‘Endulita, Cucok Meyong’: Kemunculan Gerakan Transpuan Lewat Bahasa dan Komunitas

"Cyinn, endulita, lambretta" adalah sedikit dari bahasa gaul waria atau transpuan yang banyak dipakai. Meskipun Transpuan sulit mendapatkan pengakuan di Indonesia, namun melihat bahasa gaul waria yang banyak digunakan secara massal, ini menunjukkan bahwa sebenarnya pengakuan tersebut telah diam-diam diberikan masyarakat pada transpuan

Banyak sudah penulis, peneliti, aktivis dan seniman yang meneliti dan membuat sendi-sendi pengetahuan penting tentang kemunculan gerakan waria atau transpuan di Indonesia.

Munculnya gerakan waria atau transpuan di Indonesia ini kemudian memunculkan semangat optimisme baru dalam gerakan sosial.

Di masa sekarang, beberapa diantaranya ditandai dengan tumbuhnya organisasi transpuan antaralain munculnya Transchool,Sanggar Seroja, komunitas Fajar Sikka, Inti Muda, Pondok Pesantren Waria, dan juga beberapa komunitas atau kolektif transpuan lain yang tersebar di Indonesia

Gerakan ini maju dengan memperkenalkan identitas transpuan dalam mengadvokasi diskriminasi yang terjadi di lingkungan mereka. Gerakan yang berbasis komunitas ini  mengedepankan perjuangan untuk keberagaman dengan keunikan yang dimiliki para transpuan.

Pengalaman-pengalaman mereka digali lebih dalam dalam organisasi ini, persaudarian transpuan dijalankan sebagai bentuk kebersamaan, mengingat rata-rata transpuan hidup sendiri dan kebanyakan berjuang hidup tanpa keluarga.

Semua organisasi ini kemudian memproduksi pengetahuan yang saya sebut macam-macam warna pelangi, artinya ada makna dari pelangi disana yang dikaitkan dengan jiwa dan kehidupan mereka.

Organisasi pelangi ini selalu melahirkan banyak ide-ide segar,  diantaranya menjelaskan patologisasi transgender, memproduksi video teater, dan memproduksi tulisan berupa antologi, walaupun ini semua masih bergerak secara perlahan dalam bayang-bayang. Artinya negara Indonesia masih belum sepenuhnya menerima identitas waria sebagai identitas baru yang diakui, maka organisasi ini masih berada dalam bayang-bayang ketakutan

Jika kita lihat, meskipun berbeda cara advokasinya pada masing-masing organisasi ini, namun yang perlu dilihat adalah dampak dari advokasi tersebut dan tujuan perjuangannya untuk membebaskan dari diskriminasi, kekerasan dan ketakutan

Sebut saja Sanggar Seroja yang menggunakan  tradisi memperkenalkan kehidupan transpuan melalui akar-akar tradisi lewat medium teater, juga bagaimana cara mereka mengolah limbah menjadi busana. Strategi ini cukup membuat masyarakat kagum karena Sanggar Seroja memperhatikan isu kesetaraan yang berbasis lingkungan.

Kemudian Transchool yang membuat acara sekolah gender dan memperkenalkan keberagaman gender dan seksualitas. Persyaratan transpuan yang diseleksi juga menganut ragam keberagaman bentuk tubuh, rambut dan ekspresi transpuan. Acara transchool ini sukses dan secara konsisten berlangsung hingga sepuluh tahun lebih perjuangannya

Hal lain yang perlu dicatat dalam perjuangan waria ini adalah pengakuan yang tak sengaja dari publik soal bahasa waria. Kenapa saya sebut tak sengaja, karena walau mereka banyak yang tidak mengakui waria sebagai identitas, namun bahasa waria telah banyak digunakan secara massal.

Sejarah bahasa waria memang terkenal di kalangan komunitas waria itu sendiri. Diantara tokoh yang berjasa mempopulerkan bahasa waria di Indonesia yang saya catat, salah satunya adalah almarhum Tata Dado dan almarhum Ade Juwita. Mereka berdua adalah pemain lenong rumpi yang berjaya pada tahun 1990-an.

Bahasa waria ini, sejauh ini sepengetahuan saya, awalnya dicatat oleh Tata Dado. Menurut sumber yang saya ketahui, Tata bahkan selalu membawa notes kemana-mana. Tujuannya, untuk mencatat kata-kata apa saja yang bisa dicipta untuk bahasa waria.

Pada perkembangannya, dalam relasi kuasa yang menindas, bahasa waria masih boleh diterbitkan, walaupun harus memakai judul yang lebih membumi. Kamus bahasa waria itu kemudian diterbitkan dengan nama: kamus bahasa gaul. Kamus itu, beredar luas di kalangan masyarakat umum dan naik cetak hingga cetakan kesebelas. 

Kemudian beramai ramai lah para intelektual dan akademisi membikin kamus, skripsi dan penelitian mengenai bahasa ini.

Saya sebagai waria Indonesia, berbangga hati karena ada kamus gaul yang mengabadikan berbagai macam kosa kata waria. Maka dari itu, saya juga memiliki tanggung jawab untuk melestarikan, membumikan bahasa ini karena ini warisan tradisi tutur waria, saya perlu meneliti kembali asal usul bahasa ini. 

Bahasa asli kelompok waria yang saya tahu, memiliki intonasi bahasa yang unik dan jika diucapkan akan memiliki nada kenes yang khas. Bahasa itu kemudian digunakan dalam percakapan para waria di seluruh wilayah Indonesia. 

Kata kata dalam bahasa waria bisa berakhir dengan akhiran ong akhiran wati atau dengan nama tempat, dan nama seseorang juga neologisme (pengungkapan kata baru), dan pergeseran makna. Contoh kata yang berakhir dengan akhiran ong adalah bencong, sekong, alemong, kemenong, centong contoh kata yang disisipi akhiran wati misal sibukwati, rumpikwati, yang berarti sibuk dan cerewet.

Contoh kata dalam ujaran bahasa waria yang menggunakan pergeseran makna seperti maharani berarti mahal, mursida berarti murah, dan contoh kata yang memakai neologisme memakai kata lamberta labambang sidora dori yang berarti terlambat sekali, maskapai yang berarti masker muka.

Dalam ujaran bahasa waria juga sering memakai nama tempat, nama orang dan nama merek tertentu semisal botol brandy, panasonic, motorola yang berarti pria muda tampan, udara panas, dan kendaraan bermotor.

Kemudian ada juga nama orang seperti kajol, Titi dj, dan machica mochtar yang berarti kata macet dan ucapan agar berhati hati dijalan, kagak jelas atau kakek jelek, dan memakai nama tempat seperti lapangan bola yang berarti lapar.

Tak hanya itu, sarana sosial juga menjadi kegunaan penggunaan bahasa waria. Ini bukti berpengaruhnya kaum waria oleh kalangan heteronormatif, dengan banyak kalangan umum masyarakat secara tidak langsung memakai bahasa waria ini.

Bahasa ini menjadi inklusi dan membuat kaum waria yang mengalami peminggiran menjadi terlihat dan terbaca situasi.

Tanpa itu semua masyarakat kita akan sinis jika melihat Transpuan. Masyarakat akan menjadi paham jika teks-teks beragam yang berisi pengenalan mendalam transpuan dapat dibaca.

Jessica Ayudya Lesmana

Penulis Waria Autodidak dan Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!