Ramai di Medsos Soal Tulisan ‘Jalan Tobat LGBT’: Kegagalan Media Memandang Hak Minoritas

Sejumlah aktivis geram ketika membaca tulisan tentang “Jalan Tobat LGBT" di sebuah media online, Kumparan. Mereka menilai, media gagal memberikan perspektif soal LGBT dalam tulisannya

Kalau kamu baca, sekitar 3 minggu lalu, Kumparan memberitakan soal LGBT. 

Media online nasional tersebut memberi judul artikelnya Jalan Tobat LGBT yang kemudian banyak mencuri perhatian. Terlebih, saat berita itu disebarluaskan melalui media sosial (medsos) yang bikin ramai. 

Disebut mencuri perhatian setelah diterbitkan, karena sejumlah aktivis keberagaman gender dan seksualitas, menjadi geram, kemudian protes dan angkat bicara. 

Dalam artikel itu tergambarkan pengalaman beberapa individu ragam gender dan seksual non-normatif (LGBT) yang dituliskan “menemukan jalan hidup yang benar” setelah mereka “kembali ke fitrah” dengan tidak lagi menjadi LGBT.  Media ini juga menuliskan tentang sejumlah tokoh, baik dari kalangan yayasan pendampingan, pemerintahan, psikolog, lembaga sensor film sampai agamawan yang menguatkan bahwa LGBT adalah penyimpangan. Sementara itu, pegiat yang membela hak-hak minoritas gender dan seksualitas, hanya sedikit saja mendapatkan porsi dalam pemberitaan ini. 

Pengurus Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marginal, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Shinta Maharani menilai bahwa pemberitaan media —terlebih dengan porsi tak berimbang itu— misalnya dalam kalimat soal “jalan tobat LGBT”, cenderung menghakimi dan berpotensi makin menyudutkan minoritas. 

“Penghakimannya: pertobatan LGBT. Lha kan LGBT bukan penyakit dan bukan penyimpangan (sesuai nilai-nilai universal PBB),” kata Shinta secara tertulis saat dihubungi Konde.co, 5 April 2023 

Shinta yang bekerja sebagai jurnalis juga biasa meliput isu keberagaman. Ia menyebut, pemberitaan semacam itu tidaklah inklusif terhadap kelompok minoritas LGBTIQ. Sebab, tidak menyajikan fakta bahwa keberagaman identitas seksual itu ada. 

“Cenderung menghakimi dan berpotensi makin menyudutkan minoritas LGBTIQ,” lanjutnya.  

Berdasarkan sejumlah riset, misalnya Arus Pelangi dan SMRC, LGBTIQ adalah kelompok yang paling banyak mengalami kekerasan dan paling dibenci di Indonesia. Kekerasan bisa dalam bentuk persekusi, pengusiran dari keluarga, kekerasan fisik hingga pembunuhan. Kelompok ini bahkan kerap disingkirkan dan tidak mendapatkan akses pendidikan, ekonomi, kesehatan, hak politik yang layak.” 

Tindakan media yang memberi lebih banyak ‘panggung’ kepada orang-orang dengan jabatan yang tinggi untuk mengeluarkan pernyataan yang merugikan minoritas LGBTIQ seperti itu, justru membuat situasi semakin memburuk.

Dia menilai, media massa seharusnya mendorong pemberitaan yang ramah dan inklusif terhadap minoritas LGBTIQ. Di samping juga, mendorong negara memenuhi hak mereka sebagai warga negara, dan melawan serangan, kekerasan, dan kebencian terhadap mereka. 

Celakanya, media online saat ini malah banyak yang memberi ruang kepada orang-orang yang punya kekuasaan dengan jabatannya, contoh anggota DPR Bamsoet yang kerap menyudutkan minoritas LGBTIQ. 

“Jurnalis harus ekstra hati-hati saat berhadapan dengan politisi maupun kelompok-kelompok yang kerap mengobarkan kebencian terhadap kelompok minoritas, apalagi menjelang Pemilu 2024 yang rawan dengan politik identitas atau menjual populisme,” tambah Shinta.

Sementara itu, aktivis LGBT Hartoyo yang juga pendamping komunitas transgender akses Adminduk dan jaminan sosial menyatakan, bahayanya narasi pemberitaan seperti Jalan Tobat LGBT ini, bisa menimbulkan stigmatisasi hingga diskriminasi.

“Istilah “tobat” kata yang digunakan dalam konteks ajaran agama. Sebagai media, penggunaan kata “tobat” itu pada kenyataannya telah melakukan “frame” stigma pada kelompok LGBT sebagai kelompok yang salah. Maka, perlu “kembali ke jalan yang benar” atau bertobat,” kata Hartoyo. 

Dalam konteks lain, media menurutnya bisa saja melakukan marginalisasi terhadap kelompok lain—yang terpinggirkan secara sistem sosial, politik, ekonomi, bahkan agama. 

Di Indonesia misalnya dengan mayoritas penduduknya yang beragama muslim, maka ada pihak-pihak tertentu yang menyatakan bahwa agama selain Islam, akan dicap “sesat” atau “kafir”.  

“Bahkan jika ada perbedaan tafsir bisa dicap sebagai sesat atau menyimpang, misalnya stigma sesat dilekatkan pada ajaran Ahmadiyah dan Syiah. Bahkan dikatakan bukan bagian dari Islam. Begitu juga pada kelompok lain, misalnya disabilitas dicap sebagai kelompok abnormal, penyakit, kutukan,” terang dia. 

Tidak hanya itu, ini juga berlaku bagi orang miskin. Misalnya, orang miskin akan distigma sebagai masyarakat yang bodoh, dekil, kriminal, atau pemalas. Seperti orang kulit hitam di Amerika distigma sebagai biang masalah kriminal. Dalam konteks LGBT, stigma-stigma serupa sedang dilanggengkan media. Contohnya saja, menyimpang (makanya perlu tobat), sesat, berpenyakit, dan lainnya. 

Hartoyo menekankan, pilihan angle pemberitaan itu menjadi pilihan politis media. Mau memberikan informasi berkualitas —-yang punya perspektif HAM dan gender– kepada publik? Atau justru memilih jadi media propaganda kebencian. Sehingga, terus melanggengkan stigma dan diskriminasi kepada kelompok minoritas. 

“Semua menjadi pilihan dan sikap politik media itu sendiri. Tapi aku percaya, publik dan sejarah akan mencatat itu!” katanya. 

Media Minim Perspektif Gender

AJI Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), dan organisasi non-pemerintah yang membela hak kelompok LGBT, Arus Pelangi, belum lama ini membuat pemantauan terhadap pemberitaan tentang LGBT: mayoritas minim perspektif gender.  

Dari 113 berita media lokal dan nasional sepanjang Januari dan Februari 2023, sebanyak 100 diantaranya tak berperspektif gender, lima netral, dan cuma delapan yang punya perspektif gender. 

Media yang terdata itu, kerap mengutip pernyataan diskriminatif dari tokoh organisasi massa sebanyak 35 kali, 31 anggota DPRD, 25 kali wali kota, bupati, dan wakil bupati, serta 16 kali kepala dinas dan kepala bidang. Sebagian besar memberi ruang lebih kepada mereka yang punya kekuasaan, bukan kepada kelompok yang tidak bisa bersuara atau tertindas.

“Sepatutnya (media massa) menghasilkan karya jurnalistik berkualitas dan mengikuti pedoman pemberitaan keberagaman yang telah dikeluarkan Dewan Pers pada akhir 2022,” ujar Shinta dari AJI Indonesia.

BACA JUGA:

Riset: Jelang Tahun Politik, Pemberitaan Media Online Diskriminatif Terhadap LGBT 

Tak hanya di Indonesia, fenomena pemberitaan media yang memperparah persekusi terhadap LGBT adalah kasus di Uganda pada tahun 2014. 

Pada waktu itu, parlemen Uganda mengeluarkan Undang-Undang Anti-Homoseksual yang sangat diskriminatif, yang memberikan hukuman penjara seumur hidup bagi orang-orang yang terbukti melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Walau akhirnya UU tersebut dibatalkan karena disahkan oleh parlemen tanpa kehadiran cukup anggotanya agar memenuhi kuorum.

Pada saat yang sama, media di Uganda, termasuk televisi dan surat kabar, memperlihatkan tayangan-tayangan yang sangat negatif tentang LGBT, yang menggambarkan mereka sebagai “orang-orang yang terganggu” dan “tidak normal”. 

Media lokal juga memberitakan hoaks bahwa kelompok LGBT merekrut anak-anak di sekolah dengan cara memberi uang. Berita yang secara terus-menerus ditunjukkan tentang bahaya LGBT, menimbulkan persepsi negatif terhadap LGBT di masyarakat Uganda.

Akibatnya, masyarakat Uganda menjadi semakin intoleran terhadap LGBT dan banyak orang LGBT di Uganda menjadi sasaran kekerasan dan diskriminasi. Banyak dari mereka yang dipaksa keluar dari rumah mereka, kehilangan pekerjaan, dan bahkan dianiaya atau dibunuh.

Kini tahun 2023 Parlemen Uganda kembali mengajukan RUU anti-LGBT, di mana pelaku kejahatan terkait homoseksualitas dapat didakwa 20 tahun penjara hingga hukuman mati. Dilansir dari CNN, UU anti-LGBT Uganda dapat diberlakukan atas berbagai pelanggaran, di antaranya larangan mempromosikan dan bersekongkol dengan pelaku homoseksualitas, atau bersekongkol untuk terlibat dalam aktivitas homoseksual.

Seorang aktivis hak asasi manusia mengatakan kepada BBC bahwa debat seputar RUU ini telah menimbulkan ketakutan akan serangan lebih banyak terhadap kelompok LGBT. “Ada banyak pemerasan. Orang-orang menerima telepon bahwa “jika kamu tidak memberi saya uang, saya akan melaporkan bahwa kamu adalah gay,'” kata mereka.

RUU itu disahkan dengan dukungan luas di parlemen Uganda. LGBT sudah ilegal di Uganda tetapi undang-undang ini mengeluarkan banyak tindak pidana baru. 

Salah Kaprah Pemberitaan LGBT: Aparat Jadi Sumber Utama

Dalam riset Konde.co yang didukung USAID dan Internet bertema “Their Story: Riset Media Memandang Keragaman Gender dan Seksual Non-Normatif (LGBT)”  (2022) mencatat bahwa media masih menjadikan LGBT sebagai objektifikasi. Alih-alih menjadikan subjek pemberitaan, media justru menggunakan kepolisian sebagai narasumber utama. Misalnya dalam kasus kriminalitas yang terkait dengan komunitas LGBT, hanya sedikit media yang memilih melakukan wawancara kepada korban atau tim advokasi dari komunitas “LGBT”. 

Di sisi lain, diskriminasi yang dialami LGBT juga berasal dari narasi media. Seperti penggunaan diksi dan sudut pandang yang berkonotasi negatif seperti bencong dan banci untuk menggambarkan komunitas transgender, serta diksi “sesama jenis”, “segolongan sama”, “ada belok-beloknya” untuk menggambarkan komunitas gay. Selain adanya, aturan diskriminatif yang lebih sistematis terhadap komunitas LGBT juga dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 

Sebelumnya pada tahun 2015, AJI pernah pula melakukan penelitian dengan metode kuantitatif terhadap 20 media massa di Jakarta dan Surabaya untuk melihat pemberitaan tentang kelompok LGBTI di Indonesia. Dalam pemindaian selama sebulan, ditemukan 113 berita tentang LGBTI, dengan 107 diantaranya berasal dari media online dan 16 sisanya dari media cetak. Sebanyak 81 berita adalah straight news.

Ternyata, banyak terjadi kekerasan simbolik yang dilakukan media secara langsung lewat penggunaan bahasa dalam berita. 

Dalam judul dan berita tentang kelompok LGBTI, terdapat kalimat berstigma negatif, terutama dalam berita yang bersifat artikel. Sementara dalam straight news, jurnalis cenderung mengutip keterangan dari aparat saja tanpa menyertakan narasumber dari kelompok LGBTI.

Kondisi ini disebabkan oleh rendahnya pemahaman jurnalis dan media tentang LGBTI dan ketidakpahaman terhadap etika jurnalistik. Selain itu, media juga mengejar fenomena tingginya jumlah pembaca di media online. 

Ketua AJI Indonesia Suwarjono menegaskan bahwa media tidak boleh jadi bagian yang merusak dan menjerumuskan. Media harus membuat liputan yang netral dan memberikan ruang untuk bicara.

Ardhanary Institute mencatat sekitar 80 persen pemberitaan di media tidak memuat berita seputar LGBTI secara faktual. Sebagai contoh, pada kasus kriminalitas murni, berita tidak menyorot pada kasusnya namun lebih ke orientasi seksualnya. Hal ini menyebabkan media ikut menggiring munculnya opini negatif di masyarakat terhadap komunitas LGBTI di Indonesia. Ada banyak kata berkonotasi negatif yang dipakai media untuk menyebut LGBTI, misalnya penyimpangan seksual, kelainan, hingga sampah masyarakat. 

Lalu, bagaimana seharusnya meliput pemberitaan isu keberagaman gender dan seksual?

Shinta Maharani dari AJI memberikan panduan yang harus diperhatikan saat liputan tentang perempuan dan kelompok minoritas yang dibagikannya saat memberi pelatihan seperti: menulis berita yang menghormati keberagaman dan inklusif terhadap minoritas LGBT, menggunakan perspektif HAM sesuai Deklarasi Universal HAM, menaati Kode Etik Jurnalistik.

Selain itu, penting pula jurnalis agar menerapkan pedoman pemberitaan isu keberagaman, empati terhadap korban, pahami bahwa kekerasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas terjadi secara struktural dan berlapis, memahami pengalaman traumatis korban, memperhatikan kondisi korban saat wawancara, serta perluas jaringan dengan jaringan yang fokus pada perempuan dan kelompok minoritas.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!