Poedjiati Tan- www.Konde.co
Relasi antara suami dan istri, ternyata tak pernah lepas dari yang berkuasa dan yang dikuasai. Relasi subordinat ini juga tak hanya terjadi di kelompok heteroseksual, namun juga di kelompok homoseksual. Ini merupakan cerita dan pengalaman teman-teman saya sehari-hari:
Ketika bertemu dengan beberapa teman perempuan, mereka bercerita tentang keluarganya masing-masing. Lalu sampailah salah satu dari kami bertanya pada teman kami yang benama Maya:
“Kamu nggak berniat menceraikan suamimu May?.”
Kami semua tahu kalau suami Maya tidak punya pekerjaan tetap. Mereka sering mempunyai persoalan ekonomi dan suaminya seolah kurang peduli, Maya sudah sering menceritakannya. Namun Maya tetap memilih bertahan walau ini kadang tidak membuatnya bahagia.
Adapula seorang teman yang merasa tidak bahagia dengan perkawinannya karena suaminya tidak mau bekerja. Selama ini ia merasa banyak dimanfaatkan oleh suaminya, disuruh bekerja, mengurus semua pekerjaan rumah dan menjaga anak ketika ia pulang bekerja. Sedangkan suaminya lebih sibuk beraktivitas dengan organisasinya, tanpa mau membantu jerih payah istrinya.
Ketika ditanya kenapa tidak bercerai? Teman saya ini merasa takut mengecewakan dan mempermalukan orang tuanya. Ayahnya adalah pejabat sebuah gereja di sebuah kota di Indonesia. Perceraian yang akan terjadi akan membuat malu keluarga ayahnya.
Sebetulnya dia menikah dengan terpaksa karena usianya yang sudah 35 tahun dan keluarganya memaksa dia untuk segera menikah. Akhirnya dia menikahi teman SMAnya yang bertemu ketika reuni.
Yang saya alami, ada banyak perempuan yang terjebak dalam kuasa patriarkhi, ingin bercerai namun tak bisa, ini karena ada anak, ada keluarga yang harus dipertimbangkan, padahal sudah lama suaminya tak mau mengambil tanggungjawab dalam keluarga. Ini merupakan kondisi serba sulit yang menimpa banyak perempuan, banyak istri di dunia ini. Terjebak dalam pilihan sulit.
Banyak perempuan yang kemudian terjebak di dalamnya. Bagaimana sistem sosial patriarki yang membentuk figur laki-laki sebagai yang utama, pemegang kekuasaan, dan istri sebagai subordinate. Sehingga bila relasi tersebut tidak sesuai dengan budaya patriarki, maka akan mengganggu relasi mereka. Belum lagi hal lain seperti setereotype yang melekat pada perempuan: cerai adalah sesuatu yang buruk bagi perempuan.
Begitupula dalam relasi hetero, bila ada suami yang dianggap tidak berkuasa dalam rumah tangganya akan dianggap menyalahi aturan, atau bila istri terlalu dominan dan lebih berkuasa dari suaminya akan dianggap salah.
Dan ternyata relasi patriakhi ini juga terjadi dalam relasi antara pasangan gay ataupun lesbian. Pada relasi Lesbian, ternyata ada budaya patriarki yang juga kuat. Mereka membuat peran seperti pasangan heteroseksual, ada yang menjadi suami dengan segala perannya ataupun peran istri dengan segala stereotypenya. Bahkan yang berperan sebagai suami (butchi) sangat dominan dan menguasai femme yang berperan sebagai istri.
Saya selalu sedih melihat ini, padahal seharusnya stereotype ini mestinya harus hilang, tak ada relasi di kelompok lain, namun nyatanya budaya berkuasa ini sangat erat bahkan di kelompok lain.
Apa akibatnya dengan relasi kuasa ini? Perempuan akan kehilangan banyak hal: ruang untuk bersuara, ruang untuk meraih hidupnya, ruang untuk meraih alternatif yang lain. Padahal seharusnya perempuan bisa memilih apa yang penting untuk hidupnya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)