Vonis Mati Herry Wirawan Tak Memberikan Efek Jera Bagi Pelaku, Pikirkan Nasib Korban

Para aktivis menyatakan, hukuman mati pada pelaku kekerasan seksual di Pondok Pesantren Cibiru, Herry Wirawan, tak akan membuat efek jera bagi pelaku. Negara harus memikirkan nasib korbannya

Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat menjatuhkan vonis hukuman mati pada Herry Wirawan, terdakwa pelaku perkosaan terhadap belasan santriwati di Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Bandung Jawa Barat. Putusan banding ini dibacakan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat, Senin (4/4/2022).

Putusan ini menuai pro kontra. Keluarga korban bersyukur karena dinilai ini hukuman yang setimpal bagi Herry. Namun sejumlah aktivis punya penilaian berbeda. Asfinawati, praktisi dan dosen hukum dari Sekolah Hukum Jentera, Jakarta menyatakan, hukuman mati tidak akan pernah menyelesaikan persoalan ataupun masalah yang dihadapi korban.

Menghukum mati pelaku tidak bisa mengembalikan kehidupan korban bisa kembali seperti semula. Sehingga menurutnya, yang lebih penting adalah Negara hadir menjamin perlindungan bagi korban dan mencegah jatuhnya korban-korban lain.

“Jadi bagaimana membangun sistem yang mencegah kekerasan seksual serupa terulang kembali,” ujarnya dalam pesan tertulis kepada Konde, Selasa (5/4/2022).   

Seperti diberitakan sebelumnya, dalam keputusan itu, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang diketuai Herri Swantoro, mengabulkan banding yang diajukan jaksa penuntut umum yang meminta vonis mati terhadap Herry Wirawan. Dalam keputusan itu, Hakim juga memutuskan uang pengganti kerugian bagi korban atau restitusi sebesar Rp 300 juta dibebankan kepada terdakwa.

Setidaknya terdapat 14 santri perempuan (santriwati) menjadi korban  kekerasan seksual yang dilakukan Herry Wirawan, pengampu Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Bandung Jawa Barat.

Kekerasan seksual yang dilakukan Herry ini terjadi sejak 2016 hingga 2021. Para santri yang menjadi korban kekerasan seksual rata-rata berusia 13-16 tahun, dengan tujuh santri di antaranya telah melahirkan bayi. Bahkan, salah satu korban telah melahirkan dua anak.

Kasus itu pertama kali dilaporkan ke pihak kepolisian Mei 2021 silam, namun publik baru mengetahuinya saat sidang ketujuh dengan agenda mendengar keterangan saksi digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kota Bandung, Selasa (07/12/2021). Ia dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak di bawah umur.

Dalam sidang putusan tingkat pertama, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Herry divonis hukuman seumur hidup. Jaksa penuntut lantas mengajukan banding dan meminta Herry divonis hukuman mati dan pembayaran restitusi dibebankan kepada terdakwa. Permohonan ini dikabulkan Hakim PT Bandung. Herry diwajibkan membayar restitusi kepada 13 korbannya dengan nominal yang beragam, namun biaya restitusi itu jika ditotalkan mencapai Rp 300 juta.

“Membebankan restitusi kepada terdakwa Herry Wirawan alias Heri bin Dede,” ucap hakim dalam dokumen putusan yang diterima, Senin (4/4/2022).

Baca : Herry Wirawan Janji Sekolahkan Para Korbannya

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia sependapat dengan Asfinawati. Meski mengapresiasi putusan banding ini, ICJR menyayangkan dijatuhkannya hukuman mati kepada Herry. Putusan ini dinilai akan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual, karena fokus Negara justru diberikan kepada pembalasan kepada pelaku, alih-alih korban yang seharusnya dibantu pemulihannya.

“Ketika hakim menjadikan efek jera sebagai sandaran keputusannya, ini tidak melihat efeknya bagi korban. Yang penting itu adalah bagaimana kita menyelamatkan korban dan bagaimana Negara menunjukkan tanggung jawab yang lebih besar kepada korban,” ujarnya kepada Konde, Selasa (5/4/2022).

Ditambahkan, hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual, hanya akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban.

Dari catatan ICJR, tidak ada bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk dalam kasus perkosaan. Geno mencontohkan hukuman mati terhadap gembong narkoba tidak efektif menyurutkan kasus penyalahgunaan narkotika.

Di beberapa negara, penerapan hukuman mati untuk pelaku kekerasan seksual juga tidak efektif mencegah terjadinya kasus serupa. Sebagai contoh, Geno menyebut India yang telah menerapkan hukuman mati bagi pelaku kasus perkosaan. Namun hingga saat ini kebijakan ini terbukti tak mampu menjadikan India sebagai negara yang aman dari kasus perkosaan.

Mengutip Michelle Bachelet (UN High Commissioner for Human Rights), Geno mengatakan,  meskipun pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, namun hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya.

Masalah dari kasus-kasus perkosaan yang terjadi di seluruh belahan dunia, menurut Bachelet, disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap keadilan korban, dan menerapkan pidana mati kepada pelaku, tidak akan menyelesaikan masalah ini. 

“Pidana mati, diterapkan justru ketika negara gagal hadir untuk korban. Ini adalah bentuk gimmick yang diberikan sebagai kompensasi karena negara gagal hadir dan melindungi korban, sebagaimana seharusnya dilakukan. Sebagai konsekuensi dari hal ini, negara kemudian mencoba “membuktikan diri” untuk terlihat berpihak kepada korban, dengan menjatuhkan pidana-pidana yang “draconian” seperti pidana mati,” ujarnya.

Hal ini, tentu saja bukan yang diharapkan terjadi di Indonesia. Negara, harusnya dapat hadir setiap waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu hanya untuk “mengambil hati” korban dan warga negaranya. 

Komponen yang harus ada dalam keputusan ini adalah restitusi (pengganti kerugian bagi korban), korban juga harus mendapat jaminan melanjutkan pendidikan tanpa ada masalah, serta ada jaminan perlindungan keselamatan untuk keluarga korban terutama anak yang dilahirkan dalam kasus perkosaan ini.

 “Ini harus disebutkan dalam putusan, untuk menjamin adanya perlindungan Negara bagi korban,” ujarnya.

ICJR memahami bahwa kasus ini menyulut kemarahan publik. Namun demikian, ia menegaskan, kemarahan publik tak seharusnya menjadi fokus utama di dalam proses pemberian keadilan bagi korban.

Fokus utama kita, lanjutnya, seharusnya diberikan kepada korban, dan bukan kepada pelaku, dan hal ini yang seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum dan juga Hakim di dalam kasus-kasus kekerasan seksual.

Pengadilan yang saat ini sudah memiliki pedoman mengadili perkara perempuan, juga harus mulai berpikir progresif dengan memikirkan kebutuhan korban dan tidak hanya terjebak pada kemarahan pribadi yang tidak akan menolong korban.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!