Apa itu Kota HAM: Sudahkah Perempuan Jadi Bagian Kota HAM?

Apakah itu kota HAM? Kota HAM adalah kota yang menerapkan hak asasi manusia termasuk perempuan dan kelompok marjinal untuk para penghuni kotanya

Istilah hak asasi manusia atau HAM tentu sudah akrab di telinga kita. Bagaimana dengan Kota HAM? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Kota HAM? Apa yang membuat sebuah kota layak disebut sebagai Kota HAM?

Kota Hak Asasi Manusia atau Kota HAM sebagai sebuah konsep sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Namun implementasi dari konsep tersebut menjadi sebuah gerakan global yang meletakkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia oleh pemerintah daerah baru berlangsung pada satu dekade terakhir.

Di tingkat global, gerakan ini diprakarsai oleh pemerintah Kota Metropolitan Gwangju di Korea Selatan dengan menggelar Forum Kota HAM Sedunia sejak 2011. Gerakan global ini mendapatkan pengakuan dan dukungan dari PBB yang pada 2013 mengeluarkan Resolusi Dewan HAM PBB No. 24 tahun 2013 mengenai peran pemerintah daerah dalam penghormatan dan perlindungan HAM.

Apa itu Kota HAM?

Merujuk pada buku Panduan Kabupaten dan Kota Ramah Hak Asasi Manusia, gagasan tentang kota HAM didasarkan pada pengakuan terhadap kota sebagai pemain kunci dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi. Secara umum mengacu pada sebuah kota yang pemerintah dan penduduknya, secara moral dan hukum, diatur dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Konsep ini diluncurkan pada tahun 1997 oleh Gerakan Rakyat untuk Pendidikan HAM, sebuah organisasi internasional nonprofit yang bergerak di bidang pelayanan. Konsep ini dikembangkan lebih lanjut, terutama sebagai sebuah konsep normatif, oleh Forum Kota Hak Asasi Manusia Dunia yang berlangsung setiap tahun di kota Gwangju, Korea Selatan.

Sebenarnya tidak ada konsensus yang tetap mengenai definisi Kota HAM. Namun kita bisa belajar dari berbagai pengalaman baik yang menjadi rujukan masyarakat internasional. Seperti gambaran tentang kota HAM yang diuraikan oleh Gerakan masyarakat untuk pendidikan HAM yang menjadi salah satu motor dari advokasi Kota HAM.

“Kota atau komunitas yang terdiri dari mereka yang menginginkan kerangka kerja hak asasi manusia menjadi pengarah bagi pembangunan kehidupan komunitas. Persamaan dan nondiskriminasi merupakan nilai-nilai dasar. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi rasa takut, dan pemiskinan. Sebuah kota yang memberi akses pada pangan, air bersih, perumahan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang cukup memenuhi kebutuhan hidup. Bukan sebagai hadiah melainkan sebagai bentuk realisasi hak asasi manusia,” (PDHRE, 2007).

Sementara Deklarasi Gwangju tentang Kota Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 17 Mei 2011 mendefinisikan kota HAM sebagai sebuah komunitas lokal maupun proses sosial politik dalam konteks lokal. HAM memainkan peran kunci sebagai nilai-nilai fundamental dan prinsip-prinsip panduan. Konsep kota HAM juga menekankan pentingnya memastikan partisipasi luas dari semua aktor dan pemangku kepentingan, terutama kelompok marginal dan rentan.

Bagaimana Praktiknya di Indonesia?

Dalam konteks Indonesia, pengembangan konsep kota HAM dirintis oleh INFID bersama Komnas HAM dan ELSAM. Lembaga tersebut melakukan advokasi pelembagaan konsep kota HAM dengan menggandeng pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan pemenuhan kewajiban HAM oleh pemerintah kabupaten atau kota sebagai unit pemerintahan yang paling dekat dengan warga.

Selanjutnya sejak 2014 berlangsung Konferensi Pengarusutamaan Kabupaten/Kota HAM. Kegiatan ini merupakan forum untuk bersilaturahmi, bertukar pengetahuan, ide, dan berbagi pengalaman tentang praktik-praktik nyata yang telah berhasil diterapkan dalam membangun kabupaten/kota yang selaras dengan nilai-nilai HAM. Agenda tahunan ini diselenggarakan oleh Komnas HAM, INFID, dan Kantor Staf Presiden (KSP).

Direktur INFID, Sugeng Bahagijo dalam pembukaan Konferensi Pengarusutamaan Kabupaten/Kota HAM yang digelar pada Oktober 2022 lalu di Jakarta mengatakan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi negara maju jika sebagian besar kabupaten/kota yang ada tidak inklusif, tidak responsif dan tidak terbuka.

“Karena itu kita harus mendukung dan mendorong agar kabupaten dan kota berkomitmen sekaligus bekerja untuk mewujudkan kabupaten/kota HAM,” ujar Sugeng.

Lebih lanjut Sugeng menjelaskan, “Apa artinya jika kita menjadi kabupaten/kota HAM? Jika kita berkomitmen pada HAM maka kabupaten/kota tersebut akan mencari solusi, akan menyusun prioritas agar program dan layanan pemerintah semakin inklusif. Jika kita berkomitmen pada HAM maka kabupaten/kota tersebut akan mengajak warga untuk membangun dan pemerintah kabupaten/kota melakukan investasi kepada warga agar semua warga dapat hidup layak dan bermartabat.”

Terkait pelaksanaan Konferensi Pengarusutamaan Kabupaten/Kota HAM 2022 Sugeng mengungkapkan tema yang diangkat adalah “Memperkokoh Keragaman dan Inklusi Mewujudkan Indonesia yang Tangguh dan Harmonis”.

Menurutnya tema keragaman menjadi penting untuk dibahas karena berbagai keadaan yang terjadi saat ini. Seperti situasi global yang memanas akibat perang. Begitu juga situasi nasional yang akan memasuki masa pemilu sehingga perlu dijaga agar politik identitas tidak menguat.

Karena itu Sugeng mengungkapkan pihaknya mendorong adanya respons kebijakan yang mendukung kebinekaan, keindonesiaan dan inklusi agar negara kesatuan tetap kuat, sehingga kohesi sosial dan kerukunan tetap terjaga.

Pandangan senada disampaikan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di forum yang sama. Ahmad menjelaskan sejak negara ini diproklamasikan keyakinan utama dari para pendiri bangsa adalah bahwa negeri ini memiliki kekayaan atas kebinekaan dan keragamannya. Untuk itu jatidiri tiap-tiap suku bangsa, agama, budaya mesti diakui dan dihormati segala kekhasannya sebagai satu hak merdeka untuk diekspresikan oleh setiap orang tanpa terkecuali.

Menurut Ahmad belajar dari sejarah bangsa-bangsa di dunia sejak ribuan tahun yang lalu, ada kalanya kekayaan itu membawa berkah, namun sering kali juga membawa musibah. Tak sedikit negara yang kaya sumber daya alamnya, tetap miskin bahkan terjadi perang saudara di antara mereka. Tidak sedikit juga bangsa di dunia ini mendekati kepunahan karena berkelahi akibat perbedaan identitas suku, agama, serta politik. Karenanya semua berpulang pada bagaimana tata kelola suatu negara bangsa diterapkan. Untuk itu Ahmad menegaskan pentingnya menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan bernegara.

“Kita yang berangkat dari semua aspek dan dimensi tadi mesti mengembangkan tata kelola yang demokratis, dimana setiap orang mesti dihormati kemerdekaannya, hak-hak khususnya, keyakinannya, ekspresi, tindakan dan pilihannya di dalam prinsip dan norma HAM yang sudah menjadi bagian dari nilai bernegara di Indonesia,” ujarnya.

Kota HAM Melindungi Kelompok Rentan yang Inklusif Harus Libatkan Penyandang Disabilitas

Sementara itu Mahreta Maha, Sekretaris Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) mengatakan pembicaraan tentang inklusi seharusnya tidak meninggalkan penyandang disabilitas. Sayangnya, hingga saat ini belum semua kota ramah terhadap penyandang disabilitas. Situasi ini membuat penyandang disabilitas hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini menjadi makin buruk ketika perempuan menjadi penyandang disabilitas.

“Penyandang disabilitas di Indonesia ada sekitar 8,31%, cukup banyak dan kami tidak terlokasi di satu titik tertentu, kami menyebar, ada di setiap provinsi, di setiap kabupaten/kota. Saat ini belum semua kota, belum semua lingkungan ramah terhadap kami. Maka yang terjadi adalah mayoritas penyandang disabilitas masih hidup di bawah garis kemiskinan, terutama perempuan penyandang disabilitas. Kami jauh lebih mengalami diskriminasi dan hambatan karena multiple issue yang kami miliki,” papar Mahreta dalam diskusi pleno Konferensi Pengarusutamaan Kabupaten/Kota HAM 2022 di Jakarta.

Mahreta mencontohkan soal akses atas pekerjaan yang masih sangat terbatas bagi penyandang disabilitas. Kondisi ini membuat penyandang disabilitas lebih banyak bekerja di sektor informal.

“Untuk bekerja kami masih mendapatkan banyak tantangan dan banyak kesulitan sehingga mayoritas dari kami itu bekerja di sektor informal karena itu tadi belum banyak peluang yang terbuka bagi kami,” ujarnya.

Penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau sensorik atau intelektual atau mental dalam jangka waktu yang lama dan karena keterbatasannya itu menimbulkan hambatan dalam berinteraksi dengan masyarakat dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh. Karenanya diperlukan adanya akomodasi dan aksesibilitas agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara penuh seperti masyarakat lainnya yang tanpa disabilitas.

Aksesibilitas harus dibangun sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Sehingga aksesibilitas seharusnya membuat para penyandang disabilitas bisa menikmati pembangunan, dan segala fasilitas, termasuk sarana dan prasarana publik yang ada di kota.

Namun sayangnya yang sering terjadi adalah sekalipun sudah tersedia fasilitas bagi penyandang disabilitas tetapi fasilitas tersebut tidak dapat digunakan dengan baik. Misalnya sudah tersedia guiding block tetapi ternyata putus di tengah jalan atau justru menjadi tempat parkir motor atau gerobak dagangan sehingga membuat teman-teman disabilitas yang menggunakan jalur tersebut menjadi terganggu atau tidak nyaman.

Begitu juga dengan tangga. Ada tangga tetapi curam sehingga teman-teman disabilitas pengguna kursi roda membutuhkan bantuan orang lain untuk melewati ram tersebut.

Untuk itu Mahreta mengungkapkan, “Kami sangat berharap bapak/ibu walikota dan bupati di tempat ini melibatkan organisasi penyandang disabilitas dalam setiap pembangunan yang dilakukan.”

Lalu akomodasi yang layak. Akomodasi yang layak itu harus disesuaikan dengan kebutuhan penyandang disabilitas yang beragam karena setiap penyandang disabilitas mempunyai latar yang berbeda. Bagi Mahreta misalnya, sebagai tuna netra sejak kecil dia merasa cocok dengan braille. Tetapi bagi mereka yang baru menjadi tuna netra setelah dewasa, mungkin tidak terlalu clear dengan braille, jadi mereka lebih cocok dengan screen reader, dsb.

Mahreta menegaskan untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif dibutuhkan sikap saling memahami. “Bagi saya ketika kita mau membangun bangsa atau masyarakat yang inklusif, kita harus saling memahami, kita harus saling mendukung. Pemahaman itu penting karena ketika kita paham bahwa disabilitas itu beragam masyarakat sekitar kita juga dapat memberikan dukungan yang tepat bagi mereka sehingga mereka juga dapat berpartisipasi sama seperti yang lain,” jelasnya.

Pada dasarnya penyandang disabilitas adalah bentuk dari keragaman yang ada. Sama seperti tinggi badan, warna kulit, dan bentuk rambut yang beragam, penyandang disabilitas juga demikian. Ada penyandang disabilitas yang berjalan dengan menggunakan kursi roda atau alat bantu, ada yang melihat dengan menggunakan screen reader ataupun perabaan, ada juga yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

“Ini adalah bagian dari keragaman sehingga kami sangat berharap inklusi yang dibangun ke depan mulai mempertimbangkan sarana dan prasarana yang aksesibel terhadap kami dan melibatkan penyandang disabilitas tidak hanya sebagai pengguna tetapi penentu dalam pembangunan,” kata Mahreta.

Soal keragaman kebutuhan penyandang disabilitas ini juga tidak selalu bisa dijawab oleh teknologi karena ada faktor lain yang menghambat. Dante Rigmalia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas memberikan contoh.

Sebagai seorang disabilitas ganda, pengguna alat bantu dengar di telinga kiri kanan, ia tidak bisa mengakses komunikasi dengan baik pada saat tidak bisa melihat gerak bibir. Sementara pandemi membuat orang menggunakan masker ketika berkomunikasi. Dante juga menggunakan live transcript, aplikasi di handphone untuk mengubah suara menjadi tulisan. Tetapi aplikasi selalu bermasalah pada saat sound system bergema. Begitu juga alat bantu dengar yang ia gunakan, menjadi tidak berfungsi dengan baik jika ada gema.

Contoh lain, banyak masyarakat yang berpikir bahwa untuk penyandang disabilitas tuli yang dibutuhkan adalah bahasa isyarat. Ketika sudah ada juru bahasa isyarat artinya sudah selesai padahal tidak demikian karena disabilitas tuli juga beragam.

Begitu juga dengan penyandang disabilitas yang memiliki hambatan pemusatan perhatian atau hambatan untuk menangkap informasi. Ketika melihat orang berbicara di layar, ia akan terbantu jika ada teks. Sayangnya fasilitas running text tidak selalu tersedia.

Selain itu desain kota yang smart sering kali juga meninggalkan penyandang disabilitas. Teknologi yang digunakan sangat tinggi tetapi hal-hal sederhana yang bisa dimasukkan dalam teknologi agar penyandang disabilitas bisa mengakses itu tidak dilakukan. Untuk itu menurut Dante proses pembangunan kota harus melibatkan penyandang disabilitas.

“Pesan kami adalah proses pembangunan yang kita lakukan untuk apapun termasuk kota HAM harus melibatkan teman-teman penyandang disabilitas dari mulai proses perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi,” ujar Dante.

Hal lain yang juga penting adalah memutus stigma terhadap penyandang disabilitas. Dante menuturkan pelanggaran HAM dan kekerasan terjadi karena stigma terhadap penyandang disabilitas masih tinggi. Karena itu Kementerian Keagamaan bisa memberikan layanan untuk memutus stigma. Misalnya dengan memberikan pesan-pesan kepada calon pengantin jika nanti punya anak bisa jadi anaknya disabilitas, bisa jadi anaknya berteman dengan anak lain yang disabilitas, dll. Artinya pemahaman atau perspektif kita terhadap penyandang disabilitas harus ditumbuhkan.

“Ini kira-kira yang kami harapkan, bagaimana peran pemerintah kabupaten kota untuk ramah HAM, untuk bisa mengantisipasi agar kekerasan terhadap siapapun termasuk penyandang disabilitas bisa diminimalkan,” pungkas Dante.

Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Belum Dipenuhi: Kota HAM Baru Sebatas Teks

Hingga kini belum ada data resmi tentang jumlah dan persebaran masyarakat adat di seluruh nusantara. Studi probabilitas yang dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan di seluruh nusantara ini setidaknya ada sejumlah masyarakat adat yang tersebar dari Aceh hingga Papua dan kurang lebih mendiami teritorial seluas 53 juta hektar. Angka ini merupakan probabilitas paling tinggi.

Dari probabilitas itu yang terdaftar sebagai anggota AMAN berjumlah 2.449 komunitas adat di seluruh Indonesia. Mereka menempati suatu wilayah seluas 40 juta hektar dengan total populasi masyarakat adat mencapai kurang lebih 20 juta jiwa.

Erasmus Cahyadi, Deputi Sekjen AMAN dalam diskusi pleno Konferensi Pengarusutamaan Kabupaten/Kota HAM 2022 di Jakarta, Oktober lalu menjelaskan masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang bentangan identitasnya sangat luas. Masyarakat adat adalah warga kampung/nagari/kasepuhan/negeri, dll. Mereka juga sekaligus warga desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan tentu saja warga negara Indonesia.

Masyarakat adat adalah pengguna dari ratusan bahasa daerah. Mereka juga adalah pengembang dan pengguna dari berbagai tarian tradisional, musik, ekspresi budaya yang lain dan juga keterampilan pengelolaan sumber daya alam di nusantara.

Terlepas dari itu semua ada satu hal yang sangat fundamental bagi kelangsungan hidup masyarakat adat yaitu keberadaan suatu ruang hidup yang disebut dengan wilayah adat sebagai syarat paling dasar dari eksistensi masyarakat adat. Di wilayah adat ini masyarakat adat melangsungkan suatu sistem tata tertib, dimana di sana ada hukum adat dan institusi adat yang mengawal sistem tata tertib itu. Wilayah adat ini juga menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya budaya yang beragam. Jadi di sana ada pengetahuan lokal, ekspresi budaya, dsb.

Tapi yang terjadi adalah masyarakat adat setiap saat mendapatkan diskriminasi, bisa berupa eksklusi, pembatasan, stereotipe dan stigmatisasi. Semua itu bahkan terlembagakan melalui hukum. Akibatnya adalah terjadi perampasan wilayah adat, adanya kriminalisasi, kekerasan, juga penangkapan. Selain itu ada juga program-program pembangunan yang tidak saja merampas ruang hidup masyarakat adat tapi juga dilaksanakan dengan semangat “mengadabkan” masyarakat adat. Jadi seolah-olah masyarakat adat adalah masyarakat yang belum beradab.

Sebetulnya konstitusi dasar kita sudah mengatur tentang masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya. Ada pasal 18 D ayat 2 UUD 1945 yang mengakui bahwa masyarakat di Indonesia itu ada masyarakat adat yang harus dihormati oleh negara. Kemudian pasal 28 I ayat 3 yang mestinya melahirkan kewajiban HAM bagi negara untuk melakukan program-program dan pembentukan hukum dalam konteks melindungi eksistensi dan masa depan masyarakat adat.

Pengakuan masyarakat adat diletakkan pada syarat politik, sosial dan legal. Syarat ini sebetulnya cukup menyulitkan bagi pembuktian identitas masyarakat adat, terutama syarat legal. Seperti diungkapkan Erasmus, “Jadi ada pengakuan di dalam konstitusi tapi pengakuan itu sifatnya masih deklaratif.”

Untuk syarat legal terdapat dua tipe pengakuan. Pengakuan pertama adalah pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum melalui pemerintah daerah. Kedua, pengakuan sebagai subjek hukum ini kemudian menjadi dasar bagi masyarakat adat untuk mengajukan penetapan hak. Penetapan hak ini dilakukan oleh menteri secara sektoral. Sehingga menteri sektoral akan mengeluarkan hak masyarakat adat dari penguasaan negara melalui hutan adat, penatausahaan tanah ulayat, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Tetapi pengakuan subjek yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak selalu bermuara pada pengakuan hak. Komitmen menjadi faktor penting yang sayangnya belum banyak direalisasikan oleh pemerintah daerah.

“Banyak pemerintah daerah yang sudah menerbitkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan turunannya. Tetapi apakah semua kebijakan daerah ini berjalan sebagaimana yang diharapkan? Ternyata tidak karena perda, keputusan kepala daerah, dll itu harus diikuti dengan komitmen untuk melaksanakannya. Komitmen itu secara sederhana bisa kita lihat jika ada anggaran dan ada institusi di daerah yang mengawal. Di banyak daerah ini yang absen,” jelas Erasmus.

Selain komitmen, dalam pengamatan Erasmus partisipasi masyarakat adat juga belum efektif. Hal lain adalah adanya pemahaman yang berbeda antara masyarakat adat dan pemerintah dalam melihat masyarakat adat dan masa depannya.

Situasi ini diperburuk dengan disahkannya UU Cipta Kerja pada 2020 lalu yang memberi kemudahan pada kelompok-kelompok pengembang proyek-proyek pembangunan. Sementara di sisi lain kecepatan pengakuan masyarakat adat bisa dikatakan berjalan di tempat. Sehingga yang terjadi adalah wilayah adat menjadi arena perebutan.

Di berbagai tempat masyarakat adat pun melakukan berbagai aksi perlawanan karena bagi mereka wilayah adat adalah tempat hidupnya. Tapi aksi perlawanan ini selalu direspons dengan kekerasan. 

“Ada banyak kasus yang bisa saya ceritakan, misalnya kasus Waduk Lambo, dimana ibu-ibu di Lambo, Kabupaten Nagekeo bahkan pernah dikasari, ditendang, diancam karena menolak lokasi pembangunan waduk tersebut. Kemudian kasus Kinipan di Kalimantan Tengah, atau kampung Durian Selemak yang satu kampung digusur, itu adalah contoh yang merepresentasikan bahwa semangat perlindungan kepada masyarakat adat itu masih belum tampak, dia hanya hidup di teks UU HAM dan UUD 1945, tapi dia belum hidup di dalam dunia kenyataan,” paparnya.

Kehilangan wilayah adat sebetulnya berimplikasi luas bagi masyarakat adat dan bagi kita sebagai komunitas bangsa. Karena kehilangan wilayah adat berakibat pada hilangnya ruang tempat tumbuh dan berkembangnya budaya bangsa. Sementara hilangnya budaya bangsa sama artinya dengan kita menghapus semboyan bhineka tunggal ika.

Untuk itu menurut Erasmus ada sejumlah langkah yang harus diambil negara untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat. Pertama, lembaga-lembaga negara perlu melibatkan masyarakat adat secara penuh dan efektif di dalam setiap pengambilan keputusan terutama yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan identitas kultural dari masyarakat adat.

Kemudian yang kedua kita perlu melakukan perubahan hukum secara besar-besaran. Karena salah satu sumber paling besar dari diskriminasi masyarakat adat justru tersimpan di dalam teks-teks hukum kita.  

Pada ranah sosial, ruang-ruang publik perlu diisi dengan wacana dan aksi yang mencerminkan adanya penghormatan terhadap keberagaman. Jadi dalam konteks ini stigmatisasi dan stereotipe perlu kita lawan bersama. 

Selanjutnya pada area pendidikan kita perlu mendidik generasi muda dengan keberagaman. Sehingga generasi muda akan menyikapi keberagaman sebagai sesuatu yang tidak saja wajar tetapi sangat penting untuk kelangsungan Indonesia yang beragam. Jadi selain mempercepat pengakuan subjek dan objek hak masyarakat adat, semua pihak terutama negara perlu mendukung upaya-upaya masyarakat adat dalam pengembangan budayanya. Contohnya pengembangan kearifan tradisional, pengembangan penguatan lembaga adat, dll. 

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!