Ilustrasi bullying anak

Darurat Bullying Anak, Orang Tua dan Guru Jangan Lengah

Kasus bullying atau perundungan yang melibatkan anak-anak sebagai korban dan pelaku di Indonesia makin mengkhawatirkan. Perundungan dapat menimbulkan agresi, seperti siswa di Temanggung yang membakar sekolahnya karena di-bully belum lama ini. Atau, lebih parah lagi, sampai merenggut nyawa korban.

Seorang siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Temanggung, Jawa Tengah, membakar ruang kelasnya pada Selasa (27/6/2023). Diketahui, ia sakit hati lantaran kerap di-bully atau dirundung oleh teman-temannya. Selain itu, remaja berusia 13 tahun itu merasa tugas dan karyanya kerap tak diapresiasi, sehingga ia melakukan aksi tersebut.

Di tempat lain—Medan, Sumatera Utara—seorang pelajar kelas 1 Sekolah Dasar (SD) meninggal dunia pada 27 Juni 2023. Diduga akibat perundungan. Korban pernah mengaku pada ibunya bahwa ia dianiaya oleh anak-anak kelas 4 dan 5 yang tinggal di lingkungan rumah mereka. Meski sempat dibawa ke rumah sakit untuk mencari pertolongan, nyawanya tak terselamatkan.

Terjadi dalam waktu berdekatan, rentetan kasus bullying atau perundungan terhadap anak yang terjadi di Indonesia kian mencemaskan. Perundungan dapat terjadi dan dilakukan siapa saja, bahkan sangat rentan di kalangan anak-anak. Kasus bullying atau perundungan tidak boleh diabaikan. Sebab dampaknya bisa panjang terhadap korban maupun pelaku anak-anak. Bukan cuma kesedihan dan sakit hati, perundungan bisa berujung pada kehilangan nyawa.

Baca Juga: Lola Diperkosa Kakek dan Hidup Dengan Trauma: Nestapa di Tana Humba

Yang menyedihkan, kabar perundungan yang memakan korban di Indonesia bukan hal baru. Setiap bulan, kalau tidak beberapa minggu sekali. Kita tentu pernah setidaknya mendapati satu berita tentang kasus bullying yang pelaku dan korbannya adalah anak-anak.

Jika menengok ke belakang, kasus perundungan yang berakhir dengan korban jiwa bukan 1-2 kali terjadi. Di tahun 2020 silam, misalnya, geger seorang murid SMP di Jakarta bunuh diri di sekolah diduga akibat bullying. Tahun 2022, seorang anak berusia 11 tahun di Tasikmalaya, Jawa Barat mengalami perundungan dan kekerasan seksual dari siswa-siswa lain di sekolahnya hingga ia depresi dan meninggal dunia.

Perundungan di kalangan anak-anak marak terjadi dan tidak jarang tanda-tandanya kasat mata. Entah berupa luka fisik atau perubahan perilaku yang berkaitan dengan luka psikis. Namun, sering pula hal-hal tersebut luput atau diabaikan oleh orang-orang dewasa di sekitar anak. Sederetan kasus perundungan yang ramai dibahas belakangan ini mestinya menyadarkan kita semua. Betapa darurat kondisi perundungan anak di Indonesia, dan hal ini harus mendapat perhatian serius dari semua pihak.

Situasi Perundungan Anak di Indonesia

Indonesia pernah menjadi negara dengan jumlah murid mengalami perundungan terbanyak kelima dari 78 negara di dunia, berdasarkan hasil riset Programme for International Studies Assessment (PISA) 2018. Dibandingkan dengan negara-negara anggota OECD yang rata-ratanya hanya sebesar 22,7%, Indonesia berada jauh lebih tinggi dengan angka 41,1%—tentu seharusnya memancing perhatian serius terhadap situasi perundungan anak di Indonesia.

Menurut data Kasus Perlindungan Anak 2016-2020 dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 122 laporan anak korban kekerasan di sekolah (bullying). Di tahun 2017, laporan mencapai angka 129; meski terjadi penurunan sepanjang tahun 2018-2019, yakni 107 laporan menjadi 46, kasus tercatat mengalami peningkatan di tahun 2020 dengan 76 laporan bullying di sekolah.

Sementara itu, laporan anak sebagai pelaku bullying di sekolah menunjukkan angka tertinggi di tahun 2016, dengan catatan hingga 131 kasus. Tentunya laporan yang tercatat bukan semata-mata patokan; hanya semacam ‘puncak gunung es’ kasus perundungan anak di Indonesia, dengan jauh lebih banyak lagi yang tak terungkap di bawah permukaan. 

Baca Juga: Riset: Bullying Pada Anak Muda Sebabkan Stres, Depresi Dan Bunuh Diri

Data terbaru KPAI menunjukkan, ada 454 kasus terkait anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis sepanjang Januari-November 2022. Secara umum, KPAI menerima 4.124 aduan terkait kasus perlindungan anak pada rentang waktu tersebut.

Pada tahun 2022, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendata sebanyak 226 kasus kekerasan fisik dan psikis terjadi pada anak, termasuk bullying. Selain itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 mencatat laporan empat dari 10 anak perempuan dan tiga dari 10 anak laki-laki usia 13-17 tahun, pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun sepanjang hidupnya.

Beberapa tahun sebelumnya, SNPHAR 2018 menunjukkan, tiga dari empat anak-anak dan remaja yang pernah mengalami salah satu jenis kekerasan atau lebih, melaporkan bahwa pelaku kekerasan adalah teman atau sebayanya.

Ada sejumlah jenis perundungan yang kerap terjadi pada anak-anak. Dalam berbagai kasus, korban dipukul dan disuruh-suruh, barangnya diambil dan dihancurkan, diancam, diejek, dikucilkan, hingga disebarkan rumor aneh-aneh mengenai dirinya.

Bukan hanya itu, perundungan anak juga rentan terjadi di ranah daring (online), juga dikenal sebagai cyberbullying. Menurut data KPAI, angka tertinggi laporan anak korban bullying di media sosial ditemukan di tahun 2019 sebanyak 117 kasus.

Plt Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Anggin Nuzula Rahma pernah menyinggung soal cyberbullying. Hal tersebut disampaikannya dalam acara Webinar Series ‘Stop Tradisi Bullying di Satuan Pendidikan, yang digelar secara daring pada 5 Desember 2022.

Cyberbullying ini yang juga marak terjadi saat ini. Oleh karena itu, pencegahan kekerasan melalui satuan pendidikan bukan hanya dilakukan melalui slogan-slogan yang ada, tapi harus dilakukan secara menyeluruh melalui proses peneladanan yang dilakukan dalam kegiatan sehari-hari,” jelas Anggin.

Kebijakan tentang Bullying di Indonesia

Sebetulnya sudah ada kebijakan hukum di Indonesia yang mengatur tentang bullying pada anak, khususnya di lingkungan pendidikan. Salah satunya, Peraturan Menteri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sekolah dianjurkan untuk memiliki sistem pengaduan dan pelaporan yang melindungi korban perundungan.

Sayangnya, hal tersebut masih lebih tampak sebagai imbauan ketimbang kewajiban. Alhasil, masih banyak sekolah yang belum mengakomodir sistem tersebut dan membuat laporan terkait perundungan hanya dilihat sebagai ‘angin lalu’.

Di sisi lain, orang-orang dewasa di institusi pendidikan juga belum menganggap perundungan pada murid sebagai sesuatu yang serius. Pembiaran membuat bullying di sekolah tetap mengancam anak, sebagai korban maupun pelaku.

Dampak Perundungan Anak, Agresi Hingga Bunuh Diri

Perundungan atau bullying yang menyebabkan luka fisik, biasanya lebih kasat mata. Tapi luka psikis dan emosional dari perundungan pada korban anak-anak kerap sulit terbaca, kalau bukan diabaikan. Pengabaian itulah yang berbahaya dan membuat korban semakin terpuruk.

Nyatanya, perundungan bisa berdampak serius pada kondisi psikis dan emosional anak. Sakit hati dan kemarahan akibat dirundung rekan-rekan sekolah memicu agresi; seperti ketika siswa SMP di Temanggung membakar ruang kelas di sekolahnya.

Kalau tidak, perasaan tertekan, sedih, malu, dan kesepian membuat korban anak stres, depresi, hingga kesehatan fisiknya memburuk dan ia meninggal dunia. Tak jarang pula, perundungan yang dialami anak memicu dendam dan membuat korban berbalik jadi pelaku di lain kesempatan. Hal itu membuat siklus bullying kian sulit terputus.

Sementara itu, menurut hasil riset Muhammad Haekal dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry terhadap lima mahasiswa di beberapa universitas di Aceh, trauma perundungan sejak dini bakal dibawa hingga dewasa. Hal ini tentu memprihatinkan, sebab justru anak-anak di Indonesia cenderung mulai mengalami perundungan sejak masih duduk di bangku kelas 4 SD.

Baca Juga: Bagaimana Atasi Stigma di Komunitasmu Sendiri? Stigma Tak Hanya Dari Luar, Tapi Juga Di Dekatmu

Bahkan, perundungan dapat memicu dorongan untuk bunuh diri pada anak, dan ini kadang terlewatkan dari perhatian orang-orang di sekitar sang anak hingga skenario terburuk keburu terjadi. 

Mengutip dari MedicineNet, “Anak-anak yang dirundung—juga yang merundung orang lain—lebih mungkin berpikir dan melakukan aksi bunuh diri.” 

Perundungan yang dimaksud bisa terjadi secara daring maupun luring. Sementara itu, sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal JAMA Pediatrics menemukan bahwa anak-anak dan remaja yang mengalami perundungan di internet, “Nyaris tiga kali lebih cenderung memiliki pikiran untuk bunuh diri dibandingkan temannya yang tidak mengalami hal itu.”

Orang Dewasa Mesti Peka, Jangan Meremehkan

Masalahnya, bullying atau perundungan anak masih sering dianggap angin lalu oleh orang dewasa—orang tua di rumah maupun guru di sekolah. Kerap kali kekerasan yang terjadi antara anak-anak dianggap sebagai lelucon saja. Anak biasanya disuruh untuk tidak menghiraukan kata-kata dan perlakuan yang membuatnya sakit hati.

Atau lebih buruk lagi, orang dewasa malah turut memojokkan korban, menuduhnya cengeng atau ‘cari perhatian’ ketika mengadu.

Dalam Webinar ‘Stop Tradisi Bullying di Satuan Pendidikan‘ tahun 2022 silam, Plt Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan KemenPPPA Anggin Nuzula Rahma mengatakan, “Banyaknya kasus bullying yang terjadi di satuan pendidikan, bukan hanya terjadi sesama siswa, tapi dapat juga terjadi pada para pendidik dan tenaga kependidikan.”

Menurut Anggin, tidak sedikit guru ‘mendisiplinkan’ murid dengan melakukan kekerasan. Hal itu sesungguhnya juga merupakan bullying atau perundungan terhadap siswa.

Siklus perundungan anak jangan pernah dibiarkan terus bergulir. Orang dewasa punya peran penting untuk memutus mata rantai bullying pada anak. 

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai orang tua maupun guru ketika anak menjadi korban perundungan.

Pertama, jangan panik dan, terutama, jangan pernah meremehkan anak saat ia melaporkan perundungan. Ingat bahwa anak butuh didengarkan di tengah perasaan takut dan kalut. Dengarkan dan yakinkan anak bahwa mendatangi orang dewasa adalah hal yang tepat. Mendokumentasikan keterangan anak terkait kasus perundungan yang dialaminya juga penting untuk kebutuhan laporan pada pihak berwenang jika dibutuhkan.

Terkait hal tersebut, Konde.co pernah mewawancarai Rita Pranawati, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua KPAI, pada 25 Juli 2022. Menurutnya, pihaknya mendesak harus terus dilakukan edukasi di kalangan masyarakat, khususnya orang tua yang memiliki anak.

Keluarga dan orang dewasa harus bisa memberikan contoh yang baik, saling menghormati, dan tidak melakukan perundungan maupun kekerasan yang kemudian ditiru oleh anak-anak.

“Internalisasi ini, anak agar melihat bagaimana orang mempraktikkan saling menghargai,” katanya.

Baca Juga: Kesehatan Mental: Bullying Bisa Sebabkan Depresi Fatal Pada Anak

Kemudian, orang dewasa sebaiknya tidak menyalahkan anak atas perundungan yang dialaminya. Jangan pula mendukung aksi kekerasan untuk balas dendam terhadap perundung; bukan solusi, hal itu justru membuat anak berpotensi balik menjadi pelaku suatu saat nanti.

Anak memang sebaiknya bisa membela diri, tapi bukan dengan membalas kekerasan dengan kekerasan. Yang dibutuhkan adalah sosok yang tepat untuk mencari pertolongan dan keamanan; pastikan hal itu ada bagi anak.

Orang dewasa juga bisa membantu anak untuk memutuskan langkah-langkah yang akan ia ambil berikutnya. Mengidentifikasi berbagai opsi yang anak pikirkan dapat menolongnya mencari solusi terbaik, sekaligus menjauhkannya dari risiko lebih buruk dari perundungan yang dialami.

Terakhir, orang tua murid dan guru harus lebih peka dan tidak mengabaikan tanda-tanda perundungan pada anak. Ciri-ciri non-fisik pada anak, seperti stres, nafsu makan menurun, hingga depresi mestinya jadi ‘alarm’ peringatan bahwa ada yang tidak beres.

“Ini balik lagi tergantung pada pola pengasuhan dan komunikasi. Kayak, kalau anak mengadu malah dimarahi, kan, gak harusnya gitu. Makanya, ini pola komunikasi menjadi bagian penting agar anak-anak terbuka untuk bercerita (dengan aman–red),” kata Rita kepada Konde.co kala itu.

Baca Juga: Aktivis Desak KPI Bentuk Tim Independen Kasus Kekerasan Seksual

Lantas, bagaimana jika anak justru menjadi pelaku perundungan? Situasinya mungkin lebih sulit bagi orang tua, tapi sekali lagi, jangan panik apa lagi menolak. Orang tua bisa mulai dengan menanyakan perasaan anak apabila ia berada dalam posisi sebagai korban perundungan. Selain itu, apresiasi atas kelakuan baik anak mungkin dapat mengurangi tendensi menjadi pelaku perundungan.

Stimulus perilaku positif juga sebaiknya terus dijalankan pada anak pelaku bullying. Yang tak kalah penting, empati anak mesti lebih dikembangkan agar ia memahami efek perundungan dan kekerasan terhadap orang lain. Dengan demikian, siklus perundungan bisa mulai menemui ujungnya.

Entah anak sebagai korban atau pelaku, yang jelas orang tua dan guru pun sebaiknya menjalin diskusi mengenai urgensi kasus perundungan, terutama di lingkungan pendidikan. Anak harus berada di lingkungan yang aman untuknya belajar dan bermain. Sekali lagi, penting bagi pihak sekolah untuk memiliki sistem untuk mengawasi dan mencegah kasus perundungan di lingkungan anak, agar siklus ini tidak memakan lebih banyak korban.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!