Pelecehan di Industri Musik Dialami Dikta: Tak Boleh Dinormalisasi

Pelecehan di industri musik kali ini dialami penyanyi Dikta atau Pradikta Wicaksono. Kita harus mendorong korban untuk berani melaporkan kasus tersebut ke pihak pengelola/pemilik industri musik sehingga pelaku mendapatkan sanksi etik dan administratif atas tindakannya.

Penyanyi dan juri Indonesian Idol 2023, Pradikta Wicaksono atau Dikta, diduga mengalami pelecehan seksual setelah tampil di Anjungan Sarinah di Jakarta Pusat pada Sabtu malam (15/1). 

Video yang beredar di TikTok menunjukkan Dikta keluar dari tempat yang penuh sesak dengan penggemarnya dan masuk ke sebuah restoran. Di video tersebut, Dikta tampak masuk ke restoran dengan menutup bagian tubuh yang pribadi dan kemudian berjongkok seolah menahan sakit. Beberapa saat kemudian, ia dibawa keluar oleh kru.

Ini adalah tindakan yang menyakitkan dan mengejutkan. Pelecehan seksual adalah perilaku tidak bertanggung jawab yang merusak dan merugikan korban. Sebagai masyarakat, kita harus belajar untuk selalu memperoleh persetujuan dan kesediaan orang lain sebelum melakukan tindakan apapun. Tanpa persetujuan atau kesediaan, tindakan menyentuh orang lain tanpa izin adalah pelecehan. Kita tidak boleh melakukan tindakan yang tidak diinginkan atau merugikan pada orang lain.

Sri Agustini menulis di rubrik “Klinik Hukum Perempuan” Konde.co bahwa masalah pelecehan seksual di industri musik sudah menjadi perhatian publik karena telah banyak musikus atau penyanyi-penyanyi perempuan di berbagai negara (termasuk di Indonesia) yang berbicara melawan beragam bentuk tindak pelecehan seksual yang terjadi di industri musik. 

Ada yang dengan cara melaporkan tindakan tersebut ke kepolisian. Ada yang menggugatnya secara keperdataan dengan menuntut ganti rugi materiil kepada pelaku. Ada juga yang gencar mengkampanyekan stop kekerasan seksual di dunia musik. Seperti yang dilakukan oleh Taylor Swift hingga meraih gelar doktor kehormatan untuk kampanye stop kekerasan seksual di dunia musik. 

Tak ketinggalan Billie Eilish yang mengingatkan masyarakat tentang bahaya pelecehan seksual terhadap korban di industri musik.

Di luar itu, pelecehan seksual terhadap laki-laki mungkin tampak jarang terjadi dan diberitakan, tetapi faktanya adalah ini merupakan masalah yang serius dan tidak boleh dinormalisasi. 

Berdasarkan survei dari National Intimate Partner and Sexual Violence Survey (2015) hampir seperlima laki-laki (17,9% atau sekitar 19,9 juta laki-laki) di Amerika Serikat dilaporkan mendapat kontak seksual yang tidak diinginkan (mis. diraba-raba) di tubuh mereka.

Dilansir dari Sexual Assault Centre of Edmonton, laki-laki yang melaporkan pelecehan sering kali dianggap lemah, gagal, terlalu emosional berlebihan atau feminin. Hal ini dapat menyebabkan efek sosial yang negatif seperti kurangnya rasa hormat dan penerimaan, perundungan, dan kekerasan. Keterikatan yang kuat pada norma-norma maskulin ini semakin berefek dengan tingkat depresi, menyakiti diri sendiri, dan bunuh diri yang lebih tinggi.

Di atas asumsi patriarki, laki-laki diidentifikasi sebagai orang yang suka seks, laki-laki dianggap kuat dan selalu bisa membela diri. Sama seperti penyintas dari semua gender lainnya, laki-laki juga dapat menginternalisasi keyakinan menyalahkan korban yaitu dirinya sendiri, yang dapat membuat mereka tidak terbuka tentang pengalaman mereka, dan membuat proses pemulihan menjadi lebih sulit. 

Mungkin berat bagi laki-laki untuk memberitahu seseorang bahwa ia pernah mengalami kekerasan atau pelecehan seksual karena takut akan dihakimi atau tidak dipercaya.

Laki-laki juga mungkin menghadapi tantangan untuk menerima bahwa mereka telah menjadi korban kekerasan seksual, terutama jika tindakan itu dilakukan oleh seorang perempuan. 

Beberapa laki-laki penyintas pelecehan seksual merasa malu atau ragu, percaya bahwa mereka seharusnya “cukup kuat” untuk melawan pelaku. Bahkan orang-orang menuduh laki-laki yang mengalami pelecehan seksual menikmati pelecehan yang diterimanya sebagai sebuah keberuntungan.

Berani Bicara dan Laporkan

Lalu bagaimana mengatasi permasalahan pelecehan seksual di industri musik ini? Sri Agustini menuliskan di Konde.co

Pertama, para korban pelecehan seksual sebaiknya melaporkan kasus tersebut ke pengelola/pemilik industri musik sehingga pelaku mendapatkan sanksi etik dan administratif atas tindakannya. Setelah itu, jika tidak ada proses penyelesaian yang adil terhadap anda dari pengelola/pemilik industri musik, ambil langkah hukum yaitu dengan melaporkan kasus tersebut ke kepolisian tempat pelecehan seksual terjadi. 

Dalam hal ini, langkah hukum yang digunakan tetap sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu dengan melakukan proses pelaporan terlebih dahulu yang selanjutkan akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh Jaksa Penuntut umum (JPU) dan persidangan di pengadilan. 

Dalam memproses hukum pelaku pelecehan seksual, korban dapat meminta dukungan dari keluarga dan teman-teman kerja yang lain serta pendampingan dari lembaga bantuan hukum (LBH) yang secara khusus memberikan pendampingan hukum kepada perempuan korban kekerasan seksual sehingga dapat mendorong polisi/penyidik menerapkan UU TPKS (bukan KUHP).

Kedua, perusahaan atau institusi yang mengelola industri musik tempat Anda bernaung/bekerja, perlu didesak agar membuat aturan atau SOP terkait pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kerja yang mengacu pada UU TPKS. SOP tersebut harus memuat sanksi etik dan/atau administratif terhadap pelaku kekerasan, apresiasi terhadap korban yang berani terbuka dan/atau melaporkan kasus yang dialaminya, tanggung jawab pendampingan psikologis serta litigasi, dan hal-hal lainnya yang dianggap perlu diatur sesuai dengan kebutuhan perlindungan dari tindakan kekerasan seksual. Apabila perusahaan telah memiliki SOP Pencegahan Kekerasan Seksual, pastikan SOP tersebut sudah menggunakan UU TPKS sebagai dasar penerapan operasionalnya.

Jika pengelola/pemilik industri musik menolak upaya advokasi yang Anda lakukan, atau tidak memproses pelaporan korban, maka Anda bisa melayangkan surat somasi dengan dasar perintangan untuk memberikan perlindungan kepada korban TPKS sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU TPKS sebagai berikut: “Setiap seorang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung penyidikan dan penuntutan terhadap tersangka, terdakwa atau saksi dalam perkara TPKS, terancam sanksi pidana paling lama lima (5) tahun sebagaimana diatur dalam pasal (19) UU TPKS.” 

Contoh baik upaya perlindungan bagi pekerja dan konsumen dari tindak pidana kekerasan seksual dalam bidang transportasi salah satunya diterapkan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Perusahaan ini menerapkan SOP terkait penanganan tindak pelecehan seksual yang terjadi di dalam kereta dengan mengacu pada UU TPKS. SOP tersebut ditetapkan pada 20 Juni 2019 melalui Peraturan Direksi KAI PER.U/KL.104/VI/I/KA-2019. 

Selain di bidang transportasi, SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual juga telah banyak dibuat dan diterapkan di dunia pendidikan. 

Seharusnya Dikta juga segera diberikan perlindungan dan dukungan yang diperlukan. Artis berhak untuk bekerja di ruang publik dengan rasa aman dan nyaman. 

Jika kamu adalah fanbase, kedepannya dapat lebih jeli ketika kita menyaksikan perilaku berbahaya yang sekiranya berpotensi terhadap pelecehan artis idola kita. Hal ini untuk mencegah terulangnya pelecehan di ruang publik dan memutus rape culture. Semoga pelecehan seperti ini tidak terjadi lagi.

(Foto: Facebook)

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!