Flexing Foto Atau Suka Pamer Foto di Media Sosial? Kenali Dampaknya

Perilaku pamer foto di media sosial marak terjadi, padahal media sosial hanya menyajikan 20 persen kehidupan kita. Gak semua kesedihan ditampilkan disana.

Trend suka pamer foto atau flexing makin ramai dibincangkan di media sosial, banyak yang mengkritik, karena rata-rata kalau di media sosial hanya pamer keberhasilan atau kemewahan. Padahal hidup gak semua berisi kesenangan.

Setiap hari di media sosial kita seliweran flexing foto makanan mahal, liburan di tempat menawan, hingga bucket bunga dari pasangan. hal -hal ini sedikit banyak akan menyedot perhatian dan langsung mengembalikan pandangan ke diri sendiri sambil berkata: “Kenapa aku tidak seperti mereka?”

Rasanya hidup seperti itu mudah saja diraih oleh banyak orang di media sosial. Timeline hidup mereka sepertinya selalu lancar. Seperti sekolah di tempat yang berkualitas, karir yang lancar, hingga menemukan pasangan yang sempurna. Hampir semua aspek kehidupan berjalan sempurna tanpa cela. 

Tidak memiliki kehidupan sempurna seperti yang dilihat di media sosial tentu akan memicu rasa rendah diri dan insecure. Melihat orang lain flexing keberhasilan di berbagai bidang terkadang bisa membuat penerimaan terhadap diri sendiri menjadi sulit dilakukan karena menjadikan sesuatu di luar diri sebagai patokan. Kekhawatiran tidak punya teman karena tidak memiliki kehidupan yang sama seperti mereka pun muncul.

Baca Juga: Flexing, Orang Doyan Pamer Kekayaan di Media Sosial Cuma buat Validasi

Ketidakmampuan melakukan penerimaan terhadap diri sendiri ini membuat beberapa orang melakukan rekayasa atas kehidupannya di media sosial dengan memposting foto-foto yang bukan miliknya.

Tren baru menggunakan foto atau video orang lain dan dijadikan konten di media sosial pribadi, menciptakan peluang baru yaitu jual beli photo dump. Semua itu demi menciptakan kehidupan yang berbeda di media sosial.

Apa sih yang biasanya kamu posting di media sosial? Selain ingin mengekspresikan diri, apakah kamu juga menjadikan media sosial sebagai tempat branding dirimu? 

Menghabiskan waktu untuk scrolling media sosial dan memilih foto mana dengan angle terbaik hingga menggunakan berbagai filter. Ini menjadikan beberapa orang berupaya keras untuk mendapatkan postingan Instagram yang sempurna.

Memang banyak orang yang membranding diri secara orisinil di media sosial. Namun beberapa waktu lalu, di salah satu base di X ramai diperbincangkan kehidupan ter fabrikasi atau fabricated lifestyle. Istilah ini merujuk pada kehidupan yang ditampilkan di media sosial sengaja dibuat-buat untuk tujuan tertentu.

Jual Beli Konten Sebagai Peluang Bisnis Baru

Lebih uniknya, hal ini telah berkembang lebih jauh dimana kebutuhan akan konten sosial media diperjualbelikan di platform Telegram. Terdapat channel dengan nama ‘jual beli photo dump’ dimana di channel itu, berbagai foto ‘random’ diperjualbelikan. Istilah photo dump sendiri merujuk kepada foto-foto yang diambil dalam momen acak atau diambil hanya untuk sekadar iseng saja.

Hal yang menarik dari fenomena ini adalah adanya permintaan atau kebutuhan untuk membeli photo dump. Photo dump ini sendiri dibanderol sampai mencapai Rp. 600.000 per paket. Jenis foto yang dijual pun beraneka ragam, dari mulai foto cup kopi mahal, foto liburan, sedang berada di club malam hingga foto bermain bola. Mengapa orang-orang membelinya?

Salah satu studi dari National Library of Medicine menunjukkan bahwa seseorang sangat mudah sekali membandingkan dirinya dengan orang lain. 12 persen dari pikiran kita cenderung digunakan untuk membandingkan diri dengan orang lain.

Ingin tahu apa saja yang biasanya menjadi bahan perbandingan anak muda? Masih dari studi yang sama, anak muda kerap membandingkan dirinya dengan orang lain dalam hal:

1.      Keberhasilan akademis

Contohnya saat merasa iri melihat orang lain mendapat beasiswa sekolah ke luar negeri.

2.      Keberhasilan sosial

Contohnya saat merasa iri melihat orang lain memiliki pergaulan yang luas dan popular.

3.      Keberhasilan percintaan

Contohnya saat merasa iri melihat orang lain sangat disayangi oleh pasangannya

4.      Penampilan

Contohnya saat merasa iri melihat orang lain berpenampilan menarik atau memiliki barang mewah.

Melihat teman-teman sendiri atau orang lain memposting keberhasilan mereka, tentu sedikit banyak akan memengaruhi cara kita memandang diri kita. Istilah no life atau nolep merujuk pada seseorang yang dianggap tidak memiliki kehidupan sosial yang aktif. 

Melihat berbagai pencapaian orang lain di media sosial, orang yang merasa dirinya nolep akan semakin merasa tersisih dan berbeda karena tidak memiliki kehidupan yang sama dengan standar keberhasilan di media sosial. Bahkan, yang awalnya baik-baik saja bisa merasa kehidupannya tidak produktif dan seseru orang lain. Sehingga akan menjadi beban yang memberatkan pikiran sendiri.

Mengejar Kehidupan Seperti Orang Lain

Salah satu pengguna Quora dengan akun Natasha Sharma mengungkapkan bahwa sekarang orang-orang menekan dirinya sendiri untuk memiliki pencapaian seperti timeline orang lain. 

“Well this is what social media pressure looks like .. in today’s time we are rushed by other people’s timeline at such an extend .. as it has started affecting us by their supposed success or achievement of people around us by their social media posts due to this pressure we feel like to copy them for our own internal happiness or worth and pretend to be someone for it which is not correct at all.”

(Ini adalah contoh tekanan media sosial … pada zaman sekarang, kita terburu-buru oleh timeline orang lain sejauh itu … karena hal ini mulai memengaruhi kita dengan kesuksesan atau pencapaian yang seharusnya dari orang-orang di sekitar kita berdasarkan posting media sosial mereka. Karena tekanan ini, kita merasa ingin meniru mereka demi kebahagiaan atau nilai internal kita sendiri dan berpura-pura menjadi seseorang yang sebenarnya bukan. Hal ini sama sekali tidak benar).

Newport Institute pernah menulis, anak muda yang sering membandingkan diri cenderung lebih termotivasi untuk mengejar teman-teman mereka. Berusaha untuk sepadan atau melampaui teman-temannya dalam hal fisik, akademik, atau finansial yang dapat menyebabkan pengembangan perfeksionisme atau bahkan toxic productivity.

Baca Juga: Bicara Soal Consent: Niatnya Flexing Foto, Ujungnya Jadi Pelaku KBGO

Mereka menuntut diri sendiri untuk berada di standar yang bahkan tidak bisa tercapai. Hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan mental atau memperburuk masalah yang sudah ada. 

Bukti nyata yang terjadi seperti: kecemasan kronis, depresi, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan makan, bahkan pemikiran bunuh diri. Jika dibiarkan tanpa pengawasan, terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain dapat menjadi suatu penyakit.

Dengan harapan ingin memiliki kehidupan seperti orang lain di media sosial, tapi tidak bisa mencapainya maka membeli photo dump adalah cara instan untuk menutupi kehidupan asli dan membuatnya terfabrikasi (fabricated life).

Bahkan, beberapa akun TikTok ada yang khusus membuat konten agar orang lain dapat memasang video yang ia buat untuk dijadikan story WhatsApp atau story Instagram. Banyak orang di postingan itu yang memberikan komentar untuk mengunduh konten tersebut agar bisa digunakan kembali. Agar seolah-olah ia sedang beraktivitas atau berada di suatu tempat yang menyenangkan.

Waspadai Bahaya Flexing

Menurut Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet Wida Arioka saat diwawancarai Konde.co (25/10/2023), menjelaskan bahwa fenomena flexing di media sosial ini berhubungan dengan gaya hidup yang beralih dari media konvensional seperti televisi menjadi media sosial. 

Brand-brand yang memiliki kepentingan iklan juga sedikit banyak mendorong artis atau seleb medsos untuk flexing demi menunjukkan keunggulan produk yang mereka kenakan.

Menurutnya, standar kehidupan sekarang sudah bergeser ke media sosial sekarang. Masyarakat sekarang jarang yang menonton televisi. Sehingga trend fashion beralih ke media sosial, apa yang sering digunakan di media sosial menjadi standar orang zaman sekarang.

Ini juga dilihat dari bagaimana media sosial digunakan untuk iklan, bagaimana selebgram memperlihatkan gaya hidup mereka, bagaimana mereka menggunakan make up, fashion

“Untuk brand-brand tertentu itu sangat berfungsi. Karena kita merasa yang diupload seperti itu adalah orang biasa sehari-hari lakukan, maka kita jadi berpikir bahwa orang biasa ya harus seperti itu” ujar Wida.

Baca Juga: Bahayanya Sharenting: Ketika Orangtua Membagi Foto dan Video Anak di Media Sosial

Dalam dunia media sosial, privasi menjadi isu yang juga menjadi pembicaraan. Wida menyebut saat seseorang kecanduan untuk memposting aktivitasnya atau oversharing, orang tersebut bukan hanya membuka privasinya, namun juga bisa secara tidak sengaja membagikan privasi orang lain. 

Misalnya, ketika seseorang mengambil foto secara real time untuk diupload, bisa jadi ada orang lain yang tertangkap kamera dalam postingan itu. Hal ini bisa menjadi permasalahan privasi karena belum tentu orang tersebut mau dirinya ikut terposting. Atau bisa juga orang tersebut mengalami ancaman karena diketahui lokasinya.

“Sekarang ini apa-apa harus diupload, tanpa sadar data-data pribadi seperti nomor rumah, plat nomor mobil misalnya jadi ikut terupload. Hal ini bahaya karena secara tidak sadar data kita ikut terekspos,” lanjutnya. 

Maka dari itu, saat bicara privasi seperti saat memfoto. Ada orang lain yang mungkin tercapture, itu harus mikirin privasi orang lain. 

“Belum tentu orang tersebut berkenan kalau foto atau posisinya tersebar. Hal-hal seperti ini kadang kita gak ngeh untuk minta ijin. Sebenernya mengekspresikan diri boleh-boleh aja tapi kita harus minta ijin untuk orang lain untuk dishare” tegasnya.

Bagi Wida, flexing tidak selalu berarti buruk, terkadang flexing bisa memicu motivasi diri untuk melakukan hal lebih atau mendapatkan pencapaian. Wida menjelaskan, jika seseorang memposting prestasi, pencapaian atau hal sejenis, ini masih dalam tahap wajar tergantung bagaimana menyikapinya. 

Lain hal jika yang ditunjukkan adalah harta ataupun kemewahan, postingan ini terkesan pamer dan bisa membuat orang yang melihat merasa belum bisa menyamai pencapaiannya. 

Baca Juga: Pejabat Diimbau Tak Pamer Harta di Medsos: Ini Takkan Cukup Ubah Gaya Hidup

Meskipun begitu, hal itu sebaiknya jangan dijadikan kekhawatiran. Sebab, ada orang-orang yang memang harus menampilkan barang mewah untuk kepentingan pekerjaan, iklan dan juga image brand yang dibawa.

“Kita nggak perlu menghiraukan, supaya kita gak merasa bahwa itu menjadi standar gitu. Keberhasilan seseorang bukan dari apa yang dipamerkan di media sosial dan membuat kita merasa bersaing dengan orang tersebut. Ini kan membuat kita nambah pikiran, padahal ngga ada kewajiban untuk mengikuti standar yang sama” tutur Wida.

Flexing dan photo dump memiliki hubungan meskipun tidak terkait secara langsung. Wida menyebut keinginan untuk aktualisasi diri karena melihat flexing orang lain di media sosial dapat membuat seseorang mengambil jalan pintas untuk flexing juga. 

Jalan pintas yang dimaksud adalah dengan membeli photo dump. Namun, Wida juga menyebut bahwa kita tidak perlu mempermalukan orang yang membeli photo dump. Karena selama tidak mengganggu hidup kita, maka orang lain bebas memposting apapun di internet.

“Kalau misalnya kita merasa bersaing dan ingin upload hal serupa, ini nih yang menyuburkan lahan photo dump gitu ya, padahal kita nggak pernah tau yang flexing mungkin juga hasil dari beli photo dump. Kalau kita tahu yang dipamerkan palsu, sebaiknya kita ngga mempermalukan mereka ya, mereka kan sedang pengen membuktikan diri, ngga ada gunanya juga kita mengintimidasi atau malu. Selama yang mereka lakukan tidak membahayakan diri kita,” katanya. 

Baca Juga: Difoto Tanpa Izin dan Disebar ke Medsos: Mahasiswa Baru Jadi Incaran KBGO

Bahaya flexing yang juga harus diketahui oleh pengguna internet adalah, adanya privasi yang terbuka dari postingan kita. Memposting harta dan kemewahan bisa membuat orang jahat mengincar kita sebagai sasaran. 

Wida juga menjelaskan kasus seorang seleb TikTok yang dirampok rumahnya karena menunjukkan isi rumahnya, hal ini karena oversharing privasi kita sama saja dengan memberikan kunci rumah kita untuk digunakan orang lain.

“Kasus perampokan seleb TikTok itu jadi salah satunya ya, orang jadi tahu isi rumahnya. Dulu kan sempet trend spill isi rumah, itu kan orang jadi tahu bentuk rumah kita, masuknya darimana, ini seperti ngasih kunci buat orang lain dan mengancam kita secara fisik” tutup Wida.

Apa Konsep Kebahagiaanmu?

Sebuah jurnal penelitian yang dilakukan oleh Jiyoung Chae, seorang asisten profesor di Universitas Konkuk menyatakan bahwa kita sebaiknya memikirkan ulang konseptualisasi kebahagiaan. 

Media sosial mungkin membuat kita percaya bahwa kehidupan orang lain lebih baik melalui perbandingan sosial. Namun, perbandingan seperti itu hanya mempengaruhi sebagian dari kebahagiaan keseluruhan atau kepuasan hidup. 

Jika kita berada di media sosial tanpa membandingkan diri dengan orang lain, media sosial memiliki potensi membuat kita lebih bahagia.

Penggunaan media sosial secara pasif (yaitu, memantau orang lain) dapat membuat kita tidak bahagia (Festinger, 1954) atau iri (Smith dan Kim, 2007). Sebaliknya, penggunaan aktif (yaitu, menghasilkan pesan) dapat membuat kita bahagia melalui pembentukan modal sosial atau keterhubungan sosial (lihat Verduyn dkk., 2017).

Baca Juga: 6 Cara Hidup Bahagia: Miliki Tujuan dan Siap Melepaskannya

Seorang mahasiswa jurusan hubungan masyarakat dari California State University, Long Beach bernama Bethany Maksimuk menyatakan “Kadang-kadang Anda mencoba untuk menampilkan diri Anda dengan cara tertentu dan itu membuat Anda meragukan identitas Anda sendiri. Itu membuat saya meragukan diri saya dan bagaimana saya ingin mempresentasikan diri saya secara online,” ujarnya. 

“Saya merasa bahwa kehadiran online saya adalah versi yang lebih disempurnakan daripada diri sejati saya.”

Menciptakan kehidupan fabrikasi, entah untuk tujuan validasi, flexing atau sekadar agar terlihat tidak nolep hanya akan membuat kita merasa lebih baik untuk sementara saja. Media sosial bukanlah tempat untuk mencari pengakuan. 

Kenalilah dirimu sendiri agar tidak gampang terpancing untuk membandingkan dan mengejar kehidupan seperti orang lain.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!