Apakah Feminisme Memperjuangkan Penyandang Disabilitas 

Sering ada pertanyaan muncul: apakah gerakan perempuan disabilitas merupakan bagian dari feminisme? Benarkah gerakan perempuan disabilitas dan feminisme merupakan dua kotak yang berbeda, tidak berkelindan, dan tidak satu gerakan? Aktivis perempuan, Myra Diarsi menyatakan, ketika ada ketertindasan, disitulah feminisme ada

Ratumas Dewi, seorang penyandang disabilitas fisik, pernah mengalami diskriminasi berlapis sepanjang hidupnya.

Semasa sekolah, dia kerap kali menjadi korban bullying dari sebayanya. Ini juga terjadi saat dia memutuskan untuk bekerja selepas SMA, Ratumas harus menghadapi realitas nyata susahnya mencari tempat bekerja. 

Suatu waktu, dia pernah melamar untuk bekerja di sebuah butik. Namun saat itu juga, Ratumas mendapatkan penolakan karena kondisi fisiknya yang dianggap tidak mampu untuk bekerja. Di samping, dia juga mendapatkan stigmatisasi. 

“Maaf, kami tidak menerima yang cacat, karena kecelakaan kerja nantinya kami gak punya asuransi. Nanti harus naik tangga di atas. Mengambil barang,” ujar Dewi mengingat perkataan pemilik toko kala itu, dalam diskusi Feminisme dalam Gerakan Disabilitas yang diselenggarakan kerja sama Konde dan Kalyanamitra, Jumat (1/7). 

Perempuan disabilitas hingga kini masih mengalami diskriminasi dan kekerasan di berbagai bidang. Diskriminasi dan kekerasan tersebut diakibatkan oleh kerentanan berlapis karena identitasnya sebagai perempuan dan sebagai penyandang disabilitas. Apalagi bila bersinggungan dengan identitas sosial dan politik lain yang melekat padanya, seperti kelas, agama, pendidikan, geografis, suku, ras, usia, konteks tempat tinggal, dsb maka situasinya semakin terpuruk.

Masih kuatnya hambatan struktural dan kultural yang menihilkan kehadiran dan peran perempuan disabilitas sebagai manusia, yang kemudian berdampak pada sulitnya mereka menikmati hak-hak dasarnya, seperti pendidikan, kesehatan, aksesibilitas dan akomodasi yang layak, pekerjaan dan upah yang layak, dan lainnya. 

Tidak sampai disitu, Ratumas juga pernah mengalami diskriminasi saat melakukan interview kerja. Suatu waktu dia mendapatkan informasi lowongan kerja dari saudaranya di instansi X bahwa mereka membutuhkan pekerja disabilitas. Ia pun melamar dan beberapa hari kemudian dipanggil wawancara. Dari sepuluh pelamar, Dewi satu-satunya penyandang disabilitas. 

Jika dilihat dari kualifikasi, Ia optimis. Dia bakal diterima. Namun ternyata, harapannya pupus. Saat dia tahu bahwa ternyata instansi itu membatalkan secara sepihak kualifikasi penyandang disabilitas dan menerima non-disabilitas. 

“Mereka membutuhkan disabilitas biar “diem di tempat” Kepala Perekrutan bilang. Tapi pas saat itu, bilang lagi tidak menerima disabilitas. Gatau tiba-tiba aturannya berubah, kalau disabilitas nanti susah, kalau ada kejadian apa-apa nanti susah,” kata Ratumas Dewi yang kini menjadi Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Jambi itu. 

Stigmatisasi dan diskriminasi yang dialami disabilitas termasuk perempuannya, masih mengakar secara sistematis. Bukan saja di tengah masyarakat, namun juga negara. Perspektif “belas kasihan” kepada penyandang disabilitas belum mampu menangani permasalahan tersebut. Sebab hal penting tapi justru sering diabaikan selama ini adalah aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. 

“Akar persoalan difabel itu dimana difabel diberi project, diberi sembako, tapi haknya sebagai warga negara (WN) kami gak dapat.. Difabel hanya diberi amplop, difoto, udah,” ujar Ketua Komunitas Interaksi Solo, Pamikatsih. 

Lebih lanjut, Pamikatsih bilang, penyandang disabilitas selama ini kerap hanya menjadi “objek” dibandingkan aktor. Kaitannya dengan kebijakan negara misalkan, penyandang disabilitas tidak dilibatkan. Maka tak heran, jika banyak kebijakan yang tidak inklusi dan tidak sesuai kebutuhan para penyandang disabilitas. 

“Aksesibilitas itu adalah hak kami.. dan itu masih dianggap kami minta hak spesial. Karena mereka gak tau bahwa aksesibilitas itu adalah hak difabel,” katanya. 

Anggota Komisioner Komisi Nasional Disabilitas, Fatimah Asri Mutmainnah menyampaikan, kaitannya dengan hambatan penyandang disabilitas dalam memenuhi kebutuhannya, posisi pendamping kemudian jadi sangat penting. Di samping, tercukupinya aksesibilitas yang layak. 

Di sisi lain, gerakan penyandang disabilitas juga harus berkolaborasi dengan gerakan perempuan dan feminisme yang memang saling terkait. Mesti ada titik temu yang menyatukan keduanya agar menjadi satu gerakan besar yang melawan diskriminasi dan ketertindasan. 

“Gerakan disabilitas adalah gerakan perempuan.. bagaimana kemudian menghilangkan dikotomi (pemisahan) perempuan dan perempuan disabilitas,” katanya. 

Gerakan Perempuan Penyandang Disabilitas itu Feminisme

Gerakan perempuan disabilitas yang memperjuangkan hak-hak perempuan disabilitas telah melakukan berbagai upaya untuk mengikis diskriminasi dan kekerasan yang dihadapi perempuan disabilitas.

Upaya-upaya tersebut telah membuahkan sejumlah kemajuan dan capaian dalam 15 tahun terakhir ini, antara lain berhasil mengadvokasi ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas, mendorong disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang secara spesifik memuat hak-hak perempuan dengan disabilitas, juga kemajuan dalam hal partisipasi dan kepemimpinan perempuan disabilitas dalam organisasi-organisasi masyarakat, jaringan nasional dan internasional, hingga badan HAM PBB.

Gerakan perempuan disabilitas juga terus menyuarakan dan mendorong pengarusutamaan inklusi sosial yang berperspektif gender dan disabilitas di segala bidang kehidupan. 

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah gerakan perempuan disabilitas merupakan bagian dari feminisme? Benarkah gerakan perempuan disabilitas dan feminisme merupakan dua kotak yang berbeda, tidak berkelindan, dan tidak satu gerakan? Jika dalam satu gerakan, bagaimana nilai-nilai feminis diintegrasikan dalam gerakan? Jika tidak satu gerakan, apa saja yang masih menjadi gap dan bagaimana berbagi perjuangan dan menemukan titik temunya? Sejauh mana isu-isu yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan disabilitas dapat beriringan dengan gerakan feminis dan apa yang bisa dilakukan?

Di sisi yang lain, sejauh mana gerakan perempuan disabilitas membangun engagement yang baik dengan lembaga negara? Apa saja yang sudah berjalan baik dan yang masih harus dikolaborasikan? Bagaimana lembaga negara bisa berperan untuk menguatkan gerakan bersama?

Adalah penting untuk mendudukkan kerangka berpikir ini guna menemukan titik perjumpaannya di samping memahami lebih dalam bagaimana keragaman identitas perempuan disabilitas dan pengalaman personalnya dalam memperjuangkan kebutuhannya. Atas dasar inilah, Kalyanamitra hendak menggali bagaimana pandangan dan pengalaman para pegiat isu disabilitas dari sudut pandang perempuan disabilitas dari ragam disabilitas serta lembaga pemerintah yang fokus pada kelompok disabilitas.

Aktivis perempuan, Myra Diarsi, menyampaikan bahwa dimana ada ketertindasan maka disitulah feminisme hidup. Feminisme bisa berarti sebuah gerakan dan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dalam politik, ekonomi, budaya, ruang pribadi hingga ruang publik. 

“Perjuangan itu, melawan belenggu sistem patriarki yang terus tumbuh di masyarakat yang berkaitan erat dengan feodalisme, militerisme dan kapitalisme,” ujar Myra beberapa waktu lalu dalam diskusi Belajar Feminisme bersama Kalyanamitra.  

Berkenaan dengan penyandang disabilitas termasuk perempuan, diskriminasi dan ketertindasan bahkan dimulai dari lingkup terdekat. Yakni keluarga yang semestinya menjadi tempat aman. Hingga munculnya diskriminasi berlapis seperti sulitnya menikmati hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, aksesibilitas, hingga pekerjaan yang layak. 

Maka dari itu, Pamikatsih mengatakan perspektif negara juga harus dibangun agar adil bagi para penyandang disabilitas. Sehingga bisa memberikan hak setara soal akses terlebih ke kebutuhan dasar baik fisik dan non-fisik. Kampanye inklusif menjadi penting. 

Selain itu, dia juga mendorong negara agar menjalankan ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas, mendorong disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 yang telah diperjuangkan selama lebih dari 15 tahun ini. Konvensi itu memuat hak-hak perempuan dengan disabilitas, juga kemajuan dalam hal partisipasi dan kepemimpinan perempuan disabilitas dalam organisasi-organisasi masyarakat, jaringan nasional dan internasional, hingga badan HAM PBB. 

Maka dari itu, menurutnya perlu untuk terus menyuarakan dan mendorong pengarusutamaan inklusi sosial yang berperspektif gender dan disabilitas di segala bidang kehidupan. 

“Gerakan teman-teman difabel juga bisa belajar banyak terhadap gerakan perempuan. Sehingga inklusivitas akan terbentuk,” pungkasnya. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!