Hak Aborsi Di Amerika Dicabut, Bagaimana Nasib Kesehatan Reproduksi Perempuan?

Mahkamah Agung Amerika mencabut hak aborsi bagi perempuan. Kondisi ini akan mencabut hak kesehatan reproduksi perempuan. Sumber utama persoalan ini adalah politik identitas, yang target utamanya adalah menyerang perempuan dan minoritas

Apa hubungan aborsi dengan demokrasi? Atau bahkan logika? Jauh lebih banyak daripada yang Anda bayangkan.

Berikut adalah tanggapan komedian Chelsea Handler tentang isu ini ketika dia bertindak sebagai pembawa acara tamu Jimmy Kimmel Live show pada 28 Juni.

Dia memulai dengan klip video yang menunjukkan poster yang dibuat  para perempuan demonstran:

“Anda [dari Partai Republik] tidak suka memakai masker. Bayangkan dipaksa punya bayi.”

“Kehamilan dimulai dengan penis. Aturlah itu!”

“Tidak suka aborsi? Abaikan saja, seperti kalian mengabaikan penembakan di sekolah.”

Chelsea, mantan anggota partai Demokrat, sekarang independen, melanjutkan monolognya, mengatakan bahwa keputusan itu telah memecah keluarga – mereka yang mendukung hak-hak perempuan, dan mereka yang tidak – dan juga bangsa Amerika.

Perang saudara karena aborsi? Memang, itu bisa terjadi. Baik James Traub di Politico (19 Mei 2022) dan Stephen Marche di The Guardian (16 Juni 2022) menunjukkan bahwa Amerika Serikat berada dalam era perpecahan mencolok yang  mendekati perang saudara. Marche  menambahkan  bahwa penggulingan Roe v. Wade telah memprovokasi “krisis legitimasi, tidak peduli apa afliasi politik Anda”.

Jadi demonstrasi para perempuan di atas menyangkut pembatalan Roe v. Wade, yaitu keputusan Mahkamah Agung tahun 1973 yang menegaskan hampir 50 tahun hak konstitusional untuk aborsi. Lima hakim menentang jajak pendapat Pew Research dan Gallup yang menunjukkan, mayoritas orang Amerika mendukung aborsi antara 61 dan 80 persen. Tak heran ada krisis legitimasi jika lima orang bisa menentukan nasib mayoritas penduduk.

Saya acap bertanya-tanya bagaimana Partai Republik bisa sangat menentang aborsi,  serta menyebutnya “pro-kehidupan”.  Namun pada saat yang sama, begitu bersemangat membela hak memiliki senjata api padahal amat banyak penembakan anak-anak di sekolah terjadi karena kurangnya kontrol senjata. Pada tahun 2022 saja, terdapat 27 penembakan di sekolah dan 250 penembakan massal secara keseluruhan.

Dimana logikanya?

Masalahnya, ini bukan tentang logika atau realita. Ini menyangkut politik. Sejak keputusan Mahkamah Agung AS Roe v. Wade melegalkan aborsi pada tahun 1973, isu ini telah menjadi salah satu garis pemisah yang menentukan dalam politik AS, dimana politisi Demokrat dengan tegas mendukung hak aborsi dan anggota parlemen Republik berada dalam pihak oposisi. Dampak pembatalan Roe v. Wade begitu serius sehingga Umair Haque, seorang pemikir politik terkemuka dan tokoh media populer, menulis kolom berjudul “Akhir Roe adalah Peluru Menembus Jantung Demokrasi Amerika”, dengan subjudul “ Ini Baru Awal Negara Fasis Teokratis yang Mereka Inginkan Selama Ini” (Medium Digest, 26 Juni 2022).

Dalam beberapa tahun ini, saya melihat kesejajaran antara situasi politik AS dan Indonesia.  Kolom Umair menegaskan hal ini, karena sejak sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, kelompok Islam politik berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah.

Di Indonesia, masalah yang kita hadapi merupakan daftar yang sangat panjang, mulai dari degradasi lingkungan, korupsi sistemik,  hingga pelanggaran hak asasi manusia dan hak sipil.

Tetapi saya berpendapat,  sumber utama polarisasi adalah politik identitas, yang target utamanya adalah perempuan dan minoritas, baik agama maupun seksual. Namun “perang  sipil” di Indonesiapun terjadi dengan pelan tapi pasti,  antara kelompok Islamis dan mereka yang ingin berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi Indonesia.

 Isu panas yang setara dengan Roe v Wade di Indonesia adalah tentang pernikahan beda agama. Pasal 28E UUD 1945, menjamin kebebasan beragama, mestinya termasuk kebebasan memilih siapa yang hendak dinikahi tentunya. Jadi seperti Mahkamah Agung Amerika, dengan melarang perkawinan beda agama, Mahkamah Konstitusi Indonesia, juga melanggar konstitusinya sendiri.

 Menjelang pemilihan presiden 2024, suhu politik di Indonesia memanas. Berbagai kampanye dilakukan untuk mendongkrak popularitas para pemimpin partai dan politik, serta untuk menciptakan koalisi yang saling menguntungkan – bagi para politisi, belum tentu bagi rakyat.

Untuk itu, Pusat Media dan Demokrasi dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Publikasi Bidang Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyelenggarakan acara Sekolah Demokrasi di Leiden pada 23-25 ​​Juni, bekerja sama dengan Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) dari Universitas Leiden, Universitas Diponegoro (UnDip) di Semarang dan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), organisasi  mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri.

Direktur Pusat Media dan Demokrasi, penyelenggara Sekolah Demokrasi,  adalah  Wijayanto yang meraih gelar doktor dari Universitas Leiden.

Dalam siaran persnya, dia mengatakan, “Tidak berlebihan jika disebut Pemilu 2024 adalah pertaruhan keberlangsungan demokrasi, karena trend kemunduran demokrasi yang terus berlangsung bahkan mengarah pada putar balik ke arah otoriterisme.”

Memang benar, para aktor politik akan berjuang mati-matian untuk mendapatkan posisi puncak kekuasaan, dengan cara apa pun – politik uang, politik identitas, koalisi kepentingan politik, membuat istri mereka mengenakan jilbab untuk menunjukkan kredensial Islam mereka, dll. Siapa sih yang mereka kelabuhi?

Sekolah Demokrasi memang meliput banyak masalah penting, meskipun seperti yang dikatakan seorang komentator politik senior yang juga mengamati proses itu, yang mereka bahas tidak ada yang baru. Dan mereka mengabaikan satu isu yang sangat penting: gender. Mereka memang menampilkan pakar gender Belanda yang berceramah tentang gender dan pembangunan, namun terkesan seperti upaya tempelan untuk memasukkan gender ke dalam program, tanpa mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan diskusi Sekolah Demokrasi itu sendiri.

Ini adalah satu hal hal yang tampaknya sulit dipahami  oleh akademisi politik laki-laki, bahwa isu-isu perempuan merupakan bagian integral proses demokratisasi. Sukarno (1901-1970), presiden pertama kita, sudah mengetahui hal ini  bahkan sebelum kita merdeka pada tahun 1945. Beliau mengatakan, partisipasi perempuan dalam revolusi merupakan prasyarat untuk memperoleh kemerdekaan.

Jika melihat negara-negara yang memiliki indeks demokrasi tinggi, mereka juga memiliki indeks kesetaraan gender tinggi. Negara-negara seperti Islandia, Finlandia, Norwegia, Selandia Baru, dan Swedia, yang memiliki indeks kesetaraan gender tertinggi – pertama hingga kelima, menurut World Population Review –  juga merupakan negara demokrasi teratas di dunia.

Kebalikannya juga benar. Indonesia jauh di bawah di  68,80 persen, dengan peringkat demokrasi 77. Indonesia tergolong “deficient democracy” (demokrasi yang kurang), sama halnya seperti AS.

Indonesia juga menciptakan kembali tatanan negara kolonial di mana ada kelas pertama, kedua dan ketiga: orang Eropa kulit putih, orang Asia asing (Jepang dan Tionghoa), dan pribumi. Kesenjangan rasial ini merupakan cikal bakal perpecahan konstitusional saat ini antara 1) Muslim Sunni; 2) orang Indonesia yang berbeda agama/keyakinan dan kepercayaan yang dianggap sah di bawah doktrin negara Pancasila dan (3) sekte “sesat” seperti Syiah, Ahmadiyah dll.

Terus terang, tidak ada masa depan bagi negara yang membuat undang-undang memecah belah semacam ini, yang hanya mengarah pada disintegrasi. Yang dibutuhkan Indonesia adalah integritas bukan formalisme agama dan kemunafikan spiritual.

Dengan penggulingan Roe v. Wade, Amerika mengobarkan perang terhadap warga perempuannya, yang akan mengakibatkan penurunan, bahkan mungkin kematian, demokrasi di negara yang mengaku menjunjung tinggi kebebasan dan hak individual ini.

Indonesia harus memperhatikan, juga semua akademisi laki-laki di luaran sana, bahwa hal ini juga bisa terjadi di negara ini. Penargetan atau pengabaian hak-hak perempuan adalah indikator pertama terbaliknya demokrasi menjadi otoritarianisme.

(Tulisan ini merupakan terjemahan “Roe v. Wade and Indonesia’s 2024 presidential election”, yang dipublikasikan di The Jakarta Post 6 Juli 2022)

Julia Suryakusuma

Penulis buku "Ibuisme Negara" dan "Jihad Julia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!