigma dan Diskriminasi Transgender Urus KTP

UU tentang Hak Asasi Manusia menyebut kelompok masyarakat rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan terkait kondisi khususnya. Namun kenyataannya, penampilan waria atau transpuan yang secara fisik terlihat sebagai laki-laki tetapi secara perilaku dilihat sebagai perempuan seringkali memicu tindakan diskriminasi dan kekerasan.

Studi Arus Pelangi pada 2013 memperlihatkan bahwa transgender masih mendapat kekerasan fisik, bahkan dari aparat hukum. Sementara studi dari Human Right Watch pada 2018 menyatakan sejak 2016, angka kekerasan dan kriminalisasi terhadap kelompok tersebut makin tinggi.

Sebuah studi pada 2017 menunjukkan bahwa waria adalah kelompok transgender yang paling rentan mengalami diskriminasiTanpa memiliki pendidikan yang memadai dan KTP, mereka merantau sehingga sulit untuk mendapatkan pekerjaan tetap dan jaminan kesehatan. Urusan kesehatan menjadi salah satu hal paling krusial bagi waria. Warga negara hanya dapat mengakses layanan kesehatan dari BPJS Kesehatan BPJS yang murah bila memiliki KTP.

Situasi makin sulit buruk bagi waria lanjut usia (lansia). Sekitar 50%-60% waria lansia tidak memiliki kartu identitas. Di masa tua, waria umumnya hidup sendiri dan semakin sulit mencari pekerjaan. Bila memiliki e-KTP, waria dapat memiliki akses layanan kesehatan dan kesejahteraan lain yang selama ini sulit mereka dapat.

Ini juga menunjukkan bahwa akses pada lapangan kerja yang layak tak kalah penting untuk transgender. Sayangnya, tanpa KTP, waria banyak yang bekerja di sektor informal dengan jaminan kesejahteraan yang tidak jelas.

Perjuangan Pengurusan KTP 

Pengawas Perkumpulan Suara Kita, Alegra Wolter tak memungkiri, kerja-kerja advokasi KTP transgender ini tak lepas dari tantangan yang ada. Dari pendamping misalnya, masih kurangnya pemahaman terkait proses permohonan KTP termasuk strategi advokasi, pendataan. 

“Maka perlu adanya grup WA dan koordinasi pelatihan. Komitmen kerja, maka perlu adanya pendanaan untuk remunerasi waktu,” ujar Alegra dalam paparannya di kesempatan sama.  

Di lingkup Disdukcapil, menurutnya masih ditemukannya perbedaan pemahaman Disdukcapil tingkat Kab/Kota, yaitu terkait surat keterangan pindah domisili, surat keterangan RT/RW dan KK penjamin. Makanya perlu koordinasi kuat antara Disdukcapil, organisasi sipil dan masyarakat. Sedangkan di komunitas, faktor ekonomi komunitas transpuan masih jadi kendala. Makanya memerlukan dukungan finansial untuk transportasi dan kebutuhan proses registrasi KTP.

“Kebutuhan dana transportasi pengurusan surat-surat RT/RW, operasional pendamping maupun kegiatan penguatan kapasitas. Per 1 Oktober 2021, dana yang terkumpul untuk kegiatan ini sebesar Rp 37,4 juta dan pengeluarannya Rp 30,3 juta,” jelasnya. 

Kendati demikian, Alegra begitu mengapresiasi inisiatif para pendamping lapangan yang pro aktif dalam upaya advokasi KTP transgender. Misalnya saja, di Kota Banjar Jawa Barat ada Yuyun Juniar, seorang pendamping komunitas transgender di Kota Banjar yang membantu pengurusan KTP transgender yang melakukan koordinasi dengan pihak Disdukcapil atas inisiatifnya sendiri. 

Tak hanya itu, keberhasilan komunitas transgender kota Serang dipengaruhi oleh kegigihan sosok Mami Jenny yang selalu mensosialisasikan dan mengajak transgender Kota Serang untuk mengurus KTP. Awalnya hanya tiga orang transgender di kota Serang yang tertarik mengurus KTP dapat dengan mudah dilaksanakan. Namun berkat kerja keras, Mami Jenny dan kabar dari mulut ke mulut, hingga akhir bulan Oktober 2021 sudah ada 20 orang transgender yang mendapatkan KTP. 

“Mami Jenny tidak hanya mendampingi komunitas transgender kota Serang, tapi juga komunitas dari kab Serang,” kata dia. 

Ada pula kisah Echi, seorang pendamping dari Jakbar, yang  membantu komunitas transgender untuk mendapatkan BPJS kesehatan gratis atau penerima bantuan Iuran (PBI) melalui puskesmas Kebon Jeruk. Dia mengatakan puskesmas Kebon Jeruk sangat ramah dan tidak diskriminatif dalam melayani komunitas transgender. Ini tentunya, bisa menjadi contoh daerah lain dalam memberikan layanan KTP bagi transgender.  

Alegra kemudian merekomendasikan bahwa dalam pelaksanaannya, perlu pendampingan dan pelatihan yang lebih optimal. Meliputi, komunikasi koordinasi pendampingan komunitas dan pemerintah, kapasitas pendataan, layanan bantuan online, dan sosialisasi efektif misalnya berupa infografis dan video.

“Di pemerintah/petugas, perlu pelatihan profesionalisme adminduk, pengawasan publik, dan surat resmi/penjamin dari pemerintah,” imbuhnya. 

Meskipun masih banyak PR, Komisioner KOMNAS Perempuan, Andy Yentriyani mengapresiasi upaya advokasi KTP transgender ini. Ini tak lain, transgender selama ini sangat sulit dalam memperoleh haknya sebagai warga negara Indonesia (WNI) jika tidak adanya KTP yang menjadi basis dari semua data dan layanan kependudukan.

“Ini sebuah langkah maju. Kami sangat mengapresiasi upaya afirmasi ini menjadi lebih masif di berbagai daerah. Ini sebuah titik masuk sangat penting untuk melanjutkan advokasi multiaspek. Teman-teman bukan hanya sejahtera tapi mendayakan masyarakat,”katanya.

Sekretaris Dinas Dukcapil Provinsi Jabar, Indrastuti Chandra Dewi mengaku berkomitmen untuk memudahkan fasilitas pelayanan KTP bagi transgender. Caranya, melalui penciptaan regulasi dan SOP yang berkeadilan termasuk tidak bertindak diskriminatif. 

“Untuk memfasilitasi kami membuka ruang seluas-luasnya pada rekan-rekan komunitas. Kami wajib melayani atau memfasilitasi,” pungkasnya. 

Yudi menerangkan bahwa selama ini Suara Kita telah melakukan banyak hal untuk memperjuangkan hak-hak kelompok transgender. Selain pendampingan KTP, Suara Kita juga mengedukasi masyarakat tentang keragaman gender dan seksualitas (melalui media sosial, membuat buku. film dan diskusi buku), mendirikan shelter/rumah singgah bagi komunitas LGBTQI+ bagi komunitas transgender lansia atau yang mendapatkan pengusiran dari keluarga. 

Setelah pendampingan KTP, Yudi mengungkapkan Suara Kita akan memfokuskan ke langkah selanjutnya yaitu untuk pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya (Hak Ekosob) bagi komunitas. Di antaranya, BPJS Kesehatan, bansos, dan akses perubahan identitas (nama) bagi transgender. Hingga BPJS tenaga kerja, pendidikan dasar, keterampilan produktif, dan rumah jompo untuk komunitas.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!