Anak Muda Bicara Toleransi: Tak Semua Warung Harus Tutup di Bulan Ramadhan

Tak semua warung harus tutup di bulan Ramadhan. Ini dilakukan untuk memberikan kesempatan buat orang lain yang sedang tak puasa, atau orang yang memang tak melakukan puasa untuk membeli makanan. Saya menyukai semboyan Hasthalaku, yaitu menempatkan orang lain sebagai ‘diriku’, dengan ini maka kita bisa saling memberikan ruang bagi yang lain

Konde, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dan Peace Innovation Academy selama bulan Ramadhan menyajikan Edisi Khusus Ramadhan: berupa artikel tentang makna toleransi bagi anak muda. Artikel ini sebagai bagian untuk mengajak anak muda merawat Keberagaman, Perempuan dan Perdamaian.

Ini adalah cerita refleksi saya selama bulan Ramadhan: saya selalu bertanya-tanya, mengapa warung-warung makan tidak diizinkan untuk buka selama bulan Ramadhan?

Coba simak informasi ini: Majelis Ulama Indonesia (MUI ) Bekasi menghimbau warganya untuk menutup warung makan selama Ramadhan. Menanggapi hal ini, MUI Pusat menyatakan bahwa warung makan tidak diharuskan tutup selama bulan Ramadhan. Lalu ada tanggapan berbeda-beda yang datang dari tokoh masyarakat dari beragam latar belakang.

Mari kita coba renungkan bersama.  Saat Ramadhan, tak semua orang melakukan puasa. Mereka yang non muslim maupun Muslim yang berhalangan untuk berpuasa karena sakit, haid, nifas atau sedang bepergian, dibolehkan untuk tidak berpuasa. Jadi kalau semua warung tutup, orang-orang ini akan kesulitan membeli makanan.

Tak hanya itu, dari sisi ekonomi pedagang, juga akan timbul pertanyaan: bagaimana nasib para penjual makanan warungan? Siapa yang akan menanggung biaya hidup mereka selama bulan Ramadhan?

Lagipula, berpuasa tak sekadar menahan lapar dan haus. Definisi puasa dalam Islam adalah menahan lapar, minum dan segala hawa nafsu dari subuh hingga Maghrib. Jadi puasa juga tentang menahan hawa nafsu dari segala godaan untuk berbuat tidak baik, seperti berbohong, berbuat jahat, menahan amarah maupun syahwat.

Tidak makan dan tidak minum bisa dikatakan poin terendah dari puasa. Jika untuk hal inipun kita tidak bisa menahan, bagaimana bisa menahan hal lain yang jauh lebih sulit?

Omong-omong tentang puasa, saya jadi teringat tentang hasthalaku, atau delapan perilaku yang merupakan nilai-nilai budaya Jawa. Hasthalaku terdiri dari sikap gotong royong (saling membantu), grapyak semanak (ramah tamah), guyub rukun (kerukunan), lembah manah (rendah hati), ewuh pekewuh (saling menghormati), pangerten (saling menghargai), andhap ashor (berbudi luhur), dan tepa slira (tenggang rasa).

Sebenarnya nilai-nilai ini sudah lama menjadi laku keseharian orang Jawa khususnya di Solo dan sekitarnya. Namun, perlahan nilai-nilai ini tergerus oleh perkembangan jaman dan gempuran budaya luar.

Ketika konservatisme beragama dan intoleransi terasa kian menguat seperti sekarang, slogan Solo Bersimfoni coba kembali menggaungkan nilai-nilai hasthalaku menjadi dasar perilaku anak muda di Solo Raya, Kota Solo, Jawa Tengah.

Saat mendapatkan pelatihan tentang hasthalaku pada akhir Maret lalu, saya berpikir, mungkin polemik tentang harus tutup tidaknya warung makan saat Ramadhan ini tak bakal muncul jika hasthalaku diterapkan. Hasthalaku dapat dijadikan sebagai pendekatan budaya dan perilaku untuk mengubah perilaku intoleran menjadi perilaku yang toleran dan cinta damai.

Saat bulan Ramadan ini, penting bagi kita menerapkan sikap ewuh pekewuh (saling menghormati), pangerten (saling menghargai), dan tepa slira (tenggang rasa). Sebagai orang Indonesia yang heterogen berbagai agama, implementasi ketiga nilai ini menjadi sangat penting.

Ewuh pekewuh (saling menghormati), pangerten (saling menghargai), dan tepa slira (tenggang rasa) merupakan ketiga poin Hasthalaku yang tidak terpisahkan, ketiganya saling berhubungan erat. Melihat beberapa masalah yang kadang muncul saat bulan Ramadhan tiba, maka sikap saling menghargai dan menghormati diantara orang yang berpuasa dan tidak berpuasa ini dibutuhkan. Jika hal tersebut terjadi maka terwujudlah toleransi.

Islam adalah agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) yang tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk mengontrol orang lain demi kepentingannya sendiri. Islam tidak mengajarkan umatnya melarang orang lain berjualan mencari rezeki hanya agar kita tidak tergoda.

Jika kita memiliki sikap ewuh pekewuh (saling menghormati), pangerten (saling menghargai), dan tepa slira (tenggang rasa) maka akan terwujud masyarakat yang damai dan saling mengerti satu sama lain.

Bagi yang berpuasa, tidak membatasi dan tidak mengharuskan orang lain untuk mengikuti apa yang dilakukannya. Pun sebaliknya, bagi yang tidak berpuasa juga bisa menahan diri untuk tidak menggoda temannya yang berpuasa. Tidak makan di tempat terbuka, pedagang makanan juga harus menutupi makanan dagangannya dengan tirai, ini adalah wujud sikap saling menghormati itu.

Menghargai Orang Lain dengan sikap Lembah Manah

Saat Ramadan berlalu sikap ewuh pakewuh, tepa selira dan pangerten tetap harus dijalankan. Komunikasi dengan empati terwujud dalam nilai-nilai pangerten, grapyak semanak dan tepa selira. Dengan nilai pangerten dan tepa selira kita mampu mengedepankan rasa bagaimana menjadi orang lain yang sedang mengalami kesusahan.

Grapyak semanak atau sikap ramah terhadap orang lain dapat menumbuhkan kedekatan dan menjadikan kita lebih banyak mendengar keluhan orang lain daripada memaksa mereka mendengarkan kita. Kita akan menjadi orang yang berjasa, menjadi pendengar yang baik dan mampu memberikan ketenangan pada orang lain. Melindungi orang lain merupakan sikap seorang pahlawan.

Dalam kehidupan sehari-hari kita harus menghargai orang lain dengan sikap lembah manahewuh-pekewuh, dan andhap asor. Dalam menjaga hubungan sosial dengan orang lain sikap lembah manahewuh-pekewuh dan andhap asor memiliki peran yang sangat penting.

Sikap rendah hati direfleksikan dalam tutur kata yang sopan, sikap yang lembut, menekankan tata krama, berbicara dengan nada yang baik dan kata-kata yang enak didengar. Kita bisa saja berbeda pendapat, tapi tak harus menggunakan kata-kata kasar apalagi saling menghujat. Selain itu kita juga harus dapat menyesuaikan kondisi dan situasi yang sedang dialami oleh orang-orang di sekitar kita.

Manusia sebagai makhluk sosial harus dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar dengan baik. Sikap andhap asor diperlukan agar manusia dapat menjadi seseorang yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Sikap yang terkandung dalam nilai-nilai hasthalaku mencerminkan budi pekerti luhur dan jiwa melayani dan berkorban untuk orang lain.

Saat ini kita tak perlu mengangkat senjata untuk berjuang melawan penjajah. Implementasi nilai-nilai hasthalaku akan mengikis sikap intoleransi. Hasthalaku akan menempatkan orang lain sebagai ‘diriku’ yang lain. Dia tidak akan berlaku semena-mena dan akan memperlakukan orang lain sebagaimana dirinya ingin diperlakukan.

Karena, pada dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri atau hidup hanya dengan kelompoknya sendiri.

Apalagi Indonesia telah mengatur kebebasan beragama dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 29 Ayat 2 berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan catatan bahwa tidak mengganggu dan membatasi aktivitas umat beragama lain.

Roudhotul Jannah

Mahasiswa Magister Interdisiplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam dan Kajian Gender Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!