Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Pengalamanku ke Tempat Ibadah Yang Menghargai Keberagaman

Aku ceritakan pengalamanku datang ke rumah ibadah yang membuat kami semua punya kenangan baik. Kami mendatangi vihara yang sangat menghargai keberagaman

Di bulan Ramadhan ini, Konde.co menyajikan tulisan khusus dari para perempuan muda soal refleksi mereka tentang keberagaman. Edisi ini bisa kamu baca mulai 10-16 April 2023.

Beberapa bulan ini, aku sering mengikuti meditasi yang diadakan oleh Vihara Tanah Putih, Semarang. Meditasi ini dilakukan setiap Rabu malam. Tidak lupa aku selalu mengajak kawan-kawanku untuk merasakan ketenangan malam dan menjernihkan pikiran. 

Derasnya hujan pun kami tempuh! Kami menyusuri tangga dan dari situ terlihat pemandangan Kota Semarang di malam hari dari ketinggian. Kami sangat antusias karena meditasi Buddhis Theravada merupakan hal baru bagi kami yang bukan Buddhis. Meditasi dibimbing oleh bhikkhu/bhante (rohaniawan agama Buddha) yang berbeda-beda untuk tiap sesinya dan dibuka untuk umum. Bhante pun kerap menyapa dan berbincang dengan peserta sebelum meditasi dimulai.

“Kenapa hidup gini-gini terus? Nah, coba ingat apakah kita terlalu banyak pikiran buruk yang mengundang karma buruk, atau lebih banyak berperilaku baik?.”

Begitulah sepenggal kalimat yang diucapkan oleh Bhikkhu Chandadhammo dalam sebuah akhir sesi meditasi. Kata-kata yang begitu menampar batinku. 

Aku merasakan dan mengamati sekitar, ada wangi dupa menyeruak di ruang Dhammasala, itu dapat dimaknai sebagai kebajikan Buddha yang disebarkan ke berbagai penjuru. 

Lilin merupakan simbol dari Dhamma yang menerangkan ajaran Buddha. Bunga di tempat puja melambangkan ketidakkekalan (annica). Rupang Buddha (arca) merupakan objek untuk merenungkan nilai luhur Buddha. Tak lupa aku mengambil bantalan (angsana) agar ketika meditasi aku bisa duduk dengan lebih nyaman. 

Malam itu, seorang ibu juga memberikan buku berisi paritta agar aku mudah untuk menyimak ataupun membacanya.

“Namo tassa bhagavato arahato samma sambuddhassa” (Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah Mencapai Penerangan Sempurna), bhante merapalkan paritta untuk memulai meditasi dan diikuti oleh peserta dari beragam latar belakang. Para peserta melakukan gerakan puja, namun boleh juga berdoa sesuai keyakinan masing-masing.

(Dok Pribadi)

Meditasi dimulai, dan kami mulai memejamkan mata dan merasakan keheningan sekitar. Sesekali suara batuk dan kendaraan terdengar karena vihara ini terletak di pinggir jalan raya. 

Kami terus berupaya untuk tetap fokus kepada napas, sembari mengingat nilai-nilai luhur dan kebaikan. Bhante pun berulang merapalkan kalimat paritta yang begitu menenangkan batin yang sangat kami amini, 

“Semoga aku berbahagia, bebas dari derita, bebas dari mendengki dan didengki, bebas dari menyakiti dan disakiti, bebas dari derita jasmani dan batin, semoga aku dapat menjalankan hidup dengan bahagia”. 

Begitu indah dan bermakna.

Di akhir meditasi, bhante mempersilakan kepada peserta untuk bertanya seputar meditasi maupun tentang kehidupan. Ada peserta mempertanyakan tentang makna kesadaran, interaksi dengan tetangga yang pernah menyakiti, dan sebagainya. 

Aku mendengarkan pelajaran-pelajaran kehidupan dalam beberapa jam yang cukup singkat itu. Ada pula bhante yang menginginkan foto bersama seluruh peserta meditasi untuk kenang-kenangan. Senang sekali, apalagi ada anjing coklat yang lucu yang malah tertidur ketika yang lain meditasi. 

Di akhir acara pun peserta mengembalikan bantalan (angsana) dengan tertib dan saling membantu untuk merapikannya seperti semula.

“Orang yang sudah pernah meditasi akan bisa merasakan ketenangan dan bisa berpikir jernih untuk mengambil keputusan terbaik atas masalah yang ia hadapi”, ucap bhante. 

Aku dan kawanku setuju, karena karena kami merasa lebih plong setelah meditasi dan siap melakukan aktivitas dengan pola pikir lebih baik.

Inklusif dan Menghargai Keberagaman

Dilansir dari Seputar Semarang, Vihara Tanah Putih sudah berdiri sejak tahun 1960-an. Vihara ini diresmikan pada 1 Januari 1965 dengan nama Vihara Maha Dhammaloka untuk memenuhi kerinduan umat Buddha khususnya di kota Semarang. 

Sejak tahun 2004, altar dan interior Dhammasala ini dikembangkan. Tak hanya untuk ibadah Buddha, vihara ini pernah pula digunakan untuk rapat pimpinan Sangha Theravada Indonesia hingga aktivitas meditasi lintas agama. 

Diriku sangat bersyukur karena bisa mengenal Vihara Tanah Putih dan aktivitas meditasi yang boleh diikuti siapa saja. Di tempat ini aku merasa aman dan hangat. Begitu, kan seharusnya tempat ibadah yang inklusif dan terbuka, mempersilakan siapa saja mengakses, berpartisipasi, menerima keberagaman, dan mengajarkan nilai cinta kasih kepada semua makhluk, tak hanya manusia. 

Tempat ini indah secara fisik dan begitu bermakna untuk batin. Setelah meditasi pun kami disuguhi teh bunga telang, biskuit, keripik, aneka kue, dan sebagainya. Para peserta meditasi saling menyapa dan berbincang bersama.

Sudah beberapa kali aku datang ke Vihara Tanah Putih sebelum datang untuk mengikuti meditasi secara rutin. 

BACA JUGA:

Suster Mariati, Biarawati Perawat Toleransi Agama

Ini cerita tentang Tionghoa di Kampung Halamanku

Cerita 2 Pasangan Beda Agama, Putus Atau Lanjut Kalau Sudah Sayang?

Pada akhir 2021 lalu, aku mengikuti Harlah Gus Dur yang dihadiri oleh organisasi lintas agama dan kepercayaan serta beragam komunitas di Kota Semarang. Aku terkesima dengan penampilan drama lintas agama yang mana tiap peserta berperan sebagai orang yang berbeda dengan keyakinannya. Suster berperan menjadi penghayat, perempuan Islam berbusana seperti suster, orang muda Katolik memerankan Gus Dur, dan masih banyak lagi. 

Kami pun memakan Lontong Cap Go Meh yang merupakan kuliner akulturasi Tionghoa dan Jawa. Ada lontong, lodeh, sambal goreng merah, telur separo, koya, ayam, dan kerupuk udang. Begitu lezat memanjakan lidah!

Pernah juga aku mengikuti kegiatan Srawung Semarangan yang diadakan oleh Duta Damai Jawa Tengah untuk mengenal lebih dekat tentang Vihara Tanah Putih dan Buddha Theravada. Bhante mengajak keliling vihara dan menjelaskan relief-relief yang ada di ruang Dhammasala mengenai kehidupan hingga kematian.

(Dok. Pribadi)

Para peserta pun mendapat kotak berisi Gudeg yang nikmat dan buku-buku mengenai ketenangan jiwa dari Vihara Tanah Putih. Tempat ini sangat menerima keberagaman dan memfasilitasi kegiatan kerukunan umat beragama. Ketika Ramadan, umat Buddha di vihara membagikan takjil untuk berbuka.

Vihara ini jadi tempat yang mempraktikkan ajaran luhur mengenai kemanusiaan. Kehidupan lebih nyaman dan bermakna ketika orang-orang yang berbeda bisa saling berbuat kebaikan untuk diri dan lingkungan. 

Menurutku, rumah ibadah ideal yaitu yang bisa menggandeng beragam identitas, membagikan kebaikan, serta menyebarkan nilai-nilai keberagaman dan cinta kasih kepada semua makhluk dengan kata maupun perbuatan.

Meskipun kami berbeda-beda, namun menyayangi semua makhluk merupakan inti dari menjadi manusia. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta (Semoga semua makhluk berbahagia). Sadhu, sadhu, sadhu. 

Lena Sutanti

Pegiat isu keberagaman
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!