Feminine Energy dan Masculine Energy Bikin Kita Terpenjara dalam Nilai Gender Toksik

Berbicara mengenai energi feminin atau maskulin seseorang, pasti tak akan ada habisnya. Terlebih, yang sering dibahas, yaitu feminine energy dan masculine energy. Memangnya ada apa dengan energi-energi tersebut? Apa pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari?

Konstruksi sosial yang membesarkan kita selama ini, membuat stereotip pada perempuan dan laki-laki yang membuat kita tak merasa nyaman. 

Ini bisa dilihat dari aturan-aturan yang mengharuskan perempuan misalnya untuk tunduk dan patuh pada belenggu yang telah diciptakan lingkungan kita.

Hal ini ditandai dengan adanya peraturan-peraturan yang tidak tertulis, seperti adanya pamali yang mengharuskan salah satu jenis kelamin mendominasi satu jenis energi. Kita mengenalnya dengan istilah energi feminin dan energi maskulin. Sebenarnya, ada apa dengan kedua energi tersebut?

Energi feminin selama ini dikonstruksikan sebagai energi yang membawa kasih sayang, suportif, sensitif, anggun, dan lainnya. Sedangkan energi maskulin dikategorikan sebagai energi yang logis, kuat, disiplin, dan mendominasi. Dengan kata lain, energi feminin lebih mengacu kepada intuisi seseorang dan energi maskulin berfokus kepada tindakan-tindakan yang langsung dilakukan oleh seseorang.

Semua orang pasti memiliki kedua energi ini, tetapi dengan porsi yang berbeda-beda. Tidak menutup kemungkinan energi lain yang ikut berkontribusi dalam setiap tindakan.

Baca Juga: 3 Alasan Perempuan Sering Minta Maaf (Secara Berlebihan)

Masyarakat dengan budaya konvensional melihat perempuan akan lebih baik jika memiliki energi feminin dan akan lebih baik pula jika laki-laki memiliki energi maskulin yang kuat. Ditambah dengan stigma-stigma jika perempuan tidak feminin dan laki-laki yang tidak maskulin dinilai aneh dan tidak lazim. Hal ini tentunya masih dipelihara hingga saat ini.

Justru dengan semua hal itu merupakan pemberian makna yang sempit kepada jenis kelamin tertentu. Hal-hal itu semua dibentuk dan digolongkan untuk perempuan dan laki-laki. Budaya konvensional mengharuskan perempuan memiliki jiwa yang feminin dan laki-laki harus memiliki sifat-sifat maskulin. Sayangnya, memberikan label yang sempit untuk perempuan dan laki-laki akan membuat adanya “penjara” di setiap tindakan.

Dari leluhur hingga sekarang, pandangan-pandangan itu diturunkan dari mulut ke mulut. Mencibir seseorang yang menurut mereka tidak sesuai dengan ketetapan gender konvensional. Padahal, tidak semua perempuan ingin berpenampilan feminim dan tidak semua laki-laki ingin berpenampilan maskulin.

Toksik Feminin dan Toksik Maskulin

Stigma masyarakat mengenai energi feminin dan energi maskulin tanpa disadari telah diresapi oleh banyak orang. Pasalnya, tidak sedikit orang berlomba-lomba ingin terlihat paling feminin dan paling maskulin, dalam konteks yang berkonotasi negatif. Pun dengan menormalisasikan mengharuskan suatu jenis kelamin memiliki satu energi saja, membuat lingkungan meminta, mendesak, dan menyuruh seseorang harus menjadi seorang perempuan feminim atau seorang laki-laki yang maskulin.

Dari hal itulah tanpa disadari membentuk norma-norma seperti “perempuan harus berpenampilan anggun” atau “perempuan tidak boleh berkata kasar”. Pun dengan laki-laki, masyarakat mengharuskan laki-laki mendominasi dan melarang menangis, sebab masyarakat dengan budaya konvensional masih beranggapan bahwa menangis menandakan seseorang dengan jiwa yang lemah.

Dimulai dari norma-norma yang tidak tertulis itulah membentuk peraturan dan diterima dalam kognitif seseorang untuk berlaku dan menghindari aturan-aturan yang sebetulnya tidak adil tersebut. Jika laki-laki menangis dan diolok-olok, maka timbul toksik maskulin, kemudian jika perempuan bertindak berani atau agresif dan dicela, timbullah toksik feminin. Sebab hal-hal maskulin dan feminin yang telah “ditetapkan” rekat dengan kita dan membentuk ketetapan yang kuat.

Baca Juga: Asal Usul ‘Toxic Masculinity’ dan Artinya

Kemudian, karena adanya pelabelan energi feminin dan energi maskulin yang dipasangkan terhadap suatu jenis kelamin membuat seseorang malu untuk melakukan hal yang “bukan” ranah mereka. Hal ini seperti perempuan akan dipandang aneh jika berlaku agresif atau laki-laki akan merasa harga dirinya turun jika mereka menangis.

Melepas belenggu dari stigma perempuan harus feminin dan laki-laki harus maskulin membuat toksik kepada diri sendiri. Toksik-toksik inilah yang harus orang sadari bahwa belenggu yang diciptakan oleh orang lain dan diri sendiri harus segera dilepas. Tidak mengapa jika perempuan memiliki energi yang maskulin dan tidak ada salahnya jika laki-laki memiliki energi feminin karena semua itu adalah rasa spontanitas yang dimiliki. 

Masyarakat memberi label kepada perempuan yang maskulin dengan sebutan tomboy atau laki-laki yang berperilaku feminin dengan sebutan banci. Padahal, penjelasan dari terminologi feminin dan maskulin adalah bagaimana cara seseorang dihadapkan pada suatu problematika.

Dengan cara itulah, dibedakan atas dasar intuisi (feminin) atau tindakan (maskulin). Laki-laki dapat menghadapi masalah dengan mendahulukan intuisinya dahulu dan perempuan boleh langsung mengambil tindakan jika dihadapkan situasi tertentu.

Baca juga: Apa itu ‘cisgender’ dan Mengapa Istilah Ini Menjadi Pro dan Kontra

Dengan membebaskan diri dari belenggu label “keharusan” terhadap suatu jenis kelamin dapat mengekspresikan diri sesuai keinginan, akan menimbulkan rasa nyaman atas diri sendiri tanpa paksaan dari siapapun.

Namun, perlu dicatat masih banyak pula masyarakat yang dengan sukarela atau tidak ada paksaan untuk berlaku feminin atau maskulin dalam “pasangan” energi, tidak ada salahnya untuk berekspresi sesuai keinginan diri.

Maka dari itu, stop untuk memaksakan seseorang untuk berlaku yang bahkan bukan keinginan mereka.

Aqeela Ara

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang kini magang sebagai reporter di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!