Dead Press Society: Gerilya Media Indie Bersekutu Menjaga Demokrasi

Sebanyak 12 media alternatif atau media indie mengadakan acara bertajuk "Dead Press Society: Gerilya Media Mungil Bersekutu untuk Menjaga Demokrasi".

Sejak kelahirannya media indie telah meniatkan diri untuk memberikan diskursus, wacana baru dan memberikan pilihan alternatif bagi masyarakat. Di tengah keterbatasannya, media indie atau yang sering dikenal sebagai media alternatif ini mencoba melakukan langkah besar: tetap independen dan menyuarakan kepentingan publik.

Sebut saja Media indie Betahita yang lahir karena ingin mencatat kejahatan lingkungan dan aktor-aktor di dalamnya yang selama ini sering tak tersentuh hukum. Floresa lahir karena ingin masyarakat dapat mengakses informasi yang valid dan kritis yang memberitakan secara kritis isu di Flores. Konde lahir karena adanya banyak ketidaksetaraan di media.  BincangPerempuan lahir karena media mainstream jarang mengangkat kisah perempuan lokal yang sering terpinggirkan oleh pembangunan.

Balebengong lahir untuk menepis eufismime media, di mana media massa lebih banyak mengangkat berita tentang penjahat dan pejabat. Project Multatuli lahir untuk mengawasi pemerintahan agar tidak ugal-ugalan dan Suara Kita lahir untuk memberikan ruang bagi LGBT untuk menyuarakan kisah mereka.

Wakil dari media indie ini, Sabtu (21/5/2022) lalu berkumpul dalam acara bincang-bincang dan berpameran yang dihelat sekaligus untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia sekaligus setahun lahirnya Project Multatuli  

Total ada 12 media alternatif yang meramaikan acara bertajuk “Dead Press Society: Gerilya Media Mungil Bersekutu untuk Menjaga Demokrasi” yang digagas dan digawangi Project Multatuli ini. Media itu adalah Balebengong, BandungBergerak, Bincang Perempuan, Betahita, Ekuatorial, Floresa, Konde, Remotivi, Serat, Sinar Pidie, dan Suara Kita.

Ke-12 media ini juga lahir untuk menjadi alternatif pilihan masyarakat dengan menyajikan berita-berita yang selama ini diabaikan atau dilupakan oleh media arus utama. Media massa yang seharusnya menjadi salah satu pilar demokrasi justru menjadi corong penguasa dan segelintir orang yang menguasai modal.

Akibatnya, masyarakat awam yang sebenarnya menjadi mayoritas justru menjadi minoritas. Mereka hanya menjadi penonton dan pendengar. Sementara suara mereka tidak pernah digaungkan apalagi didengarkan. Dalam kondisi seperti ini, media-media alternative mencoba hadir. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, media-media indie mencoba membuat lompatan besar: berusaha tetap independen dalam menyuarakan kepentingan publik.

Acara kumpul-kumpul media alternatif ini digelar di tengah mundurnya iklim demokrasi Indonesia. Kebebasan pers yang diperjuangkan lewat reformasi 1998 hingga kini belum sepenuhnya bebas akibat menguatnya oligarki. Kebebasan pers tak lagi terancam oleh kekuasaan tetapi juga oleh kepentingan ekonomi.

Tema Dead Press Society diambil sebagai – bentuk satir dari film Dead Poets Society – merupakan sindiran bagi mereka yang mengira bahwa pers telah mati di tangan penguasa atau oligarki.

“Sebuah pengingat bahwa kebebasan pers adalah mimpi yang belum selesai dan harus diselesaikan. Dan di tangan jurnalisnya sendiri untuk mewujudkannya,” ujar Direktur Project Multatuli Evi Mariani saat membuka acara.

Memilih menjadi media alternatif yang independen bukanlah jalan mudah, apalagi mayoritas media alternatif menyelami isu sensitive seperti lingkungan, kelompok minoritas, LGBT dan sebagainya.

Persoalan Media Indie: Peretasan, Doxing, Ancaman, Minimnya Dana

Peretasan, doxing, ancaman pembunuhan bahkan kekerasan fisik di lapangan menjadi masalah yang harus sering dihadapi. 

Realitas itu membuat media-media alternatif ini harus ekstra hati-hati dalam menjalankan kerja jurnalistiknya. Apalagi hampir semua media alternatif ini belum terdaftar di Dewan Pers, sehingga berdampak pada keberlangsungan operasional media maupun perlindungan bagi jurnalisnya.

Posisi mereka menjadi sangat rentan jika ada pihak yang memperkarakan berita yang mereka hasilkan.

Project Multatuli juga mengalami hal ini, belum genap setahun berdiri laman Project Multatuli telah dihack karena menayangkan berita tentang korban kekerasan seksual di Luwu yang menyentil pihak kepolisian setempat.

“Untung saat itu banyak kawan yang membantu kami, Tidak bisa dibayangkan jika kami harus menghadapinya sendirian,” ujar Evi Mariani.

Hal yang hampir sama pernah dialami Konde.co di awal berdirinya. Pemimpin Redaksi Konde.co, Luviana mengatakan, Konde pernah disomasi karena memberitakan hasil riset Komnas Perempuan soal kekerasan seksual di Pondok Pesantren, juga twitter Konde pernah diretas dan sering menerima doxing

“Kami saat itu didampingi LBH Pers dan AJI Indonesia,” terang Luvi saat berbicara dalam acara bincang-bincang itu.

Masalah lain yang dihadapi media indie umumnya adalah keberlangsungan media, salah satunya karena keterbatasan dana. Sudah menjadi rahasia umum, mayoritas media alternatif didirikan dengan dana terbatas. Hampir semua media alternatif ini awalnya dibiayai dari kantung para pendirinya dan bisa bertahan hidup berkat semangat jurnalisme dari para pendirinya.

Namun, semangat ini sering tak cukup untuk mewujudkan mimpi para pendirinya. Hal ini yang dialami Floresa yang berkantor di Labuan Bajo. Awalnya Floresa mencetak tabloid secara bulanan, tetapi kini hanya portal yang banyak mengangkat masalah sosial di Flores.

Tak hanya itu, Floresa juga harus merelakan mimpinya untuk bisa melakukan peliputan investigasi yang membutuhkan waktu dan biaya. Kondisi ini membuat itu kolaborasi antar media alternative sangat penting.

“Persekutuan ini bukan hanya di bidang peliputan, namun juga untuk saling mendukung dan melindungi,” ujar Pemimpin Floresa,Rosis Adir.

Persekutuan inilah yang kini sedang dijajagi 12 media indie. Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Lambert Grijns yang hadir dalam acara ini mengatakan demokrasi dan kebebasan pers menjadi perhatian negerinya. Terlebih saat ini Belanda bersama Kanada memimpin Koalisi Kebebasan Media.

Lambert Grijns melihat kemunculan media-media alternatif berperan penting dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Kemunculan media indie terjadi di saat banyak media besar yang dikuasi pemodal, penguasa atau figur-figur partai politik.

Situasi media arus utama itu berdampak pada orientasi pemberitaan. Kebanyakan orientasi media mainstream di Indonesia sangat jakartasentris dan kurang menjangkau daerah-daerah di luar pulau Jawa. Lahirnya media alternatif yang mengengkat isu-isu yang dipinggirkan oleh media arus utama menjadi angin segar bagi masyarakat yang sering kali terabaikan dalam lanskap nasional.

“Namun, kita juga harus jujur dan membuka mata akan keterbatasan yang mungkin dimiliki small journalism. Media alternatif mungkin memiliki independensi yang lebih besar ketimbang media mainstream, baik dari segi isu yang diangkat maupun angle pelaporannya. Namun tidak dapat dipungkiri media kecil memiliki kapasitas yang lebih terbatas dalam melaksanakan tugas kesehariannya,” kata Grijns.

Grijns menekankan pentingnya kolaborasi antara media alternative yang ada di Indonesia. Baik dalam peliputan, pembentukan jaringan maupun dukungan dan saling melindungi.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!