Bye Relasi Toksik: Berpasangan Itu Bersama Berperan, Bukan Adu Kekuatan

Relasi berpasangan itu bukan untuk saling adu kuat, tapi untuk membangun hubungan yang sehat. Tapi jika memang tak bisa diperbaiki, jangan ragu ucapkan ‘selamat tinggal’ padanya. Kamu berhak bahagia, juga dia! Tapi jika masih bisa diusahakan, bangun relasi yang sehat. Seperti apa?

Bertin Tiara Sari Wulan, seorang penyintas yang aktif di Organisasi Save Janda menyadari bahwa ia berada dalam hubungan toksik dengan pasangannya sejak mereka pacaran. Ia memilih bertahan dengan harapan pasangannya akan berubah setelah menikah.

Tahun pertama pernikahannya berjalan baik-baik saja. Masalah mulai muncul di tahun kedua dan makin memburuk memasuki tahun ketiga karena pasangannya ini tidak mau mengubah sifat buruknya. Bertin mengaku bahwa secara psikologis ia merasa tertekan karena tidak dianggap istri yang sesuai harapan suami dan keluarganya.

“Mungkin kurang komunikasi, kurangnya kemampuan kami mengutarakan isi hati sehingga memicu masalah dalam rumah tangga. Tahun pertama baik-baik saja, perubahan mulai terlihat di tahun kedua yang terusnya bertambah buruk,” ujar Bertin dalam diskusi “Berpasangan Komitmen #BersamaBerperan Bukan Adu Kekuatan yang diselenggarakan Konde.co, IDcomm dan Investing in Women untuk memperingati Hari Kartini (21/4/2022). 

Ia lantas menemui konsultan pernikahan agar bisa mempertahankan pernikahannya. Kala itu, perceraian bukan keputusan yang dipilihnya karena ia sudah punya anak. Kalau harus bercerai, Bertin kasihan pada anaknya.

Tapi saat hatinya melunak dan ia berniat untuk memperbaiki hubungan rumah tangganya, tanggapan dari suaminya tidak sesuai yang diharapkannya. Ia merasa seolah berjalan sendirian, hingga muncul niatnya untuk bercerai meski timbul tenggelam. Selain alasan anak, ada pertimbangan ekonomi dalam pikirannya. 

Bertin juga takut menyandang predikat janda, karena berbagai stigma negatif yang sering disematkan kepada janda. Walau akhirnya Bertin memutuskan untuk pisah setelah merefleksikan kondisinya. Secara ekonomi ia memang tercukupi tapi hatinya nelangsa.

“Setiap hari sakit hatinya makin menumpuk,” ujarnya.

Setelah cerai, perempuan yang kini aktif di komunitas Save Janda ini lebih hati-hati. Ia menganggap kalau semua laki-laki seperti mantan suaminya.

“Kalau menikah lagi akan seperti itu, tapi jika memang pernikahan bisa diperbaiki ya diperbaiki bersama. Jika perlu, konsultasi ke ahlinya untuk mendapatkan solusi terbaik.”

Ria Papermoon, Direktur Papermoon puppet, punya pengalaman berbeda. Semasa kuliah dia punya pacar yang amat sangat baik. Tapi suatu saat sang pacar bersikap yang nggak bisa diterima Ria dan ini adalah hal prinsip atau hal mendasar bagi Ria, ia memutuskan untuk putus saja.

Saat itu Ria berpikir, “kalau dia nggak bisa ngertiin apa yang aku mau saat itu, bukan tidak mungkin di masa yang akan datang sikap itu akan terulang.”

Ria menilai keputusannya saat itu sudah sangat benar, sehingga ia bisa menjadi dirinya sendiri. Dengan Iwan, yang saat ini menjadi suaminya, Ria menemukan kenyamanan. Mereka datang dari latar belakang yang sangat berbeda, hubungan keduanya memang tak selalu diwarnai bunga-bunga, tapi hubungan mereka berjalan baik dan saling melengkapi.

Aware pada value diri itu penting sebelum menjalin hubungan yang lebih jauh. Ketika seseorang tahu hubungan seperti apa yang dia inginkan dan tidak dia inginkan, itu jadi landasan kuat untuk sebuah perkawinan,” itu nilai-nilai Ria.

Menurut Ria, jadi pasangan itu kuncinya adalah kolaborasi, bukan saling bersaing. Saling percaya dan memberi ruang kepada pasangan, agar bisa berkembang secara pribadi dan bisa melakukan apa yang diinginkan.

“Kita berhak bahagia, tapi dia juga berhak bahagia,” cetus Ria.

Ria dan Iwan yang kini membangun Papermoon sebagai usaha bersama, menekankan pentingnya komunikasi. Setiap masalah diselesaikan berdua dan tak pernah dibawa ke luar. Mencapai kesetaraan itu akan lebih mudah jika semua dibangun bersama.

Gimana Cara Agar Laki-laki Sadar dan Bisa Ambil Peran?

Di lingkungan patriarkis, mengupayakan relasi sehat tak jarang dibebankan pada perempuan. Padahal, relasi sehat itu tercapai bila adanya kesalingan. Makanya, perempuan dan laki-laki perlu sadar dan ambil peran. Tak terkecuali, membongkar narasi agama kaitannya dengan relasi sehat agar lebih adil gender. 

Grant Nixon, seorang laki-laki yang berprofesi sebagai pendeta pun mengakui sistem patriarkis tak lepas dari penafsiran ajaran agama yang bias di masyarakat. Grant merasa, sebagai laki-laki ia mendapatkan berderet privilege. Bahkan ia merasa di masa lalu termasuk salah satu pelaku dari apa yang disebutnya sebagai ‘penindasan’ dari laki-laki pada perempuan.

Pandangannya berubah setelah ia tergugah untuk menafsir ulang atau merefleksikan apakah yang dialaminya dan dilakukan masyarakat saat ini adalah kodrati atau given, atau sekadar konstruksi dari hasil penafsiran sepihak.

Refleksi ini menumbuhkan kesadaran. Dan kesadaran ini sangat besar pengaruhnya bagi Grant dalam membangun hubungan. Awalnya ia sangat mengontrol apa yang harus dilakukan istrinya, seperti ia selalu meminta sang istri untuk menuruti apa maunya, nggak boleh punya standar berbeda, nggak boleh punya keinginan atau bahkan menyuarakan pendapatnya.

“Perlu kesediaan untuk melepaskan privilege dari penafsiran ajaran agama. Jika laki-laki bersedia melepas privilege yang melekat pada dirinya, maka kesetaraan akan terwujud,” ujarnya.

Orang mungkin masih menganggap aneh tentang menafsir ulang ajaran agama ini. Tapi menurut Grant ini bukan kesalahan apalagi dosa. Yang salah, ujarnya, adalah ketika kita berhasil menafsir ulang, tetapi tidak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Grant mengakui belum bisa sepenuhnya menjalin hubungan yang sehat dan setara. Ia masih belum lepas dari nilai-nilai patriarkis. Ia masih terus berproses dan berusaha untuk menjalin hubungan yang lebih sehat. Baik Grant dna istrinya, sama-sama terbuka untuk berubah.

Ia menegaskan hal penting dalam menjalin hubungan, adalah membahagiakan pasangan.

“Kalau menikah aku mau memberi kebahagiaan pada pasangan. Aku bisa memberi apa pada pasangan?” ujarnya.

Pasangan Mencapai Relasi Sehat, Caranya Gimana?

Psikolog klinis yang mengambil spesialis psikologi anak dan remaja Anastasia Satrio mengatakan, pada dasarnya setiap orang bisa menentukan pilihan apakah akan membangun relasi yang sehat atau sebaliknya.

Relasi yang sehat, paparnya, didasarkan pada respek (penghormatan) dimana kedua belah pihak merasa aman dan mampu memberikan rasa aman. Relasi yang sehat adalah relasi yang setara dan ada ketersalingan. Tidak ada yang berupaya lebih besar ataupun lebih sedikit, tapi kedua belah pihak saling menjaga.

Sebaliknya, hubungan toksik biasanya berlandaskan kekuasaan. Di mana satu pihak menjadi subyek (berkuasa) dan pihak lain hanya menjadi objek. Ada satu pihak yang dominan dan mengontrol pihak lain.

Ditambahkan, sikap seseorang tak lepas dari latar belakangnya, baik sosial budaya maupun ekonomi. Perilaku dan mindset seseorang sangat dipengaruhi oleh cara anak dididik dan dibesarkan.

Cara orang tua melakukan relasi dengan anak sangat mempengaruhi cara pandang anak, atau bahkan jadi standar si anak dalam menjalin relasi.

“JIka seorang anak dibesarkan dalam situasi di mana dia selalu disalahkan atau direndahkan, maka kemungkinan besar dia akan memperlakukan orang lain sebagaimana dia diperlakukan,” ujarnya.

Dan, perilaku ini bisa dideteksi saat pacaran.

“Jadi saat pacaran itu jangan hanya mesra-mesraan, tapi jadikan media untuk saling mengenal agar bisa memahami dan mengerti.”

Anastasia menegaskan menjalin relasi adalah tentang percakapan atau komunikasi, jika sejak pacaran pasangan tidak bisa diajak komunikasi ya tidak usah dipaksakan untuk menikah.

Sayangnya banyak perempuan yang belum sadar akan hal ini. Mereka lebih banyak mendengar suara dominan yang mendesak perempuan untuk segera menikah saat menapaki usia tertentu hingga akhirnya asal comot asal bisa menikah. Bahkan ada perempuan yang merasa bersalah jika harus membuat kriteria untuk pasangannya karena bakal dinilai pilih-pilih atau sok jual mahal.

“Bahkan dalam memilih pasangan ada yang merasa tidak berhak, apalagi menyadari berada dalam hubungan toksik,” ujar Anastasia.

Diingatkan hubungan toksik sangat berdampak pada kesehatan mental seseorang. Penyintas hubungan toksik bisa kehilangan rasa percaya diri dan tak lagi menghargai dirinya sendiri. 

“Akan ada yang menyukai saya nggak?”

“Akan ada yang mau menikah dengan aku nggak?”

Lebih jauh Anastasia memaparkan, orang yang terlibat hubungan toksik sering mengalami graving circle yang tahapannya bisa dijelaskan sebagai berikut.

Tahap pertama adalah denial atau penyangkalan. Dalam tahap ini, ciri-ciri hubungan toksik sudah muncul tapi tidak sepenuhnya disadari bahkan menyangkal apa yang sebenarnya terjadi. 

“Ah, ini dia kebetulan sedang emosi saja, nanti juga akan berubah dan baik-baik saja, itu yang sering muncul di pikiran mereka.”

Selanjutnya adalah marah. Di tahapan ini, mereka sadar telah berada dalam hubungan toksik lantas mulai menyalahkan kenapa ini bisa terjadi. Sasaran kemarahan bisa dirinya sendiri, pasangan, orang sekitar atau bahkan Tuhan.

Selanjutnya adalah tahap depresi, di mana para penyintas hubungan toksik menyesali apa yang terjadi. Tahap ini ditandai dengan kondisi murung, tidak semangat seolah kehilangan energi, menarik diri atau bahkan menangis terus-menerus.

“Jika ada teman yang berada dalam tahap ini, yang bisa kita lakukan adalah menemani. Jangan coba menasehati apalagi menyalahkan,” pesan Anastasia.

Setelah tahapan ini, penyintas akan sadar dan coba mencari bantuan, ingin sharing apa yang dialami kepada orang lain untuk meringankan beban yang dirasakan.

“Diingatkan saja jika tahapan ini tidak berjalan linier tapi bisa maju mundur. Seseorang yang semula sudah berada di tahap bangkit, bisa saja tiba-tiba mundur ke belakang pada tahap marah.”

Ujung dari tahapan ini adalah menerima apapun yang terjadi pada dirinya. Yang akhirnya menemukan makna hidup versi kita sendiri.

“Buat kamu yang berada dalam hubungan toksik, tidak pernah malu meminta tolong. Saat tenggelam, kamu tak bisa menolong diri sendiri. Cari tangan yang bisa menolong mengangkat kamu dari air yang menenggelamkan kamu,” pungkasnya.  

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!