5 Film Perempuan Yang Bisa Kamu Tonton di Akhir Tahun

Gabut dan gak tahu mesti ngapain di akhir tahun? Kamu bisa nonton film-film feminis. Film ini akan memberikanmu pengetahuan bagaimana melihat perspektif perempuan.

Libur akhir tahun sebentar lagi tiba, horaayy!. Momen liburan emang paling ditunggu-tunggu. Pas banget akhir tahun ini, liburan sekolah, natal dan tahun baru jadi kamu bisa manfaatkan buat nonton film seru. 

Sekalian menghabiskan waktu santai, kamu bisa menonton film-film soal isu perempuan yang banyak memberi pelajaran. 

Konde.co merangkum 5 film rekomendasi yang bercerita mulai dari perempuan disabilitas yang berdaya, semangat perjuangan perempuan melawan patriarki hingga perempuan yang melawan arus atas standar kehidupan dan bisa meraih kebahagiaannya.  

1.Film City of Joy (2008), Perempuan Kongo Berjuang Melawan Kekerasan Seksual 

Film ‘City of Joy’ memang sudah belasan tahun lalu tayangnya, tapi film dengan latar pertambangan ini tetap layak ditonton. 

Sepenggal kisah dalam film “City Of Joy” ini bercerita tentang lembaga yang membantu para korban kekerasan seksual di Kongo yang dilanda perang. Lembaga City Of Joy inilah yang kemudian melakukan upaya untuk mengembalikan jati diri dan kekuatan para perempuan korban kekerasan seksual. 

Konflik dan perkosaan ini menimpa para perempuan di Kongo Timur. Kala itu,  penguasaan tambang dan perkosaan bukan hanya sebagai kejahatan seksual, tetapi perkosaan menjadi bagian dari perang atau sebagai strategi perang. 

Semua berawal pada tahun 1994 ketika ribuan prajurit Rwanda terlihat mendaki gunung-gunung mendekati wilayah tambang. Tahun 1996, Perang lalu dimulai di wilayah Kongo bagian Timur. 

Saat itu, masyarakat tidak benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi. Awalnya, terlihat sebagai perang ekonomi yang melibatkan semua negara besar di Dunia. Mereka sengaja membuat kekacauan di desa-desa agar dapat mengontrol pertambangan.

Ialah Christine Schuler-Deschryver yang pertama mengidentifikasi kondisi ini. Ia terlahir dari ayahnya yang berasal Belgia dan ibunya dari Kongo. Kedua orangtuanya bertemu saat Belgia menjajah Kongo, dan Christine memihak rakyat Kongo yang berjuang melawan penjajah. 

Dukungan Christine kepada Kongo terlihat jelas saat ia melihat peta dengan tanda perkosaan dan pertambangan. Ia juga melihat fakta, perkosaan banyak terjadi di desa-desa di sekitar area tambang. Hal itu dipicu oleh orang-orang penting dan perusahaan multinasional mempekerjakan prajurit dan milisi, karena mereka dianggap lebih mengenal hutan dan tahu bagaimana cara menjaga tambang.

Di pertambangan itu, milisi adalah budak. Namun, meski mereka hidup dalam kemiskinan, mereka bagaimanapun juga tetap memiliki senjata. Mereka punya senapan, sehingga mereka beranggapan bisa makan, tidur, dan bisa sesukanya memperkosa perempuan. Milisi lantas menyerang desa-desa, memperkosa anak-anak, ibu-ibu, nenek-nenek. 

Lantas, apa yang dilakukan para perempuan korban perkosaan yang selamat itu? Apakah mereka memilih pergi meninggalkan desanya dan mengungsi ke tempat lebih aman atau justru bertahan?

2.Film Sand Storm (2016), Perempuan Arab Melawan Patriarki

Nonton film ‘Sand Storm’ ini bisa bikin kamu kayak ngerasa terhubung. Sama seperti yang terjadi di sekitar kita, budaya patriarki di Arab ini berkaitan erat dengan isu domestik, ketidakadilan peran sampai poligami. 

Film ini memberikan pelajaran bahwa setiap perlawanan terhadap patriarki, dengan cara-cara yang agresif maupun tidak, harus dirayakan. 

Film yang pertama rilis pada 2016 ini, menyabet berbagai penghargaan internasional seperti Grand Jury Prize untuk kategori World Cinema Dramatic dari Sundance Film Festival 2016 dan Best Film Award dari the Ophir Awards.

Sebagai perempuan yang tinggal di antara komunitas Arab Badawi di Israel Selatan, kebebasan Layla memiliki batas. Ia tidak boleh memilih calon suaminya sendiri, apalagi yang berbeda suku dengannya. ‘Badai’ pun bermula ketika Layla mencoba memperkenalkan laki-laki pilihannya kepada ayahnya.

Sebagaimana kebanyakan keluarga konservatif-patriarkis umumnya, ayah Layla tampaknya menjadi satu-satunya pemilik pendapatan di rumah. Sementara Jalila bertugas mengurus anak-anak mereka. Alhasil, Suliman merasa memiliki kuasa untuk menjadi satu-satunya pengambil keputusan di dalam keluarga, termasuk soal dengan siapa Layla harus menikah.

Ayah Layla adalah laki-laki yang dapat kita temukan dengan mudah di mana-mana di keseharian kita. Laki-laki yang tampak mendukung perempuan bersekolah, berkendara, dan bekerja, tapi diam-diam membuat “batasan” tentang apa yang boleh perempuan pelajari, kendarai, dan kerjakan. 

Mereka masih mempercayai bahwa sedikit kebebasan yang mereka–sebagai pemilik modal dan kuasa utama di rumah–berikan kepada perempuan untuk belajar, berkendara, dan bekerja hanya untuk melengkapi kemampuannya menjadi istri dan ibu yang baik nantinya.

Lebih jauh lagi, mereka bisa membatasi apa yang perempuan boleh katakan, pakai, dan kapan perempuan seharusnya pulang. Lalu, bagaimana Layla berjuang melawan patriarki yang membelenggunya itu? 

3.Film ‘The Worst Person in the World’ (2021), Tak Harus Menikah dan Punya Anak untuk Disebut Perempuan

Film “The Worst Person in The World” (2021) merupakan dark romantic comedy garapan sutradara Joachim Trier yang menyajikan kisah seorang perempuan, Julie yang sedang mencari jati diri. Julie yang sedang menghadapi masa krisis perempuan yang sedang menuju usia 30 tahun. Ia memilih tak cepat menikah, juga tak punya anak. 

Melalui film yang mendapatkan nominasi Oscar 2022 untuk Best Original Screenplay dan Best International Feature Film ini, Trier menyajikan narasi bahwa kebingungan serta proses pencarian jati diri bisa begitu indah, dan mungkin harus dicoba. Kadang, dalam proses pencarian jati diri itu kita sering kebingungan atau bahkan melakukan kesalahan. Tapi tak apa, dari semua itu kita bisa mengambil banyak pelajaran.

Berbahasa Norwegia, film komedi romantis ini di awalan film berfokus pada seorang perempuan bernama Julie (Renate Reinsve). Di bangku kuliah, ia berpindah dari jurusan bedah medis ke psikologi. Belum juga benar-benar mendalami bidang yang berkaitan dengan jiwa manusia itu, ia sudah merasa tertarik dengan bidang lain: fotografi.

Bersamaan dengan itu, Julie juga bergonti-ganti pasangan, tetapi dari banyak pasangan Julie praktis hanya Aksel (Anders Danielsen Lie) dan Eivind (Herbert Nordrum) yang termasuk dalam pusat cerita di film ini.

4.Film ‘A Fall from Grace’ (2020), Kenali Kekerasan di Lingkungan Kerjamu

Kenali kekerasan di lingkungan kerjamu, ini catatan penting dari sebuah film berjudul “A Fall From Grace.” Perilaku kekerasan yang seringkali dialami oleh para pekerja di lingkungan kerja pada umumnya bisa terus dinormalisasi akibat ketidaksadaran atas perilaku yang meremehkan atau merendahkan. 

Kekerasan terhadap perempuan menjadi pesan utama yang ingin disampaikan dalam film A Fall from Grace. Film yang disutradarai Tyler Perry ini menyuguhkan cerita dengan pesan moral menarik beserta plot twist yang apik, film ini menceritakan seorang pengacara muda bernama Jasmine Bryant (Bresha Webb) yang berjuang membongkar kebenaran dari kasus yang menjerat Grace Waters (Crystal Fox).

Grace dituduh membunuh suaminya, Shannon DeLong (Mehcad Brooks). Uniknya kedua tokoh utama di film ini sama-sama menderita akibat gempuran kekerasan, namun perbedaan terletak pada Jasmine yang mengalami kekerasan di lingkungan kerjanya, sedangkan Grace mengalami kekerasan di hubungan asmaranya.

Kita perlu mengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya bisa berupa penganiayaan secara fisik atau bentakan caci-maki secara verbal saja, namun juga dapat berupa tindakan meremehkan, mengancam, intimidasi, serta perilaku manipulatif yang sanggup mengacaukan kesehatan mental korban.

5.Film CODA (2022), Perempuan Disabilitas Yang Berdaya

Film peraih piala Film Terbaik (Best Picture) di gelaran OSCAR 2022, CODA, menggambarkan orang dengan disabilitas tuli yang berdaya dan mandiri termasuk perempuan. Hal ini menepis stigma yang selama ini banyak dilekatkan terhadap orang tuli yang dianggap “bergantung” dan selalu membutuhkan bantuan orang yang disebut “normal”. 

Film ini menceritakan kisah tentang seorang anak bernama Ruby Rossie. Ruby dikisahkan sebagai seorang anak perempuan normal yang lahir dari orang tua penyandang tuna rungu atau biasa disebut dengan istilah Child of Deaf Adult (CODA). 

Di sekolah, Ruby seringkali dijauhi dan didiskriminasi oleh teman-temannya akibat kondisi keluarganya. Namun, Ruby tak bergeming. Dia tetap mencurahkan kasih sayangnya pada keluarga. Begitupun sebaliknya. 

Keluarga Ruby adalah pebisnis di usaha perikanan. Namun, bisnis itu terancam bangkrut dan Ruby adalah satu-satunya penyelamat di keluarganya. Kondisi ini menimbulkan pergulatan dalam batin Ruby yang sebenarnya bercita-cita menjadi penyanyi. Ruby akhirnya harus dihadapkan dengan pilihan antara keluarga atau impiannya.

Jadi, mau nonton yang mana dulu nih? 

(Foto: Cultura Magazine)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!