Femisida Terjadi Karena Pelaku Merasa Superior dan Misogini Terhadap Perempuan

Di Indonesia, pembunuhan perempuan berbasis gender atau femisida jumlahnya naik tiap tahunnya. Femisida didorong oleh adanya perasaan superior, dominan, maupun misogini terhadap perempuan

Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan pernah menulis di Konde.co, bahwa sepanjang tahun 2020 terdapat 97 kasus pembunuhan terhadap perempuan atau femisida. 

Femisida ini dilakukan dengan pemicu terbesar adalah laki-laki pasangan yang cemburu, tersinggung oleh karena alasan maskulinitas, menolak berhubungan seksual dan didesak bertanggung jawab atas kehamilan. 

Selain itu pemicu femisida juga berasal dari konflik rumah tangga, seperti poligami, tidak mau bercerai, meminta cerai atau pisah, karena kebutuhan materi, peran tradisional perempuan serta kehormatan keluarga.

Isu femisida ini telah menjadi perhatian dunia, karena sifatnya sebagai manifestasi diskrimininasi terhadap perempuan. Pelapor Khusus PBB (2016) mendefinisikan femisida sebagai:

“The killing of women because of their sex and/or gender. It constitutes the most extreme form of violence against women and the most violent manifestation of discrimination against women and their inequality”.

Salah satu bentuk femisida adalah pembunuhan oleh pasangan baik suami atau pasangan intim. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Global Study on Homicide yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang menemukan bahwa 87.000 perempuan dibunuh pada tahun 2017. Lebih dari setengahnya (58%) atau sekitar 50.000 dibunuh oleh pasangan intim atau anggota keluarga, dan lebih dari sepertiga atau 30.000 perempuan dibunuh oleh pasangan intim atau mantannya.

Femisida diartikan sebagai pembunuhan yang dilakukan secara sengaja terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya. Femisida biasanya didorong oleh adanya perasaan superior, dominasi, maupun misogini terhadap perempuan, rasa memiliki perempuan, ketimpangan kuasa dan kepuasan sadistik.

Melihat banyaknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, tidak sedikit yang berujung pada terbunuhnya perempuan atau yang disebut dengan femisida ini. Istilah femisida pertama kali diperkenalkan oleh Diana Russel (1976) pada International Tribunal on Crimes Against Women. Saat itu, femisida diartikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan oleh laki-laki (tribunnews.com, 07/03/2022).

Komnas Perempuan dalam siaran pers yang berjudul “Femisida: Tuntutan Pembaruan Hukum Dan Kebijakan Menyikapi Ancaman” pada tahun 2020 mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya. Oleh karena itu, femisida muatannya berbeda dari pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. Femisida bukanlah kematian sebagaimana umumnya melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis dan terjadi baik di ranah privat, komunitas maupun negara (Komnas Perempuan, 2020).

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan terhadap berita media daring sepanjang 2019 tentang femisida, tercatat 145 kasus pembunuhan terhadap perempuan yang masuk dalam kategori femisida. Meski demikian, jumlah tersebut hanya sebatas kasus femisida yang diliput oleh media massa dan belum terhitung yang tidak diberitakan. 

Lima peringkat teratas untuk relasi pelaku dengan korbannya meliputi suami (48 kasus) yang menunjukkan bahwa sebagian besar femisida dilakukan oleh suami terhadap istri. Selanjutnya, relasi pertemanan (19 kasus), relasi pacaran (13 kasus), kerabat dekat (7 kasus), dan belum diketahui (21 kasus). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa relasi pelaku dengan korban sebagian besar masih berada dalam ranah relasi personal (Komnas Perempuan, 2020).

Butuh Perhatian Negara

Melihat banyaknya kasus femisida di Indonesia, sudah sepantasnya hal ini menjadi perhatian serius pemerintah. Tulisan ini mencoba memberikan beberapa usulan langkah yang perlu diambil pemerintah. Pertama, membuat data terpilah terkait kasus pembunuhan terhadap perempuan. 

Tujuannya adalah agar pembunuhan terhadap perempuan tidak dipandang sama dengan pembunuhan pada umumnya. Selain itu, data terpilah ini juga menjadi tolok ukur kasus femisida yang terjadi di Indonesia.

Kedua, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) perlu membentuk unit khusus terkait kasus femisida di Indonesia. Tugas dan fungsi utama unit khusus tersebut adalah memantau perkembangan kasus femisida di Indonesia. Lebih lanjut, unit khusus tersebut dapat memberikan masukan terkait hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan femisida di Indonesia. Kehadiran unit khusus femisida menjadi penanda bahwa pemerintah secara serius menangani kasus femisida di Indonesia.

Ketiga, mengintegrasikan femisida sebagai tindak pidana penghilangan nyawa berbasis gender dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tengah membahas RUU KUHP. Terdapat pembaruan dalam RUU KUHP yang berkaitan dengan pembunuhan, diantaranya adalah pasal 462 ayat (2) yang berbunyi “Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap ibu, Ayah, istri, suami, atau anaknya, pidana dapat ditambah 1/3 (satu per tiga)” dan pasal 245 yang berbunyi “Setiap Orang yang melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, perkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan Kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, ancaman pidana ditambah 1/3 (satu per tiga)”

Perubahan pada pasal 462 ayat (2) memperlihatkan terdapat penambahan hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap ayah, ibu, istri, suami, atau anaknya. Meskipun kasus femisida yang terjadi menunjukkan bahwa mayoritas pelaku dan korban memiliki hubungan kekeluargaan, tetapi bukan berarti tidak bisa menimpa perempuan yang tidak memiliki hubungan keluarga. Oleh karena itu, penting untuk menambahkan poin tentang penambahan hukuman terkait pembunuhan terhadap perempuan.

Selain itu, pada pasal 245 terdapat penambahan hukuman bagi pelaku pembunuhan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis. Untuk itu, pada pasal 245 ini perlu ditambahkan kata gender sebagai penambahan bentuk hukuman terhadap pelaku femisida.  

Kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia merupakan fenomena sosial yang meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Catahu Komnas Perempuan) tahun 2022, kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan mengalami peningkatan signifikan menjadi 459.094 kasus dari tahun sebelumnya sebanyak 226.062 kasus (Komnas Perempuan, 2022).

Masih berdasarkan Catahu Komnas Perempuan tahun 2022, KBG terhadap perempuan terbagi ke dalam tiga ranah. Pertama, ranah personal, yaitu kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam ruang privat dengan pelaku orang yang memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan maupun relasi intim dengan korban. Bentuk kasus kekerasan terhadap perempuan dalam ranah personal seperti kekerasan terhadap istri, kekerasan oleh mantan suami, kekerasan dalam pacaran, kekerasan oleh mantan pacar, kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dan kekerasan oleh pelaku lainnya dalam relasi personal pada lingkup rumah tangga. Kekerasan pada ranah personal ini paling banyak terjadi berdasarkan Catahu Komnas Perempuan tahun 2022 mencapai 335.399 kasus (99,09%).

Kedua, ranah publik, yaitu kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam ruang publik, seperti di ranah daring (online), di tempat tinggal, di tempat umum, di tempat pendidikan, di tempat kerja dan di fasilitas medis. Berdasarkan Catahu Komnas Perempuan tahun 2022, kekerasan di ranah publik terjadi sebanyak 3.045 kasus (0,9%).

Ketiga, ranah negara, yaitu kekerasan yang dilakukan aparatur negara dalam hubungannya dengan pemenuhan kewajiban negara terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan. Kekerasan oleh negara sebagai pemegang kendali kekuasaan merupakan penyalahgunaan kekuasaan publik (abuse of public power) yang tercermin dalam berbagai tindakan pemaksaan, represi, penangkapan dan penculikan sewenang-wenang, bercampur baur karena adanya pengendalian keamanan nasional pada situasi konflik dan kerusuhan. Berdasarkan Catahu Komnas Perempuan Tahun 2022, kekerasan di ranah negara terjadi sebanyak 52 kasus (0,01%).

Pada intinya, penting bagi negara untuk memberikan perhatian serius terhadap kasus femisida yang terjadi dan terus meningkat setiap tahun di Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi publik untuk terus mengingatkan negara untuk mengambil sikap guna mengatasi permasalahan tersebut.  

Ahmad Hidayah

Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!