Buku Kejatuhan dan Hati karya S. Rukiah

Buku ‘Kejatuhan dan Hati’: Ini Hidup Diantara Patriarki, Cinta, dan Perjuangan

Tatkala perempuan menulis, mereka menulis berdasarkan pengalaman yang tak hanya dibatasi dalam lingkup domestik saja. Begitu pula S. Rukiah yang menuliskan sebuah novel begitu apik dan tetap eksis lintas zaman, berjudul 'Kejatuhan dan Hati.'

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”

Nukilan pesan penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer tersebut menunjukkan: menulis adalah merekam sejarah budaya. Menulis adalah proses menorehkan kreasi, ikhtiar, karya, dan harapan sebagai wujud interpretasi terhadap Sang Mahapencipta. Demikianlah, tatkala perempuan menulis, mereka menulis berdasarkan pengalaman yang tak hanya dibatasi dalam lingkup domestik saja. Begitu pula S. Rukiah yang menuliskan sebuah novel begitu apik dan tetap eksis lintas zaman, berjudul Kejatuhan dan Hati.

Tentu ketika membaca novel Kejatuhan dan Hati, pembaca seperti diajak berjalan-jalan menyusuri sejarah yang bergerak dan berderak hingga menciptakan sebuah letupan tatanan masyarakat—tatanan yang dapat diterima khalayak umum dan ada pula yang menolaknya, sebab mencederai nilai-nilai pada diri sendiri. Bahasanya mengalir dengan keharuan yang mendalam serta menyentuh pada setiap alurnya, hingga memiliki pesan-pesan yang tak terduga bagi pembacanya.

Novel Kejatuhan dan Hati memiliki empat alur, di antaranya sistem patriarki yang membelenggu tiga saudara, perlawanan terhadap sistem patriarki, memilih jalan perjuangan revolusi, serta cinta dan perjuangan. Memang awalnya Kejatuhan dan Hati sejenis cerita biasa; tentang mimpi dan cinta yang tak direstui, cinta yang tak berkembang menjadi patah hati, lalu kemudian dihadirkan kembali cinta tersebut lewat nilai-nilai perjuangan. Hingga pada akhirnya terlanjur mencintai, namun harus menanggung rasa mendalam terhadap cinta yang tumbuh pada perjuangan dan seseorang.

Belenggu Patriarki

Pada mulanya, Kejatuhan dan Hati menceritakan tiga anak gadis yang tumbuh dan berkembang di dalam sistem patriarki. Kehidupan mereka ditata oleh nilai-nilai masyarakat yang secara tidak langsung memenjarai semua harapan dan mimpi. Mereka adalah Dini, Lina, dan Susi. Walaupun bersaudara, mereka memiliki watak yang berbeda serta kasih ibu yang berbeda pula.

Dini memiliki sifat dan perilaku seperti laki-laki, sering pula membantah semua ajaran yang diberikan oleh ibunya. Sedangkan Lina memiliki paras yang cantik sehingga banyak dikagumi oleh para pria, serta menjadi kesayangan ibu sebab Lina adalah perempuan yang ideal dan sesuai dengan keinginan masyarakat kala itu. Sedangkan Susi adalah perempuan yang tak pernah berani melanggar keinginan ibunya dan selalu memendam dalam-dalam mimpi, harapan, hingga cintanya.

Mereka dididik oleh ibu yang menyakini tradisi masyarakat pada umumnya. Bagi Ibu, perempuan selalu berada dalam bahaya, selalu dikelilingi oleh duri; dan menikah adalah jawaban untuk terhindar dari kejahatan yang mendekatinya. Ibu juga memiliki asumsi bahwa menikah tak penting berlandas pada cinta dan kasih, sebab manusia tak butuh itu untuk hidup. Manusia hanya butuh kebendaan untuk hidup dan bahagia. Padahal cinta dan kisah itu suatu rasa yang tak bisa dicari, dibikin, dipinta, atau, ditukar dengan benda-benda. Kasih itu suatu kegaiban yang membuat orang kalang kabut bila dikuasainya.

Keluar dari Zona Patriarki

Dini, sebagai kakak tertua, menyanggah semua ajaran Ibu. Bagi Dini, hal tersebut sama saja membelenggu diri sendiri. Lalu, Dini berjanji untuk tidak menikah sebagaimana keinginan Ibu; ia hanya ingin menikah dengan cita-cita pada dirinya. Singkat cerita, pasca Dini lulus dari sekolahnya, ia memutuskan untuk keluar dari rumah, memilih untuk bekerja dan mengejar mimpi-mimpinya.

Berbeda dengan Lina, yang tetap tunduk dengan keinginan ibunya. Lina menikah dengan Jono, lelaki yang disenangi dan dikagumi oleh ibunya. Tak ada ukuran kasih dan cinta yang terselip dalam pernikahan mereka; yang hanya ada adalah ukuran kebendaan dan menyenangkan hati Ibu.

Sedangkan Susi yang terkenal kalem, bahkan sangat kalem dibanding Lina, diam-diam menyimpan banyak janji untuk membahagiakan ibunya. Ternyata ia justru memilih untuk pergi dari rumah dan melakukan pergerakan. Sebab, Susi dipaksa untuk menikah dengan pilihan Ibu, yakni Par. Sedangkan Susi tak pernah menyimpan rasa terhadap Par. Bagi Susi, lebih baik membunuh semua janji yang telah lama terpendam kepada Ibu dibanding mesti membunuh kasih sayangnya pada diri sendiri.

Ibu berkata, “Itu sebabnya, sejak dulu aku larang engkau keluar rumah dan ikut menguruskan pergerakan yang membawa manusia tak beradab itu. Tahukah engkau bahwa pergerakan perjuangan itu menghilangkan kasih sayang seorang anak pada orang-orang tua yang sekian tahun kecapean menguruskan? Dan tahukah engkau, bahwa kepada perempuan perjuangan laki-laki jadi tak mau memilihnya, sebab mereka tahu, bahwa perempuan pergerakan itu tak memandang penting kepada rumah tangga? Lihat saja si Giarti, dia sudah berumur 27 tahun kata ibunya…”

Memilih Jalan Pergerakan Perjuangan

Susi membulatkan tekadnya untuk turut andil dalam laku pergerakan. Setiap harinya lebih banyak ia habiskan untuk membaca buku pergerakan, sejarah politik, membuat rasa yang halus-halus makin hari makin menghilang. Ditambah ketika Susi masuk ke dalam kelompok Mashur yang terkenal kejam dan sering memberontak. “Di sini engkau akan mengalami kepahitan, tapi hati bersatu dengan rakyat. Kepahitan rakyat adalah kepahitanmu,” itulah pesan Mashur tatkala berjumpa dengan Susi untuk pertama kali.

Suara tembakan, rintihan, jeritan, dan darah sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Susi. Bilamana menolong seorang prajurit yang kesakitan, pucat, tubuhnya tegang, namun matanya merah seperti api, hal itu tidak membuat hati Susi gemetar serta takut. Baginya melihat merah pada mata prajurit membuat rasa semangat dan tanggung jawabnya semakin kuat, bahkan mampu menandingi sifat laki-laki.

Susi tak lagi mengenal cinta. Hatinya mengering, tak ada belas kasih di hidupnya, yang dia kenal hanyalah pertumpahan darah. Tak ada yang mampu menembus hati Susi, bahkan tidak ayah dan ibunya yang amat ia cintai. Sebab, baginya, cinta hanya cerita lama. Padahal melakukan revolusi haruslah berdasarkan atas cinta. Cinta akan perubahan pada rakyat yang telah dirampas hak atas dirinya.

Cinta yang Datang dan Kandas

Berbulan-bulan Susi hidup dengan situasi pertempuran dan pemberontakan yang membuat dirinya tak lagi menghiraukan hal yang berbalut dengan cinta. Lambat laun, datanglah Lukman, seorang yang paling disegani oleh semua orang di markas Mashur; seorang yang cerdas, berani, tangguh, dan selalu memegang nilai-nilai perjuangan dalam laku kehidupannya. 

Ternyata Lukman tertarik dengan Susi, perempuan tangguh nan cerdas serta langkahnya ditemui di wilayah pergerakan. Lukman diam-diam mengamati seluruh gerak-gerik Susi. Singkat cerita, rupanya Susi juga diam-diam meletakkan hati untuk Lukman. Pada akhirnya, mereka menjalani hubungan dan Susi secara tidak langsung kembali pada sifat perempuannya yang dulu dan sedikit mempercayai tentang cinta. Itulah kekuatan cinta yang mampu menguasai seseorang untuk melakukan perubahan pada dirinya.

“Asal saja tiap minggu diganti pandanganku dengan melihat engkau. Sejuk, lembut, dan penuh harapan panjang tiada terbatas. Anehnya pula, sekarang ini aku jadi cinta kepada segala warna, tidak saja kepada warna merah yang satu ini. Kini aku cinta warna biru gunung-gunung, warna hijau sawah-sawah, dan coklat tanah yang menghadapi air bening.”

Mereka beradu cinta di bulan yang merah—bulan yang menceritakan sepasang kekasih yang mabuk asmara, namun di sisi lain mencintai pergerakan yang mencita-citakan perubahan. Semalam mereka bercinta, esokanya harus menghadapi situasi pertikaian politik yang semakin keruh dan kacau. Lukman harus meninggalkan markas untuk menolong para prajurit yang telah gugur di medan perang, sedangkan Susi harus menahan kepedihan hati ditinggal sang kekasih.

Baca Juga: Buku ‘Mencintai Munir’: Melihat Rekam Jejak Hidup Suciwati Bersama Munir

Dari hari ke hari suasana semakin tak teratur, tapi Susi memilih untuk tak acuh terhadap segala sesuatu yang terjadi. Sedangkan Lukman hanya meninggalkan janji: setelah situasi membaik, ia akan kembali kepada Susi dan membagun hubungan sebagaimana masyarakat pada umumya. Namun, Lukman tak pernah kembali lagi hingga Susi menganggap bahwa hubungannya gagal karena tertelan revolusi dan cita-cita revolusi yang masih kabur. Tentu seharusnya cita-cita akan revolusi tak bisa membunuh cita-cita kekuasaan pada dirinya.

Pada akhirnya, Susi kembali ke kampungnya dan memilih untuk menikah dengan Par, lelaki yang tak pernah dicintainya. Namun, saban watu bayang-banyang Lukman tak pernah usang untuk diingat. Ditambah lagi, Susi memiliki anak dari hasil hubungan mereka, yang diberi nama Lukman pula. Tapi hidupnya kering; dia tak memiliki cinta yang mampu hidup untuk memberikan warna dalam hidupnya. Yang ada hanya rasa cinta mendalami pada Lukman; walaupun berusaha menghapuskannya, tetap saja dia muncul tanpa diundang.

Namun, suara langkah kaki makin mendekat dan tak asing oleh Susi. Ternyata Lukman menepati janjinya untuk kembali kepada Susi, dan menjelaskan bahwa ia bertahun-tahun tak menemui Susi karena situasi politik yang kacau. Sedangkan Susi tak peduli cerita itu.

“Rasa itu telah aku tenggelamkan jauh-jauh, dan sudah kuanggap barang kolot, barang simpanan, cerita antik, cerita yang tak merah. Pergilah!”

Baca Juga: Uchikowati: Perjuangan Ayahku Tak Diakui karena Dia Bersimpati pada PKI

Semua ucapan Susi hanyalah kebohongan. Pada hati terdalamnya, ia sangat merindukan sosok lelaki yang mencintai nilai-nilai komunisme itu.

“Aku akan pergi. Tapi, bolehkah aku mencium anakku dan anakmu dulu? Anak ini anak kita, anak cinta. Berikanlah ciuman ini kepada ibumu, dan simpanlah, jangan kau tenggelamkan, dan jangan kauanggap barang kolot.”

Sebenarnya Susi tak dapat menahan kerinduan itu, bergegas kembali ke kamar dan membawa Lukman kecil dan mengucup bibir Lukman kecil bekas yang tadi, dengan tangisan yang tersedu-sedu. 

Pada akhirnya, novel ini menceritakan bahwa cinta akan mimpi perubahan sosial dan cinta kepada seseorang memang tak bisa dipertukarkan. Masing-masing cinta tersebut memiliki nilai yang sama hingga membuat orang menjadi hidup. Jika salah satunya dikorbankan, hal itu akan menyebabkan pembunuhan hati, robekan hati, hingga berakhir dengan kepergian, pengusiran, dan kehilangan cinta pada diri sendiri. Selain itu, Rukiah mencoba untuk menghadirkan Susi sebagai seorang perempuan yang mengalami kekalutan hidup sebagai perempuan yang harus menerima dan menanggung hidup pada belenggu sistem patriarki dan sisi lain dari perjuangan revolusi.

Miri Pariyas

Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!