Mengapa Aktivis Tolak Pengesahan RKUHP? Ini 6 Alasannya

Pemerintah bersama DPR kembali merencanakan untuk segera melakukan pengesahan RKUHP, bahkan DPR telah menjadwalkan pengesahannya pada bulan Juli 2022 , yaitu pada akhir Masa Persidangan V DPR Tahun Sidang 2021-2022. Aliansi Nasional Reformasi KUHP dan SETARA Institute menolak Pengesahan RKUHP apabila tanpa pembahasan yang transparan dan ada partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation

Pasca rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI dengan Tim Pemerintah terkait RKUHP pada 25 Mei 2022, hingga diskursus tentang RKUHP merebak seminggu belakangan ini, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengundang Aliansi Nasional Reformasi KUHP untuk berdiskusi terkait isu-isu dalam RKUHP pada 23 Juni 2022

Aliansi menyambut baik undangan dari pemerintah untuk mendiskusikan RKUHP dengan masyarakat sipil, namun diskusi ini bukan bagian dari pembahasan RUU KUHP dengan partisipasi yang bermakna karena seharusnya dilakukan dalam masa sidang di DPR, dan transparan dengan mempublikasikan draf RKUHP terbaru. Namun nyatanya tidak.

Aliansi juga menolak dengan tegas simplifikasi masalah dalam RKUHP bahwa hanya ada 14 pasal krusial untuk pembahasan lebih lanjut dengan DPR. Aliansi menilai bahwa terdapat lebih dari 14 isu krusial yang bermasalah, namun tidak dibahas oleh Pemerintah terutama terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat, yaitu penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 240 RKUHP), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 353 & 354 RKUHP), serta penyelenggaraan unjuk rasa dan demonstrasi tanpa izin (Pasal 273 RKUHP).

Dari tiga jenis penghinaan ini, penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara menjadi perhatian bersama dikarenakan tidak diaturnya delik aduan dalam penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara melalui sarana teknologi informasi (Pasal 354 RKUHP). Hal lain seperti teknis penyesuaian dalam bentuk kodifikasi terhadap tindak pidana di luar KUHP juga belum secara komprehensif diatur, seperti harmonisasi dengan UU ITE, UU TPKS, dan lainnya.

Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/ YLBHI mewakili aliansi menyatakan dalam pers release yang diterima Konde, mereka juga meminta agar Tim Perumus RKUHP, Pemerintah dan DPR terlebih dahulu membuka luas pembahasan RKUHP dan tidak mengesahkan RKUHP tanpa adanya pembahasan dengan partisipasi bermakna sesuai arahan Presiden Jokowi pada 2019.

“Aliansi menilai pemerintah sepertinya masih dalam posisi ingin mengesahkan RKUHP tanpa adanya pembahasan yang lebih dalam, hal ini menurut aliansi bertentangan dengan prinsip keterbukaan itu sendiri. Hal lain, aliansi juga menilai pemerintah tidak merespon terkait permintaan penghapusan pasal-pasal yang bertentangan dengan misi RKUHP untuk melakukan dekolonialisasi, pasal-pasal kolonial seperti penghinaan presiden, penguasa umum, lembaga negara sampai dengan larangan unjuk rasa yang bahkan tak lagi ada di KUHP Belanda, masih ingin dipertahankan.”

Oleh karena itu, mengingat isu-isu krusial dalam RKUHP yang begitu banyak namun disimplifikasi pada 14 isu krusial versi pemerintah, serta ketidakjelasan durasi waktu dan target pembahasan RKUHP, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menolak Pengesahan RKUHP apabila tanpa pembahasan yang transparan dan ada partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

SETARA Institute juga menyatakan bahwa sepertinya tidak ada itikad Pemerintah untuk membuka draft terbaru RKUHP kepada publik. Pembahasan RKUHP ini telah digulirkan sejak puluhan tahun silam, dan terus menjadi bola panas yang mendapat atensi masyarakat setiap kali muncul wacana pengesahan. Sayangnya, draft RKUHP versi terbaru pun masih belum bisa diakses khalayak.

“Lagi-lagi, pembentuk undang-undang abai akan “meaningful participation” yang seharusnya diimplementasikan dalam setiap proses legislasi. Bagaimana masyarakat bisa didengarkan haknya (right to be heard), dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan diberi penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to be explained) jika draft RKUHP sebagai bahan untuk proses deliberatif saja tidak diberikan. Kurangnya ruang deliberatif dalam proses legislasi selama inilah yang menjadi musabab banyaknya penolakan atas berbagai undang-undang, karena proses legislasi yang tidak partisipatif sangat berpotensi mengarah pada produk legislasi yang jauh dari harapan masyarakat. Dalam 3 tahun terakhir, disrupsi legislasi telah diperagakan secara nyata oleh pemerintah dan DPR,” kata Ismail Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Institute

SETARA Institute juga mengingatkan kepada Pemerintah dan DPR untuk membuka kembali dua Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu (1) Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang telah menganulir pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP; dan (2) Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007 yang menegaskan bahwa pasal penghinaan terhadap pemerintah dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP telah bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Oleh karena itu, penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden dan pemerintah yang diejawantahkan kembali dalam RKUHP merupakan sebuah bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK, yang berarti pula pembangkangan terhadap konstitusi. Terlebih, norma tersebut sangat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan. Delik penghinaan tidak boleh digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah maupun pejabat-pejabat pemerintah. Beberapa kasus kriminalisasi para aktivis HAM akibat kritikannya terhadap beberapa pejabat negara yang terjadi belakangan ini seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pencantuman norma pasal penghinaan. Bukan tidak mungkin, rumusan pasal penghinaan khususnya terhadap pemerintah dalam RKUHP akan semakin menjadi alat pemberangusan freedom of expression masyarakat yang mengarah pada shrinking civic space atau pengkerdilan ruang-ruang sipil sekaligus menjadi penanda regresi demokrasi.

Ismail Hasani seperti pers release yang diterima Konde menyatakan bahwaSETARA Institute juga menyayangkan masih adanya pasal soal kohabitasi dalam RKUHP. SETARA mengamini kohabitasi adalah perbuatan amoral, namun tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama secara otomatis dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Terlebih, hukum pidana seharusnya diterapkan sebagai ultimum remidium (upaya terakhir) dalam membenahi persoalan sosial manakala institusi sosial tidak lagi berfungsi. Pasal ini menjadi bukti bentuk intervensi negara yang terlalu eksesif terhadap ranah privat setiap individu.

SETARA Institute menyesalkan masih diadopsinya pidana mati dalam substansi RKUHP.

“Sekalipun pidana mati sebagai ultimum remidium, namun penerapan hukuman mati adalah sebuah paradoks terhadap upaya pemenuhan hak hidup (right to life) yang menurut konstitusi merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun. Terlebih, berdasarkan catatan Amnesty International, tren global pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 142 negara sedang mengarah pada penghapusan hukuman mati, dan hanya 52 negara termasuk Indonesia yang masih konsisten dengan penerapan hukuman mati. Alih-alih menghapus, pemerintah justru menambah deretan regulasi soal pidana mati dengan menyisipkan pidana mati dalam draft RKUHP.”

SETARA Institute juga menyayangkan adanya contradictio interminis perihal pasal penodaan agama. Pasal 302 ayat (1) telah menunjukkan progresivitas paradigma pembentuk undang-undang yang menitikberatkan pada pidana hasutan dan pidana kebencian berdasarkan sentimen keagamaan dan kepercayaan. Namun, dalam ayat (2) pada Pasal yang sama, pemerintah masih mempertahankan pasal penodaan agama yang secara nyata selama ini justru menjadi akar dari banyaknya intoleransi dan diskriminasi. Pasal penodaan agama dalam UU PNPS 1/1965 maupun KUHP seringkali digunakan untuk menghukum interpretasi seseorang yang berbeda dari keyakinan keagamaan mayoritas. Yang seharusnya diatasi oleh pemerintah adalah ekspresi kebencian berdasar sentimen keagamaan/kepercayaan sebagaimana dalam Pasal 302 ayat (1) RKUHP, bukan kelembagaan agama yang selama ini menjadi alasan dominan di balik pasal penodaan agama.

Atas berbagai hal tersebut, SETARA Institute menyatakan mendesak Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM juga Komisi III DPR untuk membuka draft RKUHP versi terbaru kepada publik guna memberikan ruang deliberatif kepada masyarakat untuk mewujudkan prinsip meaningful participation.

Menentang keras dan menolak terhadap pasal-pasal RKHUP yang diskriminatif dan menjadi instrumen pelembagaan pelanggaran hak konstitusional warga negara, kemudian SETARA mendorong DPR bersama Pemerintah untuk kembali mematuhi amanah putusan MK dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden dan pemerintah dalam substansi RKUHP dan mendesak DPR bersama Pemerintah untuk meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak pada kriminalisasi warga negara.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!