Ujung-ujungnya, Kenapa Beban Kegagalan Rumah Tangga Harus Ditanggung Perempuan?

Dari banyaknya kasus perceraian yang terjadi dalam rumah tangga, ujung-ujungnya yang menanggung kasus tersebut adalah perempuan. Perempuan yang cerai harus menanggung malu, menanggung anak, dan menanggung mitos akibat jadi janda.

Mulai dari selebritas sampai warga biasa hingga warganet, sudah sering mengekspos kasus-kasus perceraian. 

Kasus perceraian ini misalnya ditulis dari latar belakang perselingkuhan sampai Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT, warganet Indonesia tampaknya suka sekali mengikuti bahkan menanyakan kelanjutan kasus, terutama kasus perceraian yang menimpa selebritas. 

Akan tetapi, satu hal yang lebih urgen untuk didiskusikan adalah fakta bahwa dari banyaknya kasus perceraian yang ada, mayoritas menunjukkan hal yang sama: lebih banyak kerugian akibat perceraian tersebut yang ditanggung oleh perempuan.

Hal ini bukanlah hasil pengamatan yang menggeneralisasi dari penulis saja. Dalam studinya yang berjudul Gender Differences in the Consequences of Divorce, Leopold (2018) menemukan bahwa tekanan yang ditimbulkan oleh perceraian bersifat sementara pada laki-laki. Sementara itu, pada perempuan, tekanan yang dialami bersifat kronis.

Ketimpangan Gender dalam Perceraian

Ketimpangan gender yang terjadi dalam kasus perceraian tentu memiliki berbagai alasan, salah satunya adalah kebutuhan ekonomi perempuan yang semakin tinggi ditambah dengan kemampuan bekerja yang terbatas dengan adanya anak. 

Tanpa perceraian pun, menurut ekonom Ariane Utomo (2016), 40% ibu memutuskan resign demi menjadi sosok yang hadir dalam masa kecil anak. Dengan demikian, jika perceraian dilakukan setelah memiliki anak, perempuan yang tidak (lagi) bekerja harus memutar otak untuk mendapatkan penghasilan bagi diri sendiri.

Sistem pengasuhan anak yang sangat bias ke perempuan juga menjadi sebuah alasan yang berkaitan. Menurut data dari Gingerbread (2019), 90% orang tua tunggal (lebih dikenal dengan single parents) adalah perempuan. Toynbee (2022) juga mengutarakan, setengah dari single parents dan anak-anak mereka hidup di bawah garis kemiskinan karena ayah yang tidak membayar biaya hidup.

Perceraian juga membawa risiko kehilangan hak tempat tinggal. Rata-rata perempuan dalam pernikahan lebih bergantung kepada laki-laki dibanding sebaliknya. Oleh karena itu, perempuan yang bercerai berada dalam risiko yang lebih besar untuk kehilangan rumah. Sudah tidak berpenghasilan sebanyak laki-laki, perempuan juga harus mengalah dan berpindah tempat tinggal.

Tak sampai di situ saja, perempuan juga lebih dirugikan dalam aspek hubungan sosial. Dalam kehidupan sosial, stigma janda lebih berkonotasi negatif dibandingkan duda. Tidak jarang seorang perempuan yang bercerai dianggap bisa mendekati atau menggoda laki-laki beristri, sehingga para istri harus “berhati-hati”. Sedangkan bagi laki-laki, tak jarang kita mendengar istilah “duda keren”. Stigma yang sangat patriarkal harus diterima oleh perempuan yang bercerai dengan segala beban yang juga ia tanggung secara ekonomi, psikologis, dan fisik akibat perceraiannya.

Selain itu, laki-laki juga memiliki hak istimewa (privilege) dalam menjalin hubungan. Leopold (2018) menyatakan, peluang untuk menjalin hubungan setelah perceraian lebih besar dimiliki oleh laki-laki. Hal ini terjadi untuk beberapa alasan. 

Sebagaimana disebutkan oleh Bennett (2017), orang-orang yang lebih tua lebih sulit mendapatkan pasangan dengan tujuan menikah kembali. Tak dapat dipungkiri, efek usia ini lebih kuat berdampak pada perempuan. Lagi-lagi, kita harus kembali membahas budaya patriarki. Masyarakat yang mengadopsi budaya patriarki menganggap perempuan yang sudah pernah menikah, apalagi memiliki anak—tak lagi bernilai (atau dalam kosakata yang sangat misoginis: “bekas”).

Perempuan juga memiliki kesempatan bertemu orang baru yang relatif lebih kecil untuk memulai hubungan, terutama dalam konteks pertemuan di tempat kerja yang tentu dimiliki oleh laki-laki. Tidak semua perempuan memiliki kesempatan tersebut. Kesibukan dalam mengurus anak juga menghambat perempuan dalam menemukan kebebasan.

Lebih Parah pada Pernikahan di Bawah Umur

Pada tahun 2018, Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) mencatat ada 1,2 juta angka perkawinan anak yang terjadi di Indonesia. Dikutip oleh Octaviani (2020), angka pernikahan dini yang berakhir pada perceraian mencapai 50%. 

Juga, perceraian diputuskan saat usia pernikahan baru menginjak satu sampai dua tahun. Kerugian-kerugian yang telah dibahas sebelumnya juga dialami oleh perempuan dalam pernikahan dini yang bercerai, di mana mereka pun masih berusia muda ketika melakukan perceraian. Dampak yang dirasakan mereka justru lebih parah mengingat banyaknya pengorbanan yang dilakukan ketika memutuskan untuk menikah dan dalam pernikahan, seperti berhenti sekolah, mengorbankan masa remaja bersama teman seusia, hamil dan melahirkan di usia sangat muda.

Dalam konteks perempuan yang menikah di bawah umur dengan laki-laki dewasa, perceraian juga lebih rentan untuk terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa: pertama, antara laki-laki dan perempuan. Kedua, antara orang dewasa dan remaja. Relasi kuasa yang hadir dalam pernikahan memengaruhi kondisi rumah tangga dengan adanya dominasi yang timpang antara kedua pihak. Akhirnya, perceraian seringkali menjadi solusi akhir.

Beban kegagalan rumah tangga yang masih lebih banyak ditanggung oleh perempuan merupakan satu dari beribu efek domino budaya patriarki yang eksistensinya masih kuat di masyarakat. Memulai pernikahan dengan kedua persetujuan, mengakhirinya dengan kedua persetujuan. Dengan demikian, sejatinya, keuntungan dan kerugian dari perceraian dirasakan oleh kedua pihak secara adil.

Bukannya pesimis, tetapi rasanya upaya membasmi patriarki sebagai budaya yang sudah mengakar dalam masyarakat menjadi diskursus yang repetitif dan membosankan. Harapannya, mengetahui berbagai alasan perempuan lebih dirugikan dalam perceraian, para perempuan—yang telah menikah atau belum—dapat mengantisipasi dan meminimalisasi kerugian jika suatu saat perceraian dirasa menjadi solusi terbaik.

Menjadi ibu rumah tangga merupakan salah satu pilihan seorang perempuan yang menikah. Akan tetapi, secara finansial, perempuan harus memiliki tabungan yang sangat cukup atau penghasilan tambahan untuk menyokong dirinya. 

Dalam pernikahan, perempuan juga berhak mendiskusikan untuk membuat perjanjian pranikah dengan pasangan. Dengan perjanjian pranikah, calon suami istri dapat memperjelas batasan yang menguntungkan keduanya. Mulai dari kematian, utang-piutang, hingga dan khususnya perceraian.

Menjadi perempuan yang strategis demi memerdekakan dirinya juga merupakan upaya membasmi patriarki yang dimulai dari diri sendiri. 

Jack Canfield mengatakannya dengan tepat: “Anda tidak dapat mengubah orang lain, tetapi orang lain dapat berubah karena perubahan Anda. Semua hubungan adalah sebuah sistem. Ketika salah satu bagian dari sistem berubah, bagian lainnya juga dipengaruhi menuju perubahan.”

Chelsea Anastasia

Mahasiswa Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!