Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Multikultural, Perempuan Ditindas Karena Kultur

Feminisme multikultural meyakini bahwa semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksi secara setara. Lingkungan dan kultur membuat perempuan jadi orang yang tertindas

Konde.co menyajikan Edisi Khusus Feminisme yang bisa kamu baca setiap Senin, selama bulan November 2022 sampai Januari 2023. Edisi khusus ini berisi teori sekaligus perjuangan feminisme. Edisi ini merupakan bagian dari Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2022

Sesuai namanya, feminisme multikultural mengakui perbedaan dan keragaman perempuan satu dengan yang lain. Untuk itu aliran pemikiran ini merupakan kritik atas aliran feminisme pendahulunya. 

Jika kamu masih ingat pembahasan kita sebelumnya tentang feminisme liberal, salah satu ciri umum yang ada pada aliran pemikiran tersebut adalah kecenderungannya untuk menempatkan perempuan sebagai kategori yang sama. 

Dengan demikian secara lebih spesifik feminisme multikultural berupaya melengkapi jika bukan menggantikan-wacana feminisme liberal yang mempromosikan kesetaraan gender dan hak asasi manusia untuk semua perempuan, dengan aliran feminisme yang memperjuangkan pemberdayaan perempuan dalam konteks khusus budaya dan masyarakat mereka. 

Merujuk pada Leti Volpp, dimensi kontekstual kehidupan perempuan yang secara khusus diperhatikan oleh feminisme multikultural adalah: sejarah dominasi dan subordinasi eksternal maupun internal; warisan budaya pemberdayaan di samping warisan ketidakberdayaan; dan efek khusus dari ekonomi global saat ini pada masyarakat tertentu dan perempuan dengan situasi berbeda yang melingkupi mereka.

Meskipun feminis multikultural cukup beragam, tetapi ada beberapa konsep umum yang diusulkan oleh para teoretikus feminis multikultural sebagai dasar atas pandangan dan perspektif mereka. Seperti interseksionalitas, refleksivitas diri, dan akuntabilitas (Collins, 2000). 

Melalui lensa interseksionalitas, feminis multikultural mempelajari aspek identitas yang bermacam; melalui refleksi diri, pertanyaan tentang hak istimewa dan metodologi dibahas; dan melalui akuntabilitas, dorongan untuk perubahan sosial dan politik diilhami. 

Aliran feminisme ini juga meyakini bahwa bahkan di dalam satu negara sekalipun, semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksi secara setara. Ada aspek ras, etnis, suku dan kelas juga kecenderungan seksual, usia, agama, latar belakang pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi kesehatan, lokasi tempat tinggal, yang akan membuat opresi yang dialami seorang perempuan berbeda dengan perempuan lain.

Untuk konteks Indonesia misalnya, seorang perempuan suku Jawa dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas dan menganut agama mayoritas, belum menikah, bekerja, berusia kisaran 30 tahun dan tinggal di perkotaan akan mengalami opresi secara berbeda dengan perempuan suku Asmat di Papua yang mempunyai status ekonomi menengah ke bawah dan menganut agama minoritas, belum menikah, bekerja, berusia kisaran 20 tahun dan tinggal di pedesaan.

Dari deskripsi singkat tersebut kita dapat melihat bahwa dengan memahami segala aspek yang ada pada diri seseorang akan memberikan penjelasan atas status subordinatnya. Selain itu penting juga memahami keterkaitan antara rasisme, seksisme dan kelasisme dalam kehidupan perempuan Papua atau perempuan Tionghoa, misalnya.

Rasisme, seksisme, dan kelasisme ini menimbulkan “bahaya berlapis” bagi perempuan dan merupakan sistem opresi yang saling mengunci. Bagi feminis multikultural, sistem gender, ras dan kelas sesungguhnya tidak terpisahkan, bahkan jika dalam teori ketiganya terpisah. Sebagaimana diungkapkan bell hooks, tidak ada satupun dari bentuk opresi ini yang dapat dihilangkan sebelum yang lain dihilangkan.

Selain ketiga aspek tersebut, feminisme multikultural juga memasukkan diskriminasi dan kebencian berdasarkan orientasi seksual (homofobia) serta diskriminasi dan prasangka sosial terhadap orang dengan disabilitas atau difabel (ableism) sebagai topik pembahasan.  

Feminisme multikultural bukanlah teori yang terpadu ataupun gerakan politik yang tunggal. Merujuk pada Lâm (2001) ia adalah nama untuk sebuah perspektif tentang situasi perempuan yang menyoroti konteks kehidupan mereka dan mendukung pembebasan mandiri mereka dari subordinasi, apapun bentuknya. 

Penekanan feminis multikultural pada konteks mengarahkan mereka untuk menghargai martabat individu sekaligus kebutuhan mereka akan dukungan dari komunitas yang berarti—yang mereka lihat dalam hal apapun sebagai sesuatu yang saling mendukung. Ini terutama karena penyebaran ekonomi kapitalis global yang mengkomodifikasi individu dan menyerakkan komunitas. 

Oleh karena itu feminis multikultural mencari cara yang beragam dan fleksibel di mana perempuan dapat didukung dalam komunitas mereka. Di bidang hak asasi manusia misalnya, feminis multikultural mendukung perumusan nilai-nilai inti, tetapi umumnya menemukan alokasi yang kaku dan prematur dari hak dan tanggung jawab khusus di dunia dengan budaya yang beragam dan kekuasaan yang tidak setara (Lâm 2001). 

Feminis multikultural meyakini bahwa hak-hak perempuan di negara-negara Selatan tidak dapat sepenuhnya dihormati, jika status komunitas mereka dalam ekonomi dan pemerintahan global tidak ditingkatkan.

Ketegangan Utara VS Selatan  

Di tataran global, multikulturalisme dan feminisme multikultural memunculkan perdebatan terutama dari kalangan feminis liberal. Muncul kekhawatiran bahwa para pendukung multikulturalisme akan mendorong negara untuk memperluas prinsip kesetaraan. Sehingga bukan hanya melindungi individu seperti yang berlaku saat ini melainkan juga melindungi kelompok budaya. Sementara dalam pandangan feminis liberal, praktik-praktik budaya yang ada di negara-negara Selatan mendiskriminasi dan menindas perempuan. 

Untuk itu feminis multikultural di negara-negara Selatan dan di komunitas diaspora di negara-negara Utara menantang penggambaran feminisme Barat tentang budaya mereka. Salah satunya adalah Chandra Talpade Mohanty yang menolak asumsi feminisme liberal bahwa patriarki universal telah beroperasi di semua ruang dan waktu untuk mensubordinasikan perempuan dan bahwa fenomena tersebut tetap paling mengakar di Selatan. Menurut Mohanty budaya manusia terlalu kompleks untuk ditampung di bawah rubrik patriarki.

Ia mencontohkan di India misalnya dunia perempuan malah dipenuhi dengan warisan dan pengalaman dominasi serta subordinasi yang berfluktuasi dengan usia, status perkawinan, kehadiran anak, kedekatan dengan kerabat, dan faktor-faktor lain yang mengondisikan jenis kelamin. 

Hal yang sama bisa ditelusuri pada konteks budaya negara-negara Selatan yang lain. Di Indonesia misalnya, penggunaan jilbab memiliki makna yang tidak statis. Pada masa orde baru ketika praktik beragama dan penggunaan simbol-simbol keagamaan di ruang publik dikekang, pemakaian jilbab dapat dimaknai sebagai bentuk perlawanan. 

Sebaliknya setelah Reformasi 1998 ketika jilbab menjadi keharusan lewat perda dan aturan sejenis di lembaga pemerintah dan sekolah, jilbab dapat dipandang sebagai bentuk penundukan dan kontrol. 

Sementara itu dalam pandangan feminisme multikultural, feminisme liberal memberikan makna univalen pada simbol dan praktik budaya asing yang ditemuinya. Akibatnya feminisme liberal mengabaikan kompleksitas budaya dan agensi perempuan di negara-negara Selatan. 

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!