Konser Coldplay Ditolak karena Dukung LGBT? Lagu Lama dari Ormas Intoleran

Hiruk-pikuk konser band Coldplay yang akan digelar di Indonesia pada November 2023 bukan hanya datang dari para penggemar. Huru-hara penjualan tiket konser dengan berbagai ceritanya adalah satu hal. Lalu muncul lagu lama; Ormas keagamaan ramai-ramai menolak konser tersebut karena Coldplay dianggap ateis dan dukung LGBT

Kabar bahwa band asal Inggris, Coldplay, bakal menggelar konser di Indonesia sukses mencuri perhatian masyarakat negara ini selama beberapa pekan terakhir. Bukan tanpa alasan; kehadiran band yang digawangi vokalis Chris Martin tersebut sudah lama sangat dinantikan oleh para penggemarnya.

Bahkan, sempat beredar sejumlah rumor terkait alasan Coldplay tidak kunjung mampir untuk mengadakan konser di Indonesia. Salah satunya, konon, karena Coldplay ‘ogah’ tampil di negara dengan permasalahan lingkungan hidup. Indonesia disebut-sebut masuk ‘daftar hitam’ band tersebut akibat hal tersebut.

Anggapan itu pun terbantahkan ketika akhirnya Coldplay merilis nama-nama negara yang akan mereka sambangi dalam tur konser mereka, Music of the Spheres World Tour 2023. Nama Jakarta dan Indonesia masuk dalam daftar lokasi konser band asal London tersebut. Indonesia kebagian jadwal konser Coldplay pada tanggal 15 November 2023, berlokasi di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Tentu saja hal ini sukses menghebohkan masyarakat Indonesia, khususnya para penggemar Coldplay dan band mancanegara secara umum.

BACA JUGA: Ramai di Medsos Soal Tulisan ‘Jalan Tobat LGBT’: Kegagalan Media Memandang Hak Minoritas

Selama berminggu-minggu, topik seputar konser Coldplay nyaris tidak pernah absen dalam setiap percakapan masyarakat, baik secara langsung maupun di media sosial. Rasa gembira menyambut Chris Martin dan kawan-kawan band-nya bercampur dengan kegugupan menjelang penjualan tiket konser. Jelas, sebab tampaknya semua orang ingin hadir menonton konser itu. ‘Perang’ penjualan tiket konser Coldplay pada pertengahan Mei 2023 ini juga penuh cerita. Pada akhirnya, banyak yang berhasil mengamankan tiket konser yang sangat dinantikan itu, meski banyak pula yang tidak kebagian tiket dan masih berharap Coldplay akan menambah hari untuk mengadakan konser di Indonesia. Tapi harapan konser Coldplay berlangsung dua hari di Indonesia justru malah terasa semakin ‘jauh’ akibat huru-hara baru seputar konser mereka. Terdengar penolakan kelompok ormas keagamaan terhadap konser Coldplay, karena band itu dipandang sebagai ateis dan ‘mendukung LGBT’.

BACA JUGA: Tahukah Kamu 17 Mei Hari IDAHOBIT: Yuk, Hapus Kebencian Terhadap LGBT

Penolakan Ormas Keagamaan

Gaung penolakan atas konser Coldplay di Indonesia salah satunya datang dari Presidium Alumni 212 (PA 212). Mereka adalah gabungan kelompok keagamaan yang bergabung dalam Aksi 212 atau Aksi Bela Islam beberapa tahun silam. Sebagai catatan, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pernah merilis survei yang menyebut Aksi 212 sebagai ‘pembuka keran’ munculnya intoleransi.

Melansir BBC Indonesia, Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin beralasan bahwa penolakan tersebut muncul lantaran Coldplay mendukung komunitas LGBT dan penganut ateis atau ketidakpercayaan kepada Tuhan. Ia menyebut, hal tersebut bertentangan dengan agama. PA 212 juga mengancam akan menggelar aksi demonstrasi, serta memblokir lokasi konser dan mengepung bandara apabila promotor tidak segera membatalkan konser Coldplay.

“Kalau sampai jadi menggelar konser, itu artinya kita mendukung mereka mengampanyekan LGBT dan atheis yang sangat bertentangan dengan nilai agama dan Pancasila,” ujar Novel kepada wartawan, seperti dilansir dari BBC Indonesia.

BACA JUGA: Marak Perda Anti LGBT, Diskriminasi Makin Banyak Terjadi 

Kontan saja penolakan tersebut memicu berbagai reaksi dari masyarakat. Terutama dari orang-orang yang sudah membeli tiket dan amat menantikan konser Coldplay pada November 2023 mendatang. Mereka kesal dan mempertanyakan penolakan tersebut. Toh, menurut mereka, Coldplay hanya akan menampilkan musik di Indonesia. Cara ormas mengaitkan kehadiran Coldplay dengan isu LGBT dan ateisme dianggap tidak relevan dan mengada-ada. Tapi ada pula orang yang setuju dengan ormas dan menilai kalau Coldplay berpotensi membawa pesan pro-LGBT saat tampil di Indonesia. Beberapa lainnya menyarankan agar band tersebut tidak perlu menunjukkan atribut khas LGBT, seperti pride flag dan sejenisnya yang biasa mereka bawa saat konser di negara lain, jika tetap ingin tampil di Indonesia.

Dilansir dari BBC Indonesia, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Trunoyudo Wisnu Andika, mengatakan pihak penyelenggara konser Coldplay memang belum mengajukan izin keramaian secara resmi. Namun, ujarnya, ia siap mengamankan jalannya konser tersebut lantaran Polda Metro Jaya sudah memiliki standar operasional dalam mengamankan konser. Polda Metro Jaya dikatakan telah berkoordinasi dengan pihak panitia. Promotor juga disebut telah mengantongi izin dari pengelola Stadion Utama Gelora Bung Karno serta Kemenparekraf.

Coldplay, Negara yang Tidak Aman, dan Kebencian terhadap LGBT

Ramai-ramai penolakan PA 212 atas konser Coldplay yang dinilai sarat dukungan terhadap LGBT membuatnya jadi perhatian. Masalahnya, ini bukan pertama kali ormas keagamaan menggelar aksi massa demi menolak kehadiran artis luar negeri yang dianggap membawa nilai yang bertentangan dengan kelompok mereka. Misalnya, pada tahun 2012, kelompok Front Pembela Islam (FPI) secara lantang menolak kehadiran penyanyi Lady Gaga yang hendak manggung di Indonesia. Dalihnya, Lady Gaga disebut sebagai ‘pemuja setan’ dan penampilannya ‘tidak sesuai norma kesopanan’. Akibat protes besar-besaran dan intimidasi terhadap promotor, akhirnya konser Lady Gaga urung digelar di Indonesia. Pihak kepolisian Indonesia yang menolak mengeluarkan izin keramaian juga jadi salah satu faktor yang membuat konser tersebut batal terlaksana. Padahal, 50.000 tiket sudah habis terjual.

Kejadian pada konser Lady Gaga yang seharusnya berlangsung di Indonesia itu membuat orang-orang khawatir Coldplay akan bernasib serupa. Bukan tidak mungkin hal itu terjadi. Meski barangkali pernyataannya terdengar konyol, ancaman ormas seperti itu juga tidak bisa dianggap angin lalu. Jika skenario terburuk terjadi dan Coldplay batal tampil di Indonesia akibat sikap keras ormas, para pengamat musik yakin musisi internasional akan semakin sulit diajak mampir ke Indonesia oleh promotor. Pasalnya, negara ini jadi dianggap tidak aman. Padahal, selama beberapa tahun terakhir, Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat sering dikunjungi musisi mancanegara untuk menggelar konser. Selama itu pula, konser-konser musik internasional di Indonesia selalu kebanjiran penonton.

BACA JUGA: Riset: Jelang Tahun Politik, Pemberitaan Media Online Diskriminatif Terhadap LGBT 

Di sisi lain, isu penolakan tersebut semakin memperjelas fakta bahwa Indonesia masih gagal menjadi tempat yang aman bagi komunitas LGBT. Jangankan mendapat pengakuan atas identitas dan ekspresi gender dan seksualitas masing-masing. Bahkan kemungkinan hadirnya pihak yang menunjukkan dukungan sederhana terhadap LGBT saja ditentang habis-habisan oleh kelompok masyarakat seperti itu.

Hal-hal sekecil merasakan euforia konser artis kesayangan pun sulit terwujud di negara yang masih memberi begitu banyak ruang bagi kelompok intoleran. Baik secara langsung maupun tidak langsung, sikap militan ormas-ormas keagamaan menentang artis yang membawa atribut dan sikap dukungan terhadapnya membuat LGBT, lagi-lagi, mengalami diskriminasi dan kebencian. Rasanya mengharapkan sedikit saja penerimaan terhadap keragaman gender dan seksualitas adalah sesuatu yang mustahil di Indonesia.

Kini masyarakat barangkali sedang harap-harap cemas menantikan kelanjutan dari konser Coldplay dalam beberapa bulan ke depan. Yang juga dinantikan adalah sikap pemerintah Indonesia dan para pihak berwenang. Dengan harapan tinggi agar konser tersebut bisa tetap terlaksana di Indonesia, isu ini juga mestinya dapat menjadi pengingat. Betapa LGBT masih sangat dibenci serta rentan dijadikan ‘kambing hitam’ dan sasaran diskriminasi di negara ini.

(Foto: Wikipedia)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!